Bali Democracy Forum: Kearifan Lokal Khas Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Secara umum bangsa Indonesia memang dikenal sebagai bangsa yang menjunjung nilai-nilai luhur, menjaga tata krama kesopanan, menghindari konflik agar orang lain tidak tersinggung. Di dunia politik bisa kita lihat kenyataan apabila ada seorang politisi muda yang memang pintar, tapi cenderung menggurui orang lain lebih-lebih seniornya (misalnya ketua partai) maka sulit bagi yang bersangkutan karirnya meningkat, bisa-bisa keluar dari gelanggang politik. Dalam kancah pergaulan antar negara, Indonesia juga mendasarkan sikapnya dengan karakter bangsa ini.

Banyak nilai-nilai luhur yang ada di berbagai suku di Indonesia mengajarkan bagaimana bersikap santun terhadap orang lain, tidak merasa benar sendiri. Kiai sepuh kharismatik dan ahli fiqh dari Sarang, Rembang, Jawa Tengah KH. Maimoen Zubeir yang terkenal d sebut Mbah Moen dalam wejangan atau nasihatnya yang terkenal pada waktu acara haul Pondok Pesantren Denanyar 28 Maret 2017 mengatakan tentang bagaimana orang pintar dan benar:

Ora kabeh wong pinter kuwi bener” (Tidak semua orang pintar itu benar)
”Ora kabeh wong bener kuwi pinter” (Tidak semua orang benar itu pintar)

”Akeh wong pinter ning ora bener” (Banyak orang pintar tapi tidak benar)

“Lan akeh wong bener senajan ora pinter” (Dan banyak orang benar meskipun tidak pintar)

“Nanging tinimbang dadi wong pinter ning ora bener” (Tapi dari pada jadi orang pintar namun tidak benar)
“Luwih becik dadi wong bener senajan ora pinter” (Lebih baik jadi orang benar meskipun tidak pintar)

“Ana sing luwih prayoga yoiku dadi wong pinter sing tansah tumindak bener” (Ada yang lebih baik lagi yaitu orang pintar yang selalu beperilaku benar)

“Minterno wong bener kuwi luwih gampang tinimbang mbenerake wong pinter” (Membuat  orang benar jadi pintar itu lebih gampang dari pada memperbaiki orang pintar)

“Mbenerake wong pinter kuwi mbutuhke beninge ati lan jembare dodho” (Memperbaiki orang pintar itu butuh jernihnya hati dan lapang dada)

Filosofi yang maknanya dalam itu adalah local wisdom di bumi Nusantara ini yang mengajari bagaimana menyebarkan atau berbagi pengalaman, pendidikan, dan sebagainya kepada orang lain secara professional (pintar) dengan berperilaku transparan (benar) dan dengan kejujuran dan lapang dada, low profile, tidak merasa paling benar sendiri.

We are not lecturing you

Pada tanggal 9 Desember 2021 lalu Menlu Retno Marsudi membuka Bali Democracy Forum (BDF) yang dihadiri oleh sebanyak 335 peserta dari 95 negara. Sayangnya, tidak semua masyarakat tahu apa itu BDF.

BDF didirikan pada tahun 2008 dengan memakai local wisdom atau kearifan lokal yang dipakai oleh para pemimpin nasional Indonesia seperti Mbah Moen itu. BDF didirikan pada saat Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden. Forum yang didirikan ini adalah pertemuan internasional tahunan yang dihadiri banyak presiden, perdana menteri, raja, menteri luar negeri dari banyak negara untuk membicarakan, mendiskusikan isu-isu tentang promosi demokrasi yang berkelanjutan, terutama di kawasan Asia Pasifik. Lembaga pelaksana atau the Implementing Body dari Bali Democracy Forum ini adalah Institute for Peace and Democracy (IPD) yang berkedudukan di Universitas Udayana Denpasar Bali.

Sebenarnya forum ini adalah bagian dari kebijakan luar negeri Indonesia untuk mewujudkan tata bangun demokrasi atau democratic architecture melalu praktik berbagi pengalaman atau sharing experience dan mendiskusikan best practices, menganut prinsip equality, dan saling menghormati.

Dalam Forum ini Indonesia dengan memakai filosofi kearifan lokal di atas secara jujur, jembare dodho, lapang dada dan transparan berbagi pengalaman tentang upaya Indonesia menuju demokrasi. Dan Indonesia tidak menggurui negara-negara yang ikut dalam Forum ini, tidak lecturing dengan mengatakan pada negara-negara tersebut ‘You have to do this, to do that’. Indonesia dengan jujur juga menjelaskan tantangan yang dihadapi, misalnya soal korupsi, ketimpangan ekonomi,  dan sebagainya. Tapi Indonesia juga menjelaskan kenapa transisi demokrasi di Indonesia mulus, kenapa militer tidak melakukan kudeta.

Cara Indonesia yang membuat semua negara partisipan sebagai mitra bukan subordinate atau bawahan menarik banyak negara-negara berkembang untuk ikut forum ini. Mereka merasa dihargai untuk menerapkan demokrasi sesuai dengan kondisi masing-masing negara. Mereka juga merasa dibesarkan hatinya untuk melaksanakan demokrasi secara berkelanjutan, tanpa harus diajari seperti murid yang tidak tahu apa-apa dan sering di kritik ‘you are wrong’.

Saya pernah bertemu beberapa kali dengan Direktur Eksekutif IPD Dr. I Ketut Putra Erawan baik di Bali maupun di Jakarta. Beliau menjelaskan bahwa banyak negara-negara yang masih mengalami transisi ingin belajar mengetahui lebih lanjut proses demokrasi di Indonesia, tentang bagaimana Indonesia mengelola masyarakat yang plural, dan sebagainya. Misalnya setelah revolusi Tahrir Square di Cairo Mesir atau Tunisia (dimana Arab Spring bermula) banyak tokoh-tokoh cendekiawan datang ke Indonesia untuk melihat sendiri kondisi demokrasi di Indonesia. Bahkan merekaa tertarik belajar Pancasila. Para politisi Myanmar, Kamboja, Laos dan Vietnam juga sering datang ke Indonesia untuk melakukan hal yang sama. Mereka sering berdiskusi dengan tokoh-tokoh reformis Indonesia seperti Letjen TNI Agus Wijoyo, tokoh NU almarhum KH. Hasyim Muzadi, mantan Menlu Hasan Wirayudha, dan menghadiri seminar maupun workshop yang diselenggarakan IPD.

Bahkan pada waktu pemilihan gubernur Jakarta, IPD berpartisipasi dalam EVP atau Election Visit Program yang diselenggarakan KPU untuk menyaksikan Pemilihan Guberrnur DKI dimana negara-negara lain juga tertarik untuk ikut program ini seperti delegasi dari Korea Selatan, Australia, Nepal, Thailand, Tunisia, Timor Timur, Banglades,Filipina dan lain lainnya, para delegasi diajak menyaksikan sendiri proses pesta demokrasi dengan mengunjung TPS-TPS yang tersebar di kota Jakarta dan mendiskusikan isu-isu yang berkembang dalam pilgub itu.

Apa Kita Terus Low Profile?

Sikap low profile Indonesia dalam berbagi pengalaman demokrasi kepada negara-negara sahabat itu memang tepat karena sesuai dengan karakter bangsa yang tidak mau menggurui negara lain, dan nampaknya sikap ini menjadi best practice di Kementrian Luar Negeri Indonesia.

Akan tetapi dari perspektif komunikasi politik, nampaknya sikap low profile ini barangkali perlu di-review, karena berbagai terobosan gemilang Indonesia dalam diplomasi di berbagai negara dan di pertemuan-pertemuan internasional tidak diketahui publik secara luas atau nobody knows. Keberhasilan para Menteri Luar Negeri Indonesia dalam misi diplomatiknya seperti di PBB, Timur Tengah, dan Myanmar tidak banyak diketahui. Tentu beberapa pemimpin negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, Rusia, Australia, Jepang, Cina, dll, tahu dan paham betul terobosan-terobosan gemilang Indonesia ini, dan itu diungkapkan apabila para pemimpin negara-negara tersebut bertemu dengan Presiden Indonesia atau Menlu namun hal ini tidak diketahui secara luas publik.

Keberhasilan Bali Democracy Forum dalam menarik banyak negara untuk belajar melihat proses demokrasi Indonesia dan Pancasila, perlu digaungkan secara luas dan terbuka. Hal tersebut agar rakyat tahu dan hal ini juga merupakan akuntabilitas pemerintah kepada rakyat, dan itu bukan berarti membusungkan dada. Indonesia tetap harus melakukan tugasnya dalam menjaga ketertiban dunia dengan memakai local wisdom yang dimilikinya.

Berita Terkait

Ahmad Cholis Hamzah

Ahmad Cholis Hamzah

Contributor of Media UNAIR, Alumni of Faculty of Economics Airlangga University’73 and University of London, UK.