UNAIR dan K-Pop

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto Koleksi Pribadi: Mahasiswi Asing dari Eropa yang belajar tari Jawa di Yogyakarta

Judul tulisan ini  “UNAIR dan K-Pop” tentu tidak menjelaskan tentang hubungan UNAIR dengan kelompok boys band Korea Selatan yang terkenal itu, lagipula UNAIR memang tidak memiliki hubungan – misalkan menandatangai MoU dengan K-Pop. Tulisan ini hanya ingin menjelaskan peranan UNAIR sebagai salah satu institusi pendidikan tinggi terkemuka di negeri ini bisa berkontribusi meningkatkan perekenomian negara lewat “Cultural Economy” seperti yang dijalankan Korea Selatan sehingga melahirkan K-Pop itu.

Negara Korea yang saya maksud dalam judul tulisan ini tentu Korea Selatan bukan Korea Utara. Negara ini adalah salah satu negara maju di dunia dimana berbagai produk yang dihasilkan negara ini sudah diekspor menyebar ke penjuru dunia termasuk Indonesia terutama produk-produk elektronik dan otomotif. Hal ini menyebabkan perekonomian dan kemakmuran negaranya meningkat cepat. Semua orang tahu tentang hal ini. Korea Selatan secara konsisten membangun negaranya di berbagai aspek sehingga menyebabkan negerinya menjadi negara ranking 10-11 sebagai negara terkaya bidang ekonomi di jagat ini.

Namun tidak semua mengetahui bahwa negeri ginseng ini perekonomiannya yang maju itu juga ditopang oleh ekspor ‘cultural economy’-nya atau perekonomian budayanya, yaitu export budaya pop, hiburan/entertainment, musik, drama TV, online game, dan film. Gelombang export budaya yang menjadikan budaya Korea terkenal di planet ini dikenal dengan istilah ‘Hallyu’, istilah dari bahasa Cina yang berarti ‘Gelombang Korea’. Perekonomian budaya ini telah menjadi salah satu prioritas utama kebijakan ekonomi pemerintah Korea Selatan.

Memang sepertinya negeri ini menjadi satu-satunya di dunia yang mencanangkan tujuan pembangunannya menjadi sebuah negara utama yang mengekspor budaya populer. Ini merupakan ikhtiar negeri ini untuk mengembangkan ‘Kekuatan Lunak’ atau soft power – sebuah istilah yang dikembangkan ilmuwan politik dari Harvard University Joseph Nye tahun 1990 sebagai istilah yang merujuk pada “intangible power” yang dikuasai sebuah negara dengan cara mengekspos citra, reputasi negara. Lawan katanya adalah hard power yaitu kebijakan yang mengedepankan kekuatan militer dan ekonomi. Negeri Amerika Serikat sudah lema melaksanakan kebijakan soft power ini dengan mempopulerkan produk-produk ke seluruh dunia seperti celana jeans, minuman ringan Coca Cola, rokok Mallboro, dan industri film Hollywood.

Gelombang Korea ini pada awalnya menyebar di Jepang dan Cina kemudian di Asia Tenggara dan di banyak negara di dunia. Pihak pemerintah mereka secara intensif mengirim delegasi ke berbagai negara untuk memperkenalkan program TV-TV yang berisi program-program budaya.

Gelombang Korea atau Hallyu ini memiliki ‘Multiplier Effects’ terhadap perkembangan bisnis, dan tentu citra negara. Dampak ganda dari ekonomi budaya ini adalah sumbangannya terhadap GDP Korea tahun 2004 sebesar 0,2% atau sekitar 1,87 milyar US dolar, dan melejit menjadi 12,3 milyar US dolar pada tahun 2019. Upaya agresif pembangunan ekonomi termasuk ekonomi budaya ini menyebabkan Korea Selatan menjadi negara kaya dan makmur. Sebelumnya pada tahun 1956 GDP perkapita negara ini di bawah negara Ghana di Afrika. Kini, Korea Selatan menjadi salah satu negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia, sejajar dengan Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Perancis, dan Inggris.

Disebutkan bahwa salah satu penyebab keberhasilan Gelombang Korea ini adalah kebijakan pemerintah Korea Selatan yang memberika kemudahan bagi warga negara untuk berbisnis dan sekolah di luar negeri terutama Eropa dan Amerika Serikat tahun 1990-an. Sekembalinya dari negara-negara maju itu, para alumni jebolan perguruan tinggi di Eropa dan AS ini dan para pengusahanya (termasuk para Chaebol atau pemilik perusahaan-perusahaan besar) menularkan pengalaman baru bagaimana berbisnis dan perspektif baru tentang seni dan budaya, melakukan berbagai inovasi untuk mengekspresikan citra negaranya ke seluruh dunia. Hal ini dilakukan lewat R&D mereka. Dampaknya adalah berbagai brand atau merek produk-produk negeri ini melesat ke permukaan dan merasuki mindset konsumen dunia, seperti Hyundai, LG, Samsung, Daewoo, Lotte, dsb. Produk-produk budaya juga merambah mindset pemirsa TV dan bioskop ketika melihat drama Korea, film, dan grup-grup band anak muda K-Pop, antara lain Big Bang, Super Junior, PSY, dsb.

