Mengenal Kekerasan Verbal dan Kinerja Kognitif Anak Selama Pandemi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Kompas

Kekerasan verbal masih dianggap remeh dan dimaklumi oleh masyarakat sebagai bentuk pendisiplinan dari orang tua pada anak. Kekerasan verbal pada anak bagaikan fenomena gunung es, dimana jumlah kasus yang tidak terdekteksi jauh lebih banyak daripada kasus yang terdeteksi. Kondisi pandemi COVID-19 memperkeruh situasi dengan menambah tekanan pada orang tua yang dapat berujung pada meningkatnya masalah sosial, salah satunya kekerasan verbal pada anak. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia menyatakan sebesar 62% atau setara dengan 39 juta anak di Indonesia mengalami kekerasan verbal dari orang tua selama pandemi. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) turut menunjukkan lonjakan jumlah kasus kekerasan verbal pada anak yang semula berjumlah berjumlah 32 kasus pada tahun 2019 bertambah menjadi 119 kasus pada tahun 2020. Padahal kekerasan verbal memberikan dampak yang serius bagi mental anak. Penelitian yang dilakukan Anastasia, Hafizh Tri Wahyu Muhammad, Devi Tri Alviani, dan Ike Herdiana (2021), menyebutkan bahwa terdapat beberapa bentuk kekerasan verbal yang mewarnai pengasuhan orangtua selama pandemi, yakni ancaman, hinaan, intimidasi, nada bicara yang ditinggikan, omelan berlebihan, dan diremehkan.

Padahal kekerasan verbal dapat memengaruhi perkembangan psikologis anak, mengakibatkan kesulitan belajar, gangguan emosi, munculnya konsep diri yang rendah, agresivitas, lemahnya hubungan sosial, dan bahkan dapat berujung pada bunuh diri. Hasil penelitian Anastasia, dkk juga memberikan hasil yang sangat bermakna yang mengungkapkan kondisi psikologis dan capaian perkembangan kognitif anak korban kekerasan verbal dari orang tua, khususnya selama pandemi di saat kekerasan verbal semakin intensif terjadi. Temuan penelitian Anastasia,dkk, mengenai dampak psikologis kekerasan verbal pada anak dikelompokkan menjadi tiga, yaitu gangguan proses belajar, gangguan emosi, dan gangguan perilaku. Anak ditemukan mengalami gangguan proses belajar berupa lemah dalam berhitung dan kesulitan berkonsentrasi. Mereka mengalami gangguan emosi, yang ditandai dengan anak menjadi lebih sensitif, mudah menangis, dan memori pengalaman kekerasan verbal yang selalu muncul. Mereka juga mengalami gangguan perilaku, yang terlihat dari menurunnya tingkat kepercayaan diri anak. Selain memengaruhi psikologis anak, kekerasan verbal yang dialami dapat memengaruhi kognitif anak.

Kognitif dan Perkembangan Kognitif Anak

Kognitif adalah proses mental atau aktivitas pikiran dalam mencari, menerima, dan memahami informasi. Bersama dengan intelek atau kemampuan kapasitas pikiran, kognitif memungkinkan manusia mengalami perkembangan kognitif sejak lahir hingga dewasa. Perkembangan kognitif menurut seorang ahli perkembangan kognitif, Jean Piaget, terdiri atas empat tahap sebagai berikut :

  1. Tahap Sensorimotorik (0-2 tahun), di saat anak memahami dunia melalui lingkungan fisik dan pengalaman sensori, sehingga tidak mampu memahami keberadaan suatu hal yang tidak dapat ditangkap inderanya;
  2. Tahap Praoperasional (2-7 tahun), di saat anak mulai mengembangkan kategorisasi dan penyelesaian masalah secara intuitif;
  3. Tahap Operasional Konkret (7-11 tahun), di saat anak mampu memahami kelas, seriasi, dan konsep angka, tetapi tidak mampu memahami bahwa suatu ukuran benda tetap konstan terlepas bagaimana benda tersebut dipersepsikan;
  4. Tahap Operasional Formal (11-15 tahun), di saat anak mampu memahami situasi hipotesis dan memiliki proses berpikir yang tidak dibatasi pada sesuatu yang nyata secara fisik.

Selama mengalami perkembangan kognitif, anak juga mengembangkan skema kognitif dan proses-proses kognitif, yaitu asimilasi, akomodasi, serta interiorisasi. Asimilasi adalah proses mencocokkan skema kognitif dengan lingkungan, sedangkan akomodasi adalah proses memodifikasi skema kognitif menggunakan informasi baru dari lingkungan. Dengan semakin berkembangnya proses asimilasi dan akomodasi, anak mampu melakukan proses berpikir abstrak dan tidak bergantung pada hal-hal konkret. Elaborasi proses kognitif yang semakin matang memungkinkan anak melakukan pemecahan masalah yang lebih kompleks.

Capaian Perkembangan dan Proses Kognitif Anak Penyintas Kekerasan Verbal Domestik

Anak korban kekerasan verbal domestik memiliki skor inteligensi yang tergolong baik. Mereka berada pada kategori rata-rata normal, rata-rata tinggi, atau bahkan superior, yang diukur menggunakan skala Binet dan Weschler. Berdasarkan usia anak, penelitian juga mengungkapkan tidak adanya keterlambatan perkembangan kognitif. Namun, mereka memiliki proses kognitif yang kurang optimal dibandingkan anak seusia pada umumnya, khususnya terkait proses akomodasi, abstraksi benda imajiner, dan pemecahan masalah. Padahal, proses-proses kognitif sangatlah dibutuhkan dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang terjadi hingga anak dewasa dan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang akan mereka hadapi.

Mengetahui uraian kondisi psikologis dan kognitif yang dialami anak korban kekerasan verbal, alangkah baiknya masyarakat memperbaiki pandangan yang menganggap lumrah kekerasan verbal sebagai bentuk pendisiplinan anak. Mengembangkan pengasuhan positif dan pendisiplinan tanpa teriakan akan membantu mengoptimalkan kinerja kognitif anak, mendukung kematangan emosi anak dan memberikan ruang bahagia bagi anak sehingga mereka memiliki mental yang lebih sehat.

Penulis: Anastasia, Hafizh Tri Wahyu Muhammad, Devi Tri Alviani (Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Angkatan 2020/Peneliti hibah nasional PKM Riset Sosial Humaniora tahun 2021) dan Dr. Ike Herdiana, M.Psi.,Psikolog. (Dosen Fakultas Psikologi Unair/Pembimbing PKM Riset Sosial Humaniora tahun 2021)

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp