PPKM: Seabrek Kerancuan Normatif dan Obsesi Neo-Pembangunanisme

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi by detikFinance

Besar harapan dari penulis bahwa Indonesia tak terjerembab pada gelombang ketiga pagebluk COVID-19. Kehadiran krisis kesehatan global itu mengekspos berbagai problematika struktural di Indonesia yang melayangkan ratusan ribu nyawa masyarakat. Melandainya kurva jumlah kasus kiwari ini pasca gelombang kedua dapat dikreditkan pada kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), serta penggencaran vaksinasi. Namun efektivitas tersebut juga disertai dengan banyak catatan yang mengkritik implementasinya.

Mengingat bahwa PPKM masih diberlakukan hingga saat ini, menurut penulis masih relevan untuk memberikan catatan kritis pada aspek PPKM yang lebih fundamental – yakni dasar hukumnya. Lebih dalam dari sekadar problematika pengejawantahan, dapat ditelaah bahwa terdapat seabrek kerancuan normatif dalam dasar hukumnya. Kerancuan fundamental itu dapat menjadi tumpuan untuk melihat gambaran besar kesalahkaprahan paradigma pemerintah Indonesia dalam menangani pandemi. 

Didasari oleh Peraturan Kebijakan

Dasar hukum yang digunakan dalam kebijakan PPKM adalah Instruksi Menteri dalam Negeri (Inmendagri). Mengutip Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan, jenis peraturan Inmendagri masuk ke dalam kategori peraturan kebijakan (beleidsregel). Jadi premis yang perlu dipahami bahwa implementasi PPKM didasari oleh peraturan kebijakan, bukanlah peraturan perundang-undangan (regeling). 

Definisi peraturan kebijakan tak dapat ditemui dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun pada dasarnya apabila menyadur Bagir Manan, peraturan kebijakan adalah peraturan yang dikeluarkan untuk menjawab problematika yang mendesak sekalipun tak adanya wewenang pemerintah untuk mengeluarkan peraturan tersebut. Jadi penekanan produk hukumnya didasari oleh wewenang diskresi (freies ermessen) guna mengatasi kekosongan hukum terhadap suatu masalah yang mendesak. Perbedaan utama beleidsregel dengan regeling terletak pada kekuatan mengikatnya. Norma hukum yang dimiliki oleh regeling bersifat abstrak secara kaidah dan mengikat secara umum. Sementara peraturan kebijakan tidak secara langsung mengikat secara hukum, namun tetap mengandung relevansi hukum. Spesifiknya kekuatan mengikat beleidsregel hanya bagi badan atau pejabat administrasi negara sendiri, dan masyarakat umum secara tidak langsung (yang relevan dengan substansi peraturan kebijakan).

Implikasi hukum dari peraturan kebijakan adalah tidak dapatnya dilakukan pengujian materiil. Hal ini dikarenakan bahwa peraturan kebijakan bukanlah peraturan perundang-undangan. Mengingat pula bahwa peraturan kebijakan didasarkan oleh kekosongan hukum, maka penekanannya tidak didasarkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, melainkan oleh wewenang diskresi.

Tiga Kerancuan Normatif 

Setidaknya dapat ditemui empat model dari mekanisme pembatasan sosial ini, yaitu: PPKM, PPKM Mikro, PPKM Darurat, dan PPKM Level. Pasca keluarnya Inmendagri 1/2021 pada awal Januari, geliat dasar hukum PPKM amat dinamis karena ia akan diperbaharui dalam waktu yang singkat (6 – 14 hari). Semangat sentralisasi amat terasa dalam model hukum ini karena pemerintah pusat berwenang untuk menginstruksikan model pembatasan sosial apa yang dapat diberlakukan di daerah, sesuai dengan kondisi laju penyebaran virusnya. Berdasarkan elaborasi mengenai konsep peraturan kebijakan diatas, setidaknya dapat ditemui tiga kerancuan normatif dalam pemberlakuan PPKM.

Pertama, pengeluaran Inmendagri tidak didasari oleh kekosongan hukum. Sistem hukum Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan tentang pembatasan sosial untuk keadaan pandemi, yaitu UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Bahkan, pemerintah Indonesia sudah pernah menggunakan produk hukum tersebut pada awal merebaknya pandemi pada Maret 2020. Hal ini dapat dilihat melalui pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang didasarkan pada Pasal 59 UU No. 6 Tahun 2018 jo. PP No. 21 Tahun 2020 tentang Pemberlakuan PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19. Disini pemerintah malah justru mengabaikan eksistensi UU 6/2018, dan memberlakukan kebijakan yang rancu secara kaidah ilmu perundang-undangan.

Kedua, Inmendagri tidak dapat dijadikan dasar hukum pembatasan HAM. Dalam diskursus HAM, dikenal kategori yang dinamakan derogable rights. Jenis HAM yang masuk dalam kategori tersebut dapat dibatasi pemenuhannya oleh pemerintah untuk keadaan tertentu yang darurat, seperti krisis kesehatan layaknya pandemi COVID-19. Dalam konteks pembatasan sosial guna menekan laju penyebaran virus, implementasinya akan membatasi hak-hak seperti hak untuk bekerja dan hak untuk berkumpul (secara non-virtual). Namun apabila kita menilik substansi Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945, diatur bahwa implementasi pembatasan hak tersebut harus didasari oleh Undang-Undang. Dapat dilihat bahwa hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya karena Inmendagri dapat dijadikan piranti pembatasan hak asasi, sementara UU 6/2018 yang lebih tepat fiturnya malah justru diabaikan. 

Ketiga, norma Inmendagri sebagai dasar hukum PPKM menjelma substansi peraturan perundang-undangan. Hal ini dapat ditilik dengan bagaimana norma-normanya relatif mengikat secara umum dengan konsekuensi pidana bagi pelanggar. Dikatakan relatif karena norma yang harus ditaati oleh masyarakat Indonesia berbeda-beda tergantung dengan laju penyebaran virus di suatu daerah. Hal ini rancu karena seharusnya peraturan kebijakan tidak memiliki kekuatan mengikat terhadap masyarakat umum secara langsung, hanya mengandung relevansi hukum dan diperuntukkan oleh badan atau pejabat administrasi negara.

Akuntabilitas yang Mustahil

Kerancuan normatif pada dasar hukum PPKM tersebut memiliki implikasi yakni akuntabilitas hukum menjadi hampir mustahil dimunculkan. Akuntabilitas hukum ini dapat berupa uji materiil ataupun gugatan oleh siapapun yang merasa dirugikan oleh pemberlakuan PPKM. Hal ini dikarenakan bahwa salah esensi teoritik dari peraturan kebijakan adalah tidak dapat digugatnya secara hukum sebab ia adalah produk diskresi. Tentu ini miris mengingat seabreknya kerancuan normatif yang ditemui dalam Inmendagri-Inmendagri tersebut.   

Namun dalam perkembangan sistem hukum Indonesia, peraturan kebijakan nyatanya pernah dapat diuji di meja hijau. Mahkamah Agung pernah mengeluarkan yurisprudensi via Putusan No. 23 P/HUM/2009 yang memutuskan bahwa SE No.03/31/DJB/2009 bertentangan dengan UU 4/2009. Bahkan PPKM sendiri pernah digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara via dimohonkannya Perkara 188/G/TF/2021/PTUN.JKT. Namun praktik tersebut telah memunculkan berbagai catatan kritis dari pakar hukum karena ia menyalahi aspek teoritis dari peraturan kebijakan itu sendiri. Ditambah pula, disini dapat dilihat adanya grey area dalam peraturan kebijakan, karena ada potensi bahwa jenis peraturan tersebut dapat diajukan di dua lembaga peradilan yang berbeda.

Bilapun terdapat kata setuju pada premis bahwa peraturan kebijakan dapat digugat di ranah yudisial, muncul satu problematika lagi untuk dasar hukum PPKM. Isu itu ialah kedinamisan dari pengeluaran Inmendagri terkait PPKM. Seperti yang telah dielaborasikan, dasar hukum PPKM akan diperbaharui setiap beberapa waktu sekali yang amat singkat. Hal ini akan berimplikasi pada semakin mustahilnya akuntabilitas hukum dari PPKM. Sebelum proses uji materiil di MA atau gugatan di PTUN telah diputuskan, dasar hukumnya sudah tidak berlaku. 

Obsesi Neo-Pembangunanisme

Dapat ditarik benang merah bahwa pemerintah Indonesia ingin membentuk dasar hukum yang melindungi mereka dari akuntabilitas hukum apabila terdapat pihak yang merasa dirugikan. Apabila kita merefleksikan saat Indonesia diterjang gelombang kedua pandemi, terdapat banyak sekali kerugian yang diderita oleh masyarakat Indonesia. Mulai dari kolapsnya sistem kesehatan, akses vaksinasi yang timpang di daerah non-Jawa Bali, keterlambatan penyebaran bantuan sosial yang menyebabkan disparitas ketahanan ekonomi. Kombinasi itu memberikan resultan yaitu tingginya tingkat mortalitas di Indonesia.

Intensi pemerintah untuk imun akan pertanggungjawaban adalah salah satu contoh dari gambaran besar kesalahkaprahan pemerintah dibawah naungan Presiden Joko Widodo terkait penanganan pandemi. Kesalahkaprahan ini berkonteks pada mitigasi pandemi yang terlalu memprioritaskan pemulihan ekonomi daripada penanganan krisis kesehatan itu sendiri. Dari sini, metode “gas-rem” diberlakukan pada pembatasan sosial agar ekonomi dapat berjalan sebisa mungkin. Seabrek pakar telah mengatakan bahwa arah gerak tersebut malah justru kontraproduktif dengan upaya pemulihan ekonomi jangka panjang akibat pagebluk, serta mengabaikan kewajiban pemenuhan hak atas kesehatan untuk masyarakat Indonesia.

Kerancuan lanskap kebijakan tersebut dipupuk oleh obsesi neo-pembangunanisme yang menjadi karakteristik utama dari kepresidenan Jokowi. Meminjam riset Eve Warburton, neo-pembangunanisme berpandangan bahwa negara adalah aktor utama dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang masif. Kebijakan ekonominya kental akan nuansa pragmatisme dan kejangkapendekan, serta bertumpu pada tiga mantra: pembangunan infrastruktur, deregulasi, dan debirokratisasi. Karakteristik pemerintahan ini meminjam premis dari model negara developmental state (DS) yang praktiknya dapat ditemui di Singapura dan negara-negara Asia Timur pada akhir abad ke-20. Inti dari model DS adalah ekonomi politik kapitalis yang sarat akan intervensi negara, sehingga basis pertumbuhan ekonomi adalah dominansi sinergi antara negara dengan sektor bisnis.

Namun, model neo-pembangunanisme ala Jokowi cenderung mengesampingkan kewajiban negara seperti pemenuhan hak asasi manusia, eradikasi korupsi, dan keberlanjutan lingkungan. Peran negara tersebut acapkali disubordinasikan dengan agenda-agenda perekonomian. Menurut Jokowi, memprioritaskan isu-isu tersebut dapat mendistorsi kestabilan iklim politik yang sangat diperlukan untuk kemaslahatan agenda perekonomian tersebut. Hal ini dikarenakan bahwa kestabilan iklim politik tersebut tercipta karena kartelisasi sistem politik dan akses patronase dengan oligarki. Disinilah titik perbedaan antara model neo-pembangunanisme dengan model DS, dimana kestabilan iklim politik dicapai dengan mengadopsi depolitisasi dan teknokrasi otoritarian dalam struktur birokrasi pemerintahan, demi menjamin tingginya efisiensi dan efektivitasnya.

Praktik kartelisasi di era Jokowi dapat dilihat dengan bagaimana pemerintahannya ditopang oleh dukungan tujuh partai politik di DPR, dan hanya dua partai politik yang berposisi sebagai oposisi. Pemerintah yang mempraktikkan sistem politik kartel pada dasarnya akan membentuk koalisi yang segemuk mungkin dengan siapa saja (bahkan dengan oposisi atau yang bertentangan secara ideologis) demi mewujudkan kegagalan oposisi. Kegagalan oposisi ini karena nihilnya partai politik yang berposisi sebagai oposisi. Dapat direalisasi sonder represi militeristik ala Orde Baru, kartelisasi semakin licin untuk terwujud dalam demokrasi era reformasi di Indonesia yang berbasis multipartai.

Lantas mengapa banyak sekali partai politik yang ingin untuk melantunkan kebijakan-kebijakan pemerintah secara unison? Jawabannya adalah akses patronase dengan oligark. Baik disaat kampanye untuk periode kedua dan geliat pemerintahannya, Jokowi membuka ruang partisipasi yang sangat luas kepada oligark tambang dan media. Dari sini, aspek transaksional akan tercipta dimana kebijakan yang pro-oligarki akan dihadiahi oleh akses patronase. Mengingat demokrasi Indonesia masih dirundung oleh problematika sistemik yakni tingginya biaya pelaksanaan, partai politik akan berlomba-lomba untuk mendapatkan akses tersebut demi keberlanjutan eksistensinya. Akhirnya, peran oposisi menjadi tidak menarik dan beresiko untuk dimainkan dalam sistem perpolitikan Indonesia.

Disini kita dapat melihat bagaimana pemerintahan Jokowi dibebani untuk mengakomodir segunung kepentingan, antara oligark dan partai politik yang dikartelkan. Hal inilah yang mendasari mengapa mitigasi pandemi di Indonesia lebih berdasar pada pemulihan ekonomi. Kepentingan klientelisme terlalu besar untuk dinegasikan demi kepentingan publik dan pemenuhan hak asasi manusia. Namun pemerintah tetap saja tak bisa melenyapkan kewajiban untuk menurunkan laju penyebaran virus, karena hal tersebut juga berpengaruh pada kemaslahatan obsesi pertumbuhan ekonomi tersebut. Model dasar hukum PPKM yang dirundung kerancuan normatif tersebut adalah contoh utama dari obsesi neo-pembangunanisme di era Jokowi tersebut. 

Refleksi Legalisme Otokratik

Mitigasi pandemi dilakukan hanya setengah hati, hanya dilakukan dalam kadar agar laju pertumbuhan ekonomi tak terdisrupsi. Prinsip setengah hati itu tentu akan merugikan beberapa kelompok, terutama kelompok rentan. Oleh karena itu, pemerintah menciptakan model hukum yang membendungi akuntabilitas dari kerugian yang disebabkan oleh pemerintah. Fiasko tersebut semakin menunjukkan minimnya keberpihakan Jokowi terhadap pemenuhan hak asasi manusia secara progresif.

Sekalipun nafas lega dapat dihembuskan pasca landainya kurva penyebaran di akhir tahun ini, model mitigasi pandemi pemerintah patut dijadikan perihal refleksi. Refleksi terhadap semakin masifnya terjadi fenomena otokratik legalisme dalam sistem hukum Indonesia kiwari ini. Fenomena tersebut terjadi dikala hukum dijadikan senjata untuk menghancurkan sistem demokrasi dan konstitusionalisme. Dua ciri utama yang dapat ditemui adalah substansi dan formulasi norma hukum yang ugal-ugalan dan mengabaikan teori/filosofi hukum, serta isi hukum tersebut berpihak pada kepentingan ekonomi-politik yang dominan. Mengingat bahwa kepentingan ekonomi-politik oligarki mendominasi di Indonesia, maka disitulah hukum akan berpihak. Seperti yang diharapkan penulis di awal tulisan, semoga gelombang ketiga tak terjadi agar impunitas akibat mitigasi pandemi yang dibajak oleh obsesi neo-pembangunanisme tak bertambah lagi kasusnya.

Penulis: Pradnya Wicaksana (Koordinator Amnesty International Indonesia Chapter UNAIR)

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp