Persoalan “Spamduk” dan Objektifikasi Perempuan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Jualo.com

André Möller melalui artikelnya di Kompas yang berjudul SPAMDUK di Tahun 2014 menumpahkan kejengahannya terhadap fenomena-fenomena spanduk yang lekat dengan masyarakat kita. Ia mengibaratkan spanduk-spanduk yang terpampang di berbagai sudut ruang, terutama ruang-ruang perkotaan, bak Spam atau surat yang dikirim tanpa diminta melalui internet, biasanya berisi iklan.


Tentu sebagai masyarakat mengakrabi kepentingan informasi, “Spam-Spam” tersebut sama sekali tidak diprioritaskan dalam asupan informasi kita sehari-hari. kita hanya menganggapnya sebagai bagian dari sampah informasi — walaupun dalam kenyataannya ada batas tipis antara apa yang dimaksud dengan pesan Spam dan Sampah.


Informasi-informasi singkat tersebut kemudian semakin berjejalan dari hari ke hari, bertumpuk-tumpuk hingga lambat laun berubah menjadi sebentuk polusi visual yang mengganggu estetika lanskap bangunan dan alam. 


Fenomena polusi visual akan lebih sering kita temukan keberadaannya dalam ruang-ruang yang membutuhkan banyak bangunan, utamanya di perkotaan yang menjadi lahan subur untuk menjamurnya fenomena ini — tidak jarang di daerah-daerah non perkotaan kita juga menemukan polusi-polusi visual ditaruh secara sembarangan di pepohonan. 


Kota Yogyakarta misalnya, lansiran berita dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan geliat beberapa warga, LSM, dan organisasi ikut beres-beres sampah visual. 


Lalu bagaimana keadaannya di tengah situasi pandemi?

Secara matematis, tentu aktivitas pemasangan baliho dan yang lainnya seharusnya berkurang mengingat pemerintah beberapa kali memberlakukan pengurangan mobilitas. Realitasnya, tidak ada yang berubah. Justru di tengah situasi pandemi, utamanya para politisi menggunakan kesempatan ini untuk menggelar wajah mereka secara meriah.

Bahkan, beberapa hari ini masyarakat dibuat jengah dengan ‘perlombaan siapa yang tampan dan yang cantik’ yang dilakukan oleh beberapa politisi di tengah situasi yang tidak tepat. Dalam artian, dibandingkan menghambur-hamburkan uang dengan memasang besar-besar wajah para politisi tersebut, tentu lebih bijak jika bisa menggunakan dana tersebut untuk kepentingan bersama

Lantas muncul pertanyaan, masih perlu dan pentingkah kita menggunakan “Spamduk” ? tidak perlu dijawab sekarang, cukup direnungkan terlebih dahulu.

Selain persoalan polusi visual yang muncul dari keberadaan “Spamduk”, ada satu hal lagi yang mengusik batin saya dalam beberapa bulan terakhir ini, yaitu persoalan objektifikasi perempuan.

Persoalan objektifikasi perempuan hampir dapat dipastikan selalu muncul dan berkaitan dengan “Spamduk”. sebagai contoh, saya coba ketikkan kueri “objektifikasi perempuan” di mesin pencarian google dan muncullah beberapa hasil yang menunjukkan bahwa iklan dan media belum mampu menunjukkan keramahan bagi perempuan sehingga perempuan kerap kali menjadi bagian dari objektifikasi.

Akibat persoalan objektifikasi perempuan ini tentu tidak main-main, salah satunya adalah terlanggengkannya melalui tanda dan bahasa. hal tersebut yang kemudian berpengaruh besar terhadap proses internalisasi diri.

Persoalan ini bisa dilihat misalnya dalam temuan salah satu baliho di salah satu ruas jalan Surabaya, dimana terdapat beberapa tanda yang membuatnya kemudian menjadi bermasalah.

Pertama, Sosok Perempuan. Kedua, Kalimat ajakan “Saya bisa disewa”. Ketiga, Kata-kata “Hubungi” dengan menyertakan nomor telepon.

Tanda-tanda tersebut muncul sebagai satu kesatuan sebab berada dalam satu spanduk yang sama, artinya elemen-elemen tersebut sengaja diciptakan dalam kesadaran berbahasa. 

Akhirnya “spamduk” akan tetap menjadi “spamduk”, orang-orang memiliki persoalan serta hajat yang perlu mereka tuntaskan. Mungkin saja, sembari berkendara mereka menggerutu dan menggelengkan kepala mengapa “spamduk-spamduk” tersebut muncul, sesaat kemudian ketika tiba di tujuan orang-orang lupa akan kemarahan mereka. 

Tapi semoga tidak dengan tulisan ini.

Penulis: Muhammad Fuad

Mahasiswa Linguistik dan Pegiat Konten Media Sosial di Ibukata.id

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp