Bravo Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Pada tahun-tahun 1950-an, satu-satunya media elektronik di negeri kita ini hanyalah radio, belum ada televisi, karena itu semua sumber informasi rakyat Indonesia saat itu adalah radio milik negara yaitu RRI – Radio Republik Indonesia (di samping koran). Tak terkecuali penduduk di kampung saya di Kapasari Surabaya selalu mendengarkan RRI dalam program drama, atau kesenian ludruk dan pidato Bung Karno seta acara pertandingan bulutangkis Thomas Cup. Acara dua terakhir ini yang membuat semua orang yang terkesima, takjub, dan berdetak jantungnya. Pidato Bung Karno dengan suara menggelegar dan perjuangan para pemain bulu tangkis nasional di pertandingan Thomas Cup di Inggris membuat pendengar RRI tidak beranjak dari tempat duduk.

Saya termasuk anak-anak kecil yang ikut duduk di teras rumah orang yang nyetel RRI itu. Kampung-kampung di Kota Surabaya dan di seluruh negeri serasa sepi dan dan tegang manakala mendengarkan siaran langsung pertandingan bulu tangkis dunia itu. Rakyat bersorak dan berteriak bangga manakala para pahlawan bulutangkis kita antara lain Ferry Sonnevile, Tan Joe Hok, Tan Kin Gwan, Nyoo Kim Bie, dan Eddy Yusuf-berhasil menundukkan lawan-lawannya. Seingat saya, sepinya kota dalam event ini hampir sama dengan ketika seluruh orang di seluruh dunia tak terkecuali di Indonesia melihat tayangan TV pada saat Muhammad Ali-petinju legendaris Amerika Serikat- bertanding.

Yang membuat kagum bangsa ini, atau yang membuat rasa nasionalisme kita meningkat adalah kenyataan bahwa Indonesia memenangkan ajang pertandingan bulu tangkis dunia sebanyak 13 kali berturut-turut dari tahun 1958, 1961, 1964, 1970, 1973, 1976, 1979, 1984, 1994, 1996, 1998, 2000, dan 2002. Kemenangan Indonesia dalam ajang bergengsi dunia ini pada tahun 1950 hingga 1960-an lah yang rasanya membuat rasa nasionalisme kita lebih terasa, karena tahun-tahun itu Indonesia sedang mengalami berbagai bentuk pemberontakan dalam negeri dan berperang dengan negara asing – misalnya konfrontasi dengan Malaysia yang dibantu Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Selandia Baru serta melawan Belanda dalam perebutan Irian Barat.

Banyak rakyat terharu dan menaangis bila mendengar lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan setiap kali pahlawan bulutangkis kita berjaya. Bulu kuduk kita berdiri merinding ketika teriakan MERDEKA ! dan INDONESIA ! dari rakyat setelah selesainya lagu kebangsaan dikumandangkan. Momen demam olahraga bulutangkis ini memunculkan rasa nasionalisme yang tinggi karena meskipun Indonesia adalah negara miskin waktu itu, mampu berjaya di level dunia dengan berhasil menjadi juara bulutangkis internasional beberapa kali.

Berbagai kemenangan Indonesia di laga bulutangkis dunia menimbulkan demam permainan jenis olahraga ini muncul dimana-mana. Warga kampung yang tidak memilik lahan untuk olahraga, membuat lapangan bulutangkis di kampungnya secara sederhana dengan membuat garis putih sebagai tanda itu adalah area untuk bulutangkis atau badminton. Kami melihat pemandangan dimana-mana warga bermain badminton, penjualan raket dan shuttle cock laris manis, dan di setiap pertandingan olahraga dalam acara 17 Agustus-an cabang olahraga bulutangkis ini pasti menjadi cabang olahraga utama. Saya dan teman-teman kecil tentu tidak ketinggalan terjangkit demam bulutangkis ini dengan membeli raket bekas atau rombengan atau beli di pasar loak atau pinjam teman yang mempunyai raket. Saya sering menonton kakak sepupu saya (almarhum) Cak Tholib bertanding hampir setiap sore melawan tetangga kami warga keturunan Cina, namanya Om Hendrick.

Di tengah-tengah pandemi Covid-19 yang melanda dunia dan negara seperti sekarang ini jarang kita mendengar lagu kebangsaan Indonesia sambil menangis haru. Kita memang masih sering mendengar lagu kebangsaan itu tapi lewat acara Zoom dan kadang kita menyanyikannya hanya sekadar mengikuti prosedur protokoler