Demokrasi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh theglobal-review.com

Magna Charta (Piagam Besar) dianggap sebagai tonggak penting dalam perkembangan demokrasi. Magna Charta (1215) berisi kontrak antara beberapa bangsawan (Baron) dan Raja John dari Inggris di mana untuk pertama kali seorang raja yang berkuasa mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin beberapa hak dan privilese dari bawahannya sebagai imbalan untuk dukungan mereka membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan kegiatan perang (Budiardjo, 2010: 109, 213). Hak-hak yang dijamin di antaranya adalah pemungutan pajak tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan dari pihak yang bersangkutan (no taxation without representation) dan tidak dapat dilakukan penangkapan tanpa ada proses peradilan.

Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Magna Charta kemudian menjadi landasan bagi lahirnya peristiwa lain yang meningkatkan proses demokratisasi di Inggris. Pada tahun 1688 terjadi Glorious Revolution (Revolusi Agung) yaitu konflik antara Raja James II dan parlemen Inggris yang berakhir dengan penurunan paksa Raja James II dari kekuasaannya. Hasil penting dari Revolusi Agung ini adalah pada tahun 1989 parlemen Inggris membuat Undang-Undang Deklarasi Hak (Bill of Rights) yang di antaranya menetapkan hak rakyat untuk mengajukan petisi kepada raja dan hak kebebasan berbicara.

Dari machtsstaat ke rechtsstaat

Peristiwa seperti Magna Charta dan Glorious Revolution membawa makna baru ihwal pengoperasian kekuasaan dalam berpemerintahan. Pada masa sebelumnya, yang beroperasi adalah negara berdasarkan kekuasaan (machtsstaat) dengan cirinya adalah pemerintahan yang menindas dan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Konsep hak ilahi raja (divine right of kings) menjadi basis legitimasi pemerintahan berdasarkan negara kekuasaan yaitu kekuasaan raja adalah mandat Tuhan dan karena sifatnya suci maka raja tidak dapat salah (the king can do no wrong). Dalam konsep hak ilahi raja, raja tidak bertanggung jawab kepada orang atau lembaga di bumi tetapi kepada Tuhan karena kekuasaan raja berasal dari Tuhan sendiri.

Konsep kekuasaan yang dilahirkan oleh Magna Charta dan Glorious Revolution adalah rechtsstaat atau rule of law yaitu pemerintahan berdasarkan hukum atau pemerintahan konstitusional. Dalam pemerintahan berdasarkan hukum semua orang, baik itu penguasa maupun rakyat, harus bertindak berdasarkan aturan yang telah dibuat bersama. Kekuasaan dari seorang penguasa tidaklah mutlak tetapi dibatasi oleh konstitusi. Konstitusi itu sendiri dianggap sebagai kristalisasi dari hak-hak rakyat sehingga apabila penguasa bertindak berdasarkan konstitusi, maka dengan sendirinya hak-hak rakyat terjamin.

Negara berdasarkan hukum ini banyak mendasarkan diri pada teori kontrak sosial dari John Locke (1632-1704). Teori itu menyatakan bahwa negara terbentuk berdasarkan kontrak yang disepakati bersama antara penguasa dan rakyat. Rakyat menyerahkan mandatnya kepada penguasa dengan syarat bahwa rakyat baru menaati penguasa tersebut apabila dia menggunakan mandat itu untuk menjamin hak-hak dari rakyat. Dalam konteks ini, yang berlaku bukan lagi hak ilahi raja (divine right of kings) melainkan kedaulatan rakyat (people’s sovereignty). Penguasa bertanggung jawab dan tunduk kepada rakyat.

Melalui kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang menjadi pengawas utama pemerintah karena kekuasaan pemerintah tak lain adalah titipan mandat rakyat, dan yang sewaktu-waktu dapat ditarik kembali. Peran pemerintah dalam konsep negara berdasarkan hukum itu sangat minimal yaitu seperti watchdog (anjing penjaga di malam hari) yang baru menggonggong apabila ada pencuri. Pemerintah baru bertindak apabila terdapat perbuatan rakyat yang mengganggu ketertiban umum.

Dalam konteks pemahaman seperti itu, hemat saya, sangat aneh ketika di negeri ini ada pejabat publik yang melaporkan dan mengancam lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengkritik mereka; atau ketika ada kepala daerah yang mengancam memenjarakan tokoh adat karena berdebat dengannya soal tanah ulayat. Kasus-kasus tersebut banyak menyita perhatian publik di media massa belakangan ini. Meskipun laporan ke lembaga penegak hukum dari pejabat publik tersebut mengatasnamakan pribadi, tetapi kesan bahwa mereka melakukan itu lebih karena mempunyai kekuatan berbasis status jabatan publik itu tetap sulit dibantah. 

Sangat penting untuk disadari bahwa mengkritik pejabat publik yang diduga melakukan penyimpangan adalah hak rakyat yang ingin memastikan bahwa mandat yang telah dititipkannya dijalankan dengan benar. Kewajiban moral para pejabat publik untuk mendengar kritik itu. Juga kritik dari rakyat yang bersifat tuduhan sekalipun tetap harus diterima karena toh pada akhirnya ada lembaga penegak hukum yang akan membuktikan kebenarannya.

Para pejabat publik yang melapor dan mengancam LSM dan rakyat telah membalikkan esensi demokrasi yaitu rakyat yang mengawasi pemerintah menjadi pemerintah yang mengawasi rakyat. Pemerintah yang mengawasi rakyat itu adalah sistem otoriter dan totaliter, bukan sistem demokrasi sebab sebagaimana dikatakan di depan bahwa peran pemerintah dalam sistem demokrasi itu sebatas watchdog. Para pejabat publik tersebut telah berperangai otoriter di balik kedok demokrasi. Maka, rakyat harus selalu merapatkan barisan dalam melawan ulah para pejabat publik perusak demokrasi!

Penulis: Ransis Raenputra, Mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas Airlangga

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp