Google Tidak Mengajari Itu

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

“Jika anda menjadi guru hanya sekadar transfer pengetahuan, akan ada masanya dimana Anda tidak lagi dibutuhkan karena Google lebih cerdas dan lebih tahu banyak hal dari pada Anda. Namun jika anda menjadi guru juga mentransfer adab, ketaqwaan dan keikhlasan, maka Anda akan selalu dibutuhkan karena Google tak punya itu semua”. K.H. Dimyati Rois

Pada tahun-tahun 50-60-an ketika saya masih belajar di SR atau Sekolah Rakyat (sekarang SD, Sekolah Dasar) saya belajar mata pelajaran budi pekerti, cara sopan santun dengan orang lain terutama yang lebih tua, saling menghormati dengan sesama. Kalau pulang pun kami satu kelas diminta ‘anteng-antengan’ atau bersikap hormat diam tidak membuat gaduh sambil kedua tangan ditaruh di bangku kelas. Siapa yang paling ‘anteng’ pulang duluan. Masuk sekolah berbaris sambil mencium tangan ibu/bapak guru, dan masuk di kelas pun semua tangan diperiksa kukunya, yang kukunya kedapatan panjang dihukum. Cara menghukum pun pada waktu itu secara umum, dijewer telinga kita atau disetrap, disuruh berdiri di depan kelas.

Dimasa-masa itu ketika saya mengaji Al-Qur’an di langgar atau surau di kampung saya di Surabaya Pusat agak ke utara, kalau bacaan tajwid – panjang pendeknya bacaan- salah, maka tangan saya dipukul pelan-pelan oleh ustaz saya dengan kayu rotan kecil.

Kami anak-anak kecil tidak marah atau protes kalau mendapat hukuman seperti itu. Malahan kami begitu hormatnya kepada bapak ibu guru dan ustaz kami. Sikap hormat kami itu di samping diajarkan orang tua kami masing-masing di rumah, juga kami peroleh dari pelajaran budi pekerti itu. Hasilnya, kami bersikap sopan kepada mereka, tidak berani menatap matanya ketika kami ditegur atau dinasihati.

Kalau saya lapor pada almarhumah ibu dan kakak-kakak saya kalau saya menerima hukuman dijewer atau dipukul dengan rotan, ibu dan kakak-kakak saya juga tidak bereaksi berlebihan. Dihukum karena salah itu bagi mereka sudah merupakan accepted norms, atau norma-norma umum yang diterima di masyarakat kita. Sudah jamak dan wajar anak salah dihukum, tentu hukuman yang wajar dalam bentuk kasih sayang.

Dalam perkembangan zaman yang kita klaim sebagai zaman modern ini, kadang terjadi ketika anak lapor dihukum gurunya, maka ada orang tua yang menganggap tindakan itu sebagai violation of human rights atau pelanggaran hak azasi manusia, dan karena itu guru tersebut harus dilaporkan ke polisi.

Banyak kejadian, murid-murid yang tidak terima dinasihati atau ditegur gurunya karena melanggar norma atau aturan yang berlaku malah dengan beraninya melawan gurunya, dengan membelalakkan matanya tanda marah menantang berkelahi. Misalnya pada bulan Februari 2019 kita dikejutkan dengan berita seorang murid di Gresik Jawa Timur menantang gurunya – seorang guru honorer yang gajinya hanya Rp 450.000 perbulan karena ditegur disuruh masuk kelas sebab pada jam pelajaran murid itu dengan teman-temannya berada di warung kopi. Masih di bulan Februari 2019, di Jogyakarta, seorang guru juga di-bully seorang murid karena tidak terima handphone-nya disita pada saat ujian. Memang aturannya saat ujian murid-murid dilarang bawa HP.

Yang menyedihkan dalam kedua kejadian itu, semua murid di kelas tertawa-tawa menyaksikan kejadian, bahkan merekam temannya yang melawan guru-gurunya tadi.

Yang lebih menyedihkan lagi, pada tahun 2018 juga di bulan Februari, seorang murid di Sampang Madura yang tidak terima ditegur gurunya karena membuat gaduh di kelas memukul gurunya – yang nota bene guru honorer – di depan teman-temannya sampai mengakibatkan tewasnya guru tersebut. Kejadian semacam itu juga terjadi di beberapa daerah.

Meskipun kita tidak boleh menggeneralisir bahwa murid-murid jaman now ini punya perilaku seperti itu, karena masih buaaaaannyaaak (kata orang Surabaya) anak-anak didik di negeri ini yang memiliki perilaku sopan santun, namun kejadian itu merupakan pengingat atau wake up call bagi bangsa ini bahwa mata pelajaran seperti Budi Pekerti itu masih sangat relevan di zaman Revolusi Industri 4.0 ini. Mata pelajaran Budi Pekerti – atau apapun namanya saat ini seperti Pendidikan Moral Pancasila/PMP atau Soft Skill di Perguruan Tinggi – adalah mata pelajaran penting karena itu berasal dari akar budaya bangsa yang luhur, berasal dari nilai-nilai agama yang agung.

Saya sering becerita tentang pengalaman mengikuti Pertukaran Pemuda ASEAN – Jepang tahun 1982 waktu di atas Kapal Program Pertukaran itu – Nippon Maru, dan ketika berada di Jepang atau ketika saya bekerja di sebuah Bank Jepang yang terkemuka tahun 1990-an, menyaksikan orang-orang Jepang yang muda menghormati para senior mereka dengan membungkukkan badan atau menganggukkan kepala dalam-dalam, serta dengan menjaga jarak badan mereka tanda hormat. Jepang yang soal modernitasnya melebihi bangsa kita, tapi masih melestarikan budaya luhur mereka, menghormati orang yang lebih tua. Rombongan anak-anak Jepang yang berangkat sekolah dan menyebrang lewat zebra cross, dipersilahkan lewat oleh para pengendara mobil yang berhenti untuk memberi kesempatan mereka menyebrang lebih dulu. Sesampainya di seberang jalan, rombongan  murid SD Jepang itu bersama-sama membungkukkan badan tanda terima kasih kepada para pengendara mobil.

Jadi apapun zaman yang melintasi kita, apakah itu 4.0, atau 5.0 atau apapun sebutannya nanti yang ditandai dengan kemajuan teknologi di luar jangkauan manusia, yang semuanya menggunakan teknologi informasi super canggih, robot, online, digital, artificial intelligent, dsb, anak-anak kita harus diajari budi pekerti yang baik, diajari sejak awal soal manner – sopan santun. Misalkan pada hari Raya Idul Fitri atau hari raya lainnya yang berlaku di negeri ini, maka anak-anak kita, bahkan kita sendiri wajib melakukan silaturahim secara fisik, bertatap muka, mencium tangan kedua orang tua, minta doa restu mereka, berdialog dengan santun, yang menunjukkan adab, tata cara sopan santun yang baik dengan orang yang lebih tua. Jangan karena alasan kemajuan teknologi, anak-anak kita melakukan silaturahim hanya lewat WhatsApp, Facebook, Twitter, atau Instagram. Bagi saya silaturahim dengan cara ini adalah merupakan budi pekerti yang tidak real alias semu.

Di beberpa perguruan tinggi dipasang poster yang berisi pedoman berkomunikasi dengan dosen lewat media sosial, dengan tahapan yang runtut mulai dengan sapaan salam sampai tahapan adab berkomunikasi dengan dosen. Pedoman ini menunjukkan betapa seriusnya soal adab atau sopan santun itu.

Bagi para pendidik di lingkungan Universitas Airlangga yang memiliki kredo Excellence with Morality itu ada baiknya menyimak nasihat bijak dari KH. Dimyati Rois – salah satu Ulama NU yang kondang – yang saya tulis di awal artikel ini tentang perlunya mengajari adab, ketaqwaan dan keikhlasan. (*)

Berita Terkait

Ahmad Cholis Hamzah

Ahmad Cholis Hamzah

Contributor of Media UNAIR, Alumni of Faculty of Economics Airlangga University’73 and University of London, UK.