Data yang dihimpun oleh the Korean Foundation menyebutkan bahwa pada tahun 2019 saja ada 89 juta fans atau pengagum Hallyu tersebar di 113 negara; sekitar lebih 70 jutanya tinggal di Asia dan Oceania; 11,8 juta berada di negara-negara Amerika, dan 6,6 jutanya di Eropa. Ada lagi data yang mencengangkan yaitu pada tahun 2016 ada sekitar 1,1 milyar pemirsa drama TV Korea “Descendants of the Sun” di berbagai negara Asia selama 2 bulan tayang.

Pencapaian yang mengagumkan itu juga disebabkan oleh dukungan pihak pemerintah secara berkelanjutan terutama Kementrian Budaya, Olahraga, dan Turisme yang memiliki berbagai divisi salah satunya fokus pada K-Pop, fashion, buku-buku komik, produk-produk film kartun, dsb. Disebutkan juga bahwa pihak Pemerintah Korea Selatan juga melakukan monitoring yang seksama di berbagai negara di dunia tentang produk-produk Korea apa saja yang berhasil dipasarkan negara-negara bersangkutan, menciptakan lingkungan yang kondusif untuk industri kreatif di bidang musik dan perfilman. Selain itu, Presiden Korea Selatan meluncurkan kebijakan Ekonomi Kreatif.

Semua kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Korea Selatan itu berdampak secara strategis di bidang perdagangan, industri wisata yang berkaitan dengan Hallyu menyumbang 55,3 persen dari total industri turisme. Menurut data, para turis penggemar Halliyu itu membelanjakan 1,1 milar US dolar di Korea Selatan pada tahun 2019. Di samping itu, kebijakan Pemerintah Korea itu memunculkan para superstar baru di industri perfilman.

Sekarang kita menengok negara kita, diri kita. Indonesia memiliki banyak potensi di bidang budaya yang tersebar di Nusantara ini, ada budaya kuliner, fashion, adat-istiadat, dsb. Di bidang musik misalnya, jutaan penonton video YouTube di dunia sekarang mengagumi Nisya Sabyan, Mas Alip Ba Ta sopir forklift pabrik yang disebut sebagai The Master dalam memainkan gitar. Para pemusik mancanegara terheran-heran dengan kemampuan dia yang memainkan satu gitar tapi suaranya seperti satu grup band. Ada lagi mantan pengamen di Yogyarta, Felix Irwan, yang suara beratnya membuat para pendengarnya di luar negeri meriding dan teharu.

Ada salah satu finalis Indonesian Idol dari Kalimantan Agsesia – dimana suara seraknya yang pada awalnya soft, pelan kemudian melengking- membuat orang-orang asing melongo kagum. Ada lagi pemuda kelahiran Jakarta yang bermukim di Milan Italia, mantan pengamen di jalan-jalan di Italia bernama Eki Tjahyadi menang di ajang pencari bakat ‘All Together Now’ pada bulan Desember tahun 2020. Seluruh hadirin berdiri bertepuk tangan meriah ketika bang Eki berhasil memukau menyanyikan lagu Italia Tappeto Di Fragole. Hingga ada penggemar Mas Alip Ba Ta, Felix Irwan, Agesia, di luar negeri yang berteriak “INDONESIA YOU MUST BE PROUD OF YOUR SINGERS !!!”. Dan banyak lagi para talenta di negeri yang kaya ini yang pandai di bidangnya masing-masing.

Universitas Airlangga yang memiliki Fakultas Ilmu Budaya, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, dapat menjadi katalisator pembangunan ekonomi nasional berbasis budaya yang dimiliki bangsa ini dimana potensinya sangat besar dan tidak kalah dengan negara-negara lain. Kedua fakultas itu dan fakultas lainnya dapat menciptakan ‘Strategic Plan’ secara nasional bagaimana mensinergikan berbagai potensi budaya di Nusantara ini, baik itu cerita rakyat, tari-tarian, seni musik, lagu-lagu daerah, seni drama, pantun, dsb. Universitas Airlangga dapat berkerja sama dengan berbagai kementerian terkait, seperti Kementerian Ekonomi Kreatif, Kementerian Perdagangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan, dan Kementerian Luar Negeri dalam membangun ‘Cultural Economy’. Indonesia sudah saatnya tidak lagi hanya mengandalkan ekspor hasil-hasil bumi yang bersifat ekstraktif, tapi juga bisa mengandalkan ekonomi yang berbasis budaya bangsa yang kaya ini. Kemajuan Korea Selatan dalam hal ini bisa menjadi masukan yang berguna. (*)

Berita Terkait

Ahmad Cholis Hamzah

Ahmad Cholis Hamzah

Contributor of Media UNAIR, Alumni of Faculty of Economics Airlangga University’73 and University of London, UK.