Pelajaran dari AS: Jangan Banyak Utang

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Baru-baru ini di Parlemen Amerika Serikat terjadi perdebatan sengit dalam pembahasan tentang utang negara. Pemerintahan presiden Joe Biden mengusulkan agar parlemen atau Kongres Amerika Serikat menyetujui usulan menaikkan aturan batas utang negara (Debt Limit atau Debt Ceiling), yaitu aturan yang membolehkan negara untuk meminjam uang kepada pihak lain dengan mengeluarkan obligasi dan surat berharga lainnya. Seperti diduga, partai republik yang beseberangan dengan partai pemerintah yaitu partai Demokrat menolak usulan itu. Kalau betul-betul tidak ada kompromi, maka Pemerintah Amerika Serikat gagal tidak bisa membayar utangnya (default) dan ini kejadian pertama kali dalam sejarah Amerika Serikat.

Per 1 Oktober 2021, batas utang Pemerintah AS adalah US$ 28,8 triliun. Dengan asumsi US$ 1 setara dengan Rp 14.315 seperti kurs tengah Bank Indonesia (BI) 1 Oktober 2021, jumlah itu menjadi Rp 412.272 triliun. “Kita bisa jatuh ke krisis keuangan. Default juga akan membuat suku bunga lebih tinggi bagi siapapun yang mengakses kredit,” tegas Janet Yellen, Menteri Keuangan AS, di hadapan Komite Jasa Keuangan House of Representatives, seperti dikutip dari Reuters.

Perlu kita pahami apa perbedaan antara defisit anggaran tahunan pemerintah (budget deficit atau fiscal deficit) dan utang federal yang belum dibayar, yang dikenal dalam terminologi akuntansi resmi sebagai utang publik nasional. Sederhananya, pemerintah federal menghasilkan defisit anggaran setiap kali menghabiskan lebih banyak uang dari pada yang dibawa melalui kegiatan yang menghasilkan pendapatan. Kegiatan ini termasuk pajak individu, perusahaan, atau cukai.

Untuk beroperasi dengan cara pengeluaran lebih dari yang diperolehnya, Departemen Keuangan AS harus mengeluarkan tagihan surat-surat berharga atau sekuritas keuangan (treasury dan obligasi.) Produk treasury ini membiayai defisit dengan meminjam dari investor, baik domestik maupun asing. Sekuritas treasury ini juga dijual ke perusahaan, lembaga keuangan, dan pemerintah lain di seluruh dunia. Beberapa negara maju adalah pembeli terbesar sekuritas keuangan Amerika Serikat, antara lain Jepang, Cina, Inggris, dll. Dengan menerbitkan jenis sekuritas ini, pemerintah federal dapat memperoleh uang tunai yang dibutuhkan untuk menyediakan layanan pemerintah. Untuk membuat analogi, defisit fiskal atau anggaran adalah pohon, dan utang nasional adalah hutan.

Untuk melihat berapa besarnya sekuritas keuangan dalam bentuk obligasi yang dikeluarkan AS itu tidak main-main besarnya. Pada 2018, rata-rata nilai perdagangan US Treasury Bonds mencapai US$ 547,8 miliar per hari. Jumlah itu setara dengan Rp 7.841,76 triliun. Sebagai gambaran, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2020 adalah Rp 15.434,2 triliun. Artinya nilai perdagangan obligasi pemerintah Negeri Paman Sam dalam sehari hampir separuh dari total ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Sekarang bayangkan kalau AS gagal membayar kewajiban kepada para pemegang obligasi tersebut. Pasar yang nilainya hampir separuh dari perekonomian Indonesia bakal runtuh. Keruntuhan di pasar obligasi akan merambat ke pasar saham, valas, komoditas, dan sebagainya. Pasar keuangan dunia hancur lebur. Negara Yunani pernah dalam status default atau gagal bayar, maka terjadi efek domino pada Masyarakat Ekonomi Eropa. Satu demi satu berguguran perekonomiannya, misalnya Irlandia, Spanyol, Itali, dan dikhawatirkan merembet ke negara anggota yang ekonomi besar seperti Jerman dan Perancis, karena negara-negara itu pembeli terbesar sekuritas keuangan Yunani.

Para ekonomi madzab Keynesian percaya bahwa utang itu bermanfaat untuk menjalankan defisit transaksi berjalan untuk meningkatkan permintaan agregat dalam perekonomian. Sebagian besar neo-Keynesian mendukung alat kebijakan fiskal seperti pengeluaran defisit pemerintah hanya setelah kebijakan moneter terbukti tidak efektif dan suku bunga nominal telah mencapai nol. Sementara ekonom sekolah Chicago dan Austria berpendapat bahwa defisit pemerintah dan utang merugikan investasi swasta, memanipulasi suku bunga dan struktur modal, menekan ekspor, dan secara tidak adil membahayakan generasi mendatang baik melalui pajak atau inflasi yang lebih tinggi.

Bagi kita di Indonesia kalau melihat kejadian di AS ini jangan merasa kita aman-aman saja bila membandingkan jumlah utang negara kita yang mencapai Rp 5.000 – 6000 trilliun dengan utang AS yang lebih dari Rp 400 ribu trilliun; rasanya utang kita kecil. Tapi perlu diingat besarnya perekonomian kita sangat jauh dibandingkan dengan AS, dengan demikian utang kita yang sepertinya ‘hanya’ Rp 5 ribu trilliun itu sebenarnya sudah dalam status ‘menggunung’. Dan harus diingat bahwa utang negara itu pada akhirnya membebani rakyat.

Berita Terkait

Ahmad Cholis Hamzah

Ahmad Cholis Hamzah

Contributor of Media UNAIR, Alumni of Faculty of Economics Airlangga University’73 and University of London, UK.