Kuliah Umum Pascasarjana, Prof. Richard Albert Prediksikan Masa Depan Desain Konstitusi Negara

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Pakar Hukum Tata Negara University of Texas Prof. Richard Albert. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Peran konstitusi dalam suatu negara sangatlah krusial karena seluruh kebijakan dan tindakan yang dilakukan oleh semua orang dalam negara tersebut tidak boleh bertentangan dalam norma-norma yang dihaturkan dalam konstitusi. Seiring berjalannya waktu, perubahan konstitusi akan terjadi karena dinamika politik dan kebutuhan zaman tertentu.

Mengingat itu, maka Sekolah Pascasarjana UNAIR mengadakan Kuliah Umum dengan mengundang Pakar Hukum Tata Negara University of Texas Prof. Richard Albert untuk memprediksikan bahwa idealnya desain perubahan konstitusi di suatu negara itu harus seperti apa. Kegiatan ini diselenggarakan pada Jumat pagi (27/8/2021).

Albert membagi materinya dalam tiga pertanyaan kunci, yakni peran apa yang dimainkan demokrasi dalam desain konstitusi; bagaimana konstitusionalisme dan konstitusi mengurangi bentrok antara kepentingan nasional dan global; dan bagaimana peran rule of law dalam menuntut desain konstitusi yang layak dan legal.

Untuk menjawab pertanyaan pertama, ia menyatakan bahwa demokrasi kontemporer diwarnai dengan berbagai kegiatan referendum oleh pemerintah – secara spesifik adalah referendum diskresi dimana warga negara tidak diwajibkan untuk berpartisipasi. Contoh yang dipaparkan oleh Albert adalah referendum Perancis tahun 1962 dan Brexit.

“Diskursus demokrasi mustahil dilepaskan dari konsep legitimasi populer dari publik. Referendum diskresi memanfaatkan hal ini untuk melegitimasi dan depolitisasi kebijakan pemerintah yang kontroversial atau terjebak dalam halangan-halangan politis,” ujar profesor asal Kanada itu.

Padahal menurut Albert, referendum seperti ini memang demokratis, tetapi konsep demokrasi ini sangat majoritarian dan terbelakang sehingga minim integritas elektoral. Sehingga desain konstitusional harus dapat mengantisipasi dan mengkodifikasi agar substansi demokrasi dan edukasi publik tidak ternodai oleh referendum diskresi.

Pertanyaan kedua dijawab oleh Albert adalah bahwa desain konstitusional harus membatasi perannya agar tidak bertentangan dan harus berintegrasi dengan hukum internasional, terutama terkait hak asasi manusia. Ia memproposisikan tiga desain yang telah diimplementasikan yaitu melalui mandat yudisial; larangan amandemen yang melanggar HAM dan hukum internasional; dan subordinat dengan hukum supranasional.

“Di Afrika Selatan, konstitusi memandatkan pengadilan dalam mengadili suatu perkara harus menginkorporasikan Bill of Rights dan hukum internasional lainnya. Konstitusi di Swiss membatasi bahwa amandemen konstitusi harus tidak boleh melanggar norma HAM dan hukum internasional. Sementara di Bosnia & Herzegovina menempatkan konstitusinya lebih rendah daripada hukum-hukum supranasional dan norma HAM, serta hukum HAM internasional berlaku secara langsung terhadap warga Bosnia,” papar alumni Harvard University itu.

Albert menjelaskan bahwa pemimpin negara terkadang menguji hukum dan batas dari konstitusi negaranya, acapkali untuk alasan yang politis. Amandemen konstitusi diberlakukan secara luwes dan kejauhan menjadi suatu dasar negara yang berbeda dari sebelumnya. Albert menegaskan bahwa gejala ini bukanlah amandemen konstitusi, melainkan constitution dismemberment (pemotongan konstitusi). Constitution dismemberment merubah identitas, hak fundamental, dan komitmen inti dari konstitusi itu sendiri.

“Amandemen merupakan perubahan yang tetap menjaga koherensi konstitusi itu sendiri dan tidak mendorong batas dari konstitusi. Sementara dismemberment adalah menjaga kontinuitas hukum sekalipun esensi dari konstitusi itu dirombak sedemikian rupa,” tegas Albert.

Untuk itu, desain konstitusi kedepannya menurut Albert harus mengantisipasi agar para pemimpin negara dan representatifnya tidak dapat mudah melakukan constitutional dismemberment. Ia menjelaskan bahwa langkah seperti-seperti mengklasifikasikan bagian konstitusi dalam tingkat kesulitan untuk diubah normanya itu diperlukan. Pakar Hukum Tata Negara itu juga menambahkan bahwa amandemen konstitusi yang rentan merubah identitas konstitusi itu sendiri juga harus membutuhkan partisipasi publik yang masif sebagai bentuk legitimasi.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp