Untuk yang Kesekian Kalinya, Permendikbud-Ristek 30/2021 Bukan Piranti Legalisasi Seks Bebas!

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Mawaka ID

Sudah tersebar kemana-mana warta bahwa Nadiem Makarim telah meneken Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud-Ristek) 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbud-Ristek PPKS). Diharapkan beleid ini dapat menjadi langkah progresif untuk menjawab problematika kekerasan seksual di kampus yang telah menjamur di Indonesia. Namun langkah ini justru menuai respon pro-kontra, terutama dari kelompok Islamis. Formulasi Permendikbud-Ristek PPKS dianggap mengabaikan norma-norma agama, dan justru malah berpotensi melegalisasi praktik seks bebas atau zina di ranah perguruan tinggi. Oleh karena itu, tak sedikit pula organisasi keagamaan yang ingin beleid ini direvisi atau dibatalkan.

Sudah tak sedikit yang mengatakan bahwa argumen penolakan Permendikbud-Ristek PPKS itu didasarkan pada kekeliruan pemahaman akan konteks. Fokus dari produk hukum ini adalah untuk mengeradikasi kekerasan seksual di perguruan tinggi dan melindungi korban agar dapat mengakses keadilan. Pengecapan bahwa beleid ini mendegradasi norma kesusilaan dan keagamaan, malah dapat mendistorsi pemahaman publik mengenai pentingnya kekhususan hukum dalam menangani kekerasan seksual di kampus. Untuk itu, kami mengamplifikasikan premis ini di Bumi Airlangga: Permendikbud-Ristek PPKS bukanlah piranti legalisasi seks bebas. Tak hanya itu, kami juga akan mendedah secara kilat substansi beleid tersebut serta langkah apa yang bisa diambil UNAIR pasca pengesahan Permendikbud-Ristek PPKS.

Perlindungan Korban Bukan Melegalkan Perzinahan

Salah kaprah terkait Permendikbud-Ristek PPKS telah sangat jauh melenceng dari apa yang sesungguhnya diatur di dalamnya. Salah satunya adalah tuduhan bahwa Permendikbud-Ristek PPKS melegalkan perzinahan. Perzinahan yang dimaksud adalah perzinaan dalam definisi Agama Islam, bukan perzinahan menurut Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pihak yang mengklaim Permendikbud-Ristek PPKS melegalkan perzinahan berargumen bahwa frasa ‘tanpa persetujuan korban’ pada Pasal 5 ayat (2) Permendikbud-Ristek PPKS mengandung makna bahwa kegiatan seksual dapat dibenarkan apabila ada persetujuan korban (consent) atau dengan kata lain melegalkan kegiatan seksual di lingkungan kampus. Tuduhan yang dapat kami katakan mengada-ngada dan tidak paham konteks. Pertama-tama karena frasa tersebut merupakan digunakan untuk memberikan batasan terhadap kekerasan seksual. Kekerasan seksual adalah perbuatan yang dilakukan tanpa ‘persetujuan’. Bagaimana memberi batasan terhadap kekerasan seksual apabila frasa tersebut dihapus? ‘Persetujuan’ pun bukan konsepsi yang asing dalam hukum, utamanya hukum pidana. Seseorang yang mengambil barang milik orang lain dapat dikenakan pencurian, kecuali telah mendapat ‘persetujuan’ dari pemilik barang. Kedua, tak paham konteks. Permendikbud-Ristek PPKS adalah peraturan yang mengatur pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Tentu di dalamnya mengatur terkait hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan seksual, bukan perzinahan atau perbuatan asusila.  

Mengapa Beleid ini Penting?

Kekerasan seksual di kampus telah menjadi problematika yang menjamur di Indonesia. Lebih sedihnya, problematika ini menjelma fenomena gunung es karena sedikit sekali korban yang berani melapor atau mengungkapkan ceritanya ke publik. Hal ini dikarenakan oleh maraknya victim blaming, stigmatisasi korban, ancaman perusakan karir akademik, disparitas relasi kuasa, budaya patriarki, hingga hegemoni dalih “nama baik kampus” yang salah kaprah pada korban kekerasan seksual. Dalam laporan jurnalisme oleh Tirto pada tahun 2019, sebanyak 87 penyintas dari total 174 penyintas kekerasan seksual di kampus memutuskan untuk tidak melapor. Survei yang dilangsungkan oleh Kemendikbud-Ristek RI pada tahun 2020 mengatakan 77% dosen di Indonesia mengatakan bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampus, namun 63% enggan melaporkannya.

Namun, problem utama dari lanskap miris ini nihilnya payung hukum terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang komprehensif, serta dapat memberi ruang aman bagi korban untuk mengakses keadilan. Disinilah kehadiran Permendikbud-Ristek , yang formulasinya didasari oleh semangat anti kekerasan seksual serta perspektif korban. Kombinasi politik hukum ini setidaknya ingin mencapai gebrakan dalam tiga hal, yakni: a) rekayasa publik mengenai persepsi terhadap kekerasan seksual; b) penjaminan hak-hak korban dan saksi terkait kekerasan seksual di kampus; dan c) peningkatan efektivitas untuk eradikasi kekerasan seksual di kampus.

Lebih jauh lagi, kehadiran beleid ini adalah bentuk pemenuhan hak asasi manusia untuk sivitas akademika perguruan tinggi. Spesifiknya, bentuk hak tersebut adalah hak atas rasa aman dan hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia yang termaktub dalam Pasal 28G UUD NRI 1945. Ini juga merupakan kemajuan dalam pelaksanaan amanat konstitusi oleh pemerintah Indonesia untuk pemenuhan hak asasi manusia.

Mendedah Gebrakan Hukum Permendikbud-Ristek PPKS

Hope Helps menyebut bahwa Permendikbud-Ristek PPKS merupakan suatu gebrakan payung hukum anti kekerasan seksual dan berperspektif korban di kampus. Setidaknya terdapat lima poin gebrakan Permendikbud-Ristek PPKS diantaranya adalah:

  1. Definisi dan Bentuk Kekerasan Seksual yang Komprehensif dan Tepat Sasaran

Definisi kekerasan seksual oleh Permendikbud-Ristek PPKS merupakan definisi kekerasan seksual untuk lingkungan kampus pertama yang diatur secara komprehensif oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia. Permendikbud-Ristek ini juga mengatur bentuk-bentuk kekerasan seksual yang lebih luas daripada perkosaan dan pencabulan seperti catcalling, pengambilan dan/atau pendistribusian materi visual tanpa persetujuan, dan sextortion

  1. Pelibatan perguruan tinggi, pendidik dan tenaga kependidikan (tendik), dan mahasiswa dalam upaya pencegahan 

Upaya pencegahan yang dirumuskan Permendikbud-Ristek PPKS melibatkan 3 aktor kunci dalam pencegahan dan penanganan seksual (PPKS) di kampus, yaitu perguruan tinggi, pendidik dan tendik, serta mahasiswa. Upaya yang dimulai dari pembelajaran; penguatan tata kelola; penguatan budaya komunitas; hingga pembatasan pertemuan antara mahasiswa dengan pendidik dan tenaga kependidikan secara individu di luar area kampus, jam operasional kampus, dan kepentingan di luar proses pembelajaran. 

  1. Penegasan upaya penanganan kekerasan seksual oleh pihak kampus 
  1. Pendampingan (kepada korban dan saksi), seperti: konseling; layanan kesehatan; bantuan hukum; advokasi; dan/atau bimbingan sosial dan rohani.
  2. Perlindungan (kepada korban dan saksi) yang dilakukan dengan, diantaranya: jaminan menyelesaikan pendidikan bagi mahasiswa; jaminan keberlanjutan pekerjaan bagi pendidik/tenaga kependidikan; jaminan perlindungan dari ancaman fisik dan nonfisik; dan lainnya.
  3. Pengenaan sanksi administratif berupa: teguran tertulis hingga paling berat pemberhentian tetap sebagai mahasiswa atau tenaga kependidikan atau warga kampus.
  4. Pemulihan korban  yang mengalami dampak psikologis, psikis dan kondisi akademik, saat dan setelah melalui proses penanganan kasus.
  1. Pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS)

Dengan adanya Satgas PPKS dalam lingkungan kampus, diharapkan penanganan kekerasan seksual dapat dilaksanakan dengan tepat dan optimal. Satgas PPKS akan dibentuk oleh Panitia Seleksi (Pansel) ad hoc. Pansel ad hoc sendiri pembentukannya dipimpin oleh Pemimpin Perguruan Tinggi. Baik Satgas PPKS maupun Pansel ad hoc keduanya mengharuskan syarat hingga proses yang tak main-main. Oleh karena keterkaitan keduanya pula, apabila proses pembentukan Pansel tidak berjalan dengan baik, maka Satgas PPKS tidak akan jauh berbeda. 

  1. Pengaturan mekanisme penanganan kekerasan seksual oleh Satgas PPKS; 

Tahapan penanganan laporan kasus kekerasan seksual oleh Satgas PPKS adalah sebagai berikut: a) penerimaan laporan yang sederhana dan mudah diakses oleh penyandang disabilitas; b) pemeriksaan yang disertai oleh penyediaan pendamping dan pemenuhan akomodasi yang layak bagi korban/saksi/Terlapor dengan disabilitas; c) penyusunan kesimpulan dan rekomendasi; d) pemulihan; e) tindakan pencegahan keberulangan; f) kepastian atas hak korban dan saksi; dan f) pengaturan tentang pemantauan dan evaluasi implementasi.

Apa yang Bisa Dilakukan oleh UNAIR?

Masih dalam siluet kasus kekerasan seksual seperti Gilang Bungkus dan Appridzani, UNAIR memiliki urgensi untuk segera bertindak guna menegakkan substansi beleid ini. Menurut kami, setidaknya terdapat empat perihal yang dapat segera dilakukan oleh UNAIR yaitu:

  1. Rekonstruksi dalih nama baik kampus 

Dalih penjagaan nama baik kampus terkait kekerasan seksual acapkali dimaknai bahwa yang penting tak ada kasus kekerasan seksual yang mencuat ke publik. Hal ini tentu menghalangi penyintas untuk menemui pelita keadilan yang ia amat butuhkan. Kesalahkaprahan ini harus segera didekonstruksi oleh UNAIR agar premis itu punah. Pasca pengesahan Permendikbud-Ristek PPKS, dalih penjagaan nama baik kampus harus dimaknai sebagai kampus yang berkomitmen untuk melindungi sivitas akademikanya dari kekerasan seksual, memberikan akses keadilan bagi korban, dan melindungi saksi. Kesuksesan rekonstruksi makna ini hanya dapat berhasil apabila pemangku jabatan di UNAIR telah menanamkan ide bahwa disini tak menoleransi kekerasan seksual.

  1. Amplifikasi via edukasi

Langkah awal pencegahan dapat dimulai dari edukasi pada sivitas akademika Bumi Airlangga. Pemahaman mengenai kekerasan seksual, perspektif korban, serta keadilan dan kesetaraan gender sudah harus ditanamkan sejak mahasiswa baru. Langkah konkritnya dapat dilakukan dengan pemberian materi saat ospek, serta pemberian pedoman pada mahasiswa yang berisi instruksi pada korban, pendamping dan/atau saksi apa saja yang harus dilakukan apabila terjadi kekerasan seksual. 

Tentu saja, upaya rekayasa sosial melalui edukasi ini harus dilaksanakan dengan terbuka dan kolaboratif. UNAIR harus bekerjasama dengan pakar dan organisasi mahasiswa yang bergerak di isu gender dan/atau kekerasan seksual. Hal ini merupakan sebuah keniscayaan karena penciptaan ruang aman yang inklusif akan hampir mustahil apabila elemen-elemen sivitas akademika tak bergandengan tangan dalam satu tujuan. Tak dilupa pula, hendaknya upaya-upaya tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan pengaturan dalam Pasal 6 beleid tersebut. Dengan ini, harapannya pemahaman keliru seperti Permendikbud-Ristek PPKS melegalkan seks bebas dapat dipadamkan penyebarannya di Bumi Airlangga.

  1. Pansel dan Satgas

Terobosan baru dari Permendikbud-Ristek PPKS adalah eksistensi Satgas PPKS yang jajarannya dipilih oleh Pansel ad hoc. Apabila menilik isi Pasal 25 ayat (1), diatur bahwa rekrutmen calon anggota Pansel dilaksanakan oleh pimpinan perguruan tinggi yakni Rektor. Oleh karena itu, Rektor UNAIR harus menjamin keterbukaan dan keinklusifan proses rekrutmen Pansel tersebut. 

Hal tersebut dapat dilakukan dengan menyebarluaskan pemberitahuan mengenai rekrutmen tersebut, serta dengan jangka waktu yang tidak singkat. Dengan tersebar luasnya warta ini, semakin banyak calon sivitas akademika Bumi Airlangga yang dirasa tertarik dan berkompetensi untuk menduduki posisi ini. Transparansi dari proses rekrutmen itu dapat diejawantahkan melalui mempublikasi siapa saja yang berhasil melewati proses rekrutmen tersebut beserta curriculum vitae-nya. Hal ini amat penting karena Pansel yang akan memilih Satgas. UNAIR tidak boleh luput dengan merekrut calon anggota yang tidak mencerminkan asas dan semangat yang digaungkan oleh Permendikbud-Ristek PPKS. Keluputan tersebut dapat mendistorsi kualitas kinerja Satgas nantinya, yang itu dapat berdampak pada perlindungan terhadap korban dan/atau saksi.

  1. Jangan Asal Jadi

Permendikbud-Ristek PPKS memberikan amanat yang besar kepada kampus untuk bertindak proaktif dalam menyukseskan tujuannya. Tindakan proaktif itu mulai dari membuat pedoman, membentuk Satgas PPKS, hingga menyediakan hotline Kekerasan Seksual. Dalam rangka menjamin kepatuhan kampus, Nadiem bahkan mengancam akan menurunkan akreditas kampus apabila tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam beleid tersebut.

Untuk itu, UNAIR hendaknya harus mengedepankan kualitas dan tepat sasaran dalam melaksanakan kewajiban tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan membuka ruang dialog dan kolaborasi seluas-luasnya dengan sivitas akademika UNAIR. Perlu ditanamkan bahwa tindakan proaktif untuk bukan sekadar pengguguran kewajiban agar tak diberi sanksi, tetapi satu langkah untuk menjadikan UNAIR sebagai kampus yang aman dari kekerasan seksual. Hendaknya kita semua harus bersama dan bergandengan tangan untuk mewujudkan mimpi mulia tersebut.

Penulis: Khristianti Weda (Direktur Lokal HopeHelps Chapter UNAIR) & Pradnya Wicaksana (Koordinator Amnesty International Indonesia Chapter UNAIR)

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp