Prof Sutinah Resmi Dikukuhkan Jadi Guru Besar FISIP ke-19

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Prof. Dr. Sutinah, Dra., M.S. ketika menyampaikan orasi ilmiahnya pada pengukuhan Guru Besar UNAIR (15/12/21) di Aula Garuda Mukti, Kantor manajemen Kampus C UNAIR. (Foto : Agus Irwanto)

UNAIR NEWS – “Menjadi Guru Besar adalah amanah sekaligus tantangan sebagai pendidik”. Begitu ungkap Prof. Dr. Sutinah, Dra., M.S. membuka sambutan dalam seremonial pengukuhan Guru Besar di Aula Garuda Mukti, Gedung Manajemen Kampus C Universitas Airlangga (15/12/21).

Prof Sutinah, sapaannya, resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang ke-19. Gelar itu didapat setelah 39 tahun mengabdi sebagai pendidik di UNAIR sejak tahun 1982. 

Dalam prosesnya menjadi Guru Besar, wanita kelahiran Kulon Progo tahun 1958 itu mengerjakan riset menyoroti Kapitalisme dan Ancaman Eksploitasi. Khususnya mengenai upaya pemenuhan hak dan perlindungan bagi buruh outsourcing di Indonesia. 

“Di era persaingan usaha yang semakin kompetitif, perusahaan fokus pada pekerjaan yang menjadi bisnis inti (core business). Sedangkan pekerjaan lain yang sifatnya penunjang dilimpahkan ke pihak lain (outsourcing, Red). Ini menjadi strategi perusahaan untuk meningkatkan keuntungan, dan mengembangkan investasi,” ujarnya.

Prof Sutinah menerangkan, sedikitnya terjadi tiga bentuk diskriminasi dalam hubungan kerja kontrak dan outsourcing di berbagai perusahaan. Pertama, diskriminasi usia dan status perkawinan. Diskriminasi upah dan kesejahteraan. Serta terakhir, diskriminasi hak berserikat. 

Meski outsourcing dinilai merugikan buruh karena upah yang rendah dan bersifat diskriminatif. Namun disisi lain angka pengangguran yang sangat tinggi menjadi alasan bagi pemerintah untuk melegalkan outsourcing. Sistem outsourcing juga menjadi alternatif terbaik bagi para fresh graduate untuk mencetak pengalaman kerja.

Menurutnya, pekerja semestinya tidak dianggap memiliki keunggulan komparatif. Namun harus diposisikan memiliki keunggulan kompetitif dan berdaya saing tinggi. 

“Itulah yang seharusnya menjadi peran negara melindungi para pekerja dengan memberikan bekal keterampilan dan keahlian. Sehingga pekerja memiliki kualitas dan mampu bersaing,” tutur Prof Sutinah. 

Tetapi fakta yang terjadi malah sebaliknya. Sejumlah perusahaan memanfaatkan momen pandemi untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan tertentu. Padahal perusahaan tetap melakukan aktivitas produksi sebagaimana mestinya.

Menutup presentasinya, Prof Sutinah menggarisbawahi, penarikan investasi demi devisa memang akan mendorong laju pertumbuhan ekonomi negara. Namun jika hal itu tidak didukung fondasi sosial yang kuat (kesejahteraan dan perlakuan adil bagi para pekerja, Red), maka dalam jangka panjang bukan tidak mungkin akan menjadi bumerang yang menggoyah ketahanan ekonomi negara.

“Investasi dan bantuan asing memang sangat penting untuk pembangunan. Meski begitu, kami sangat berharap bahwa pemerintah hendaknya tetap berkomitmen untuk memberikan perlindungan kepada pekerja,” tutupnya. (*)

Penulis: Erika Eight Novanty

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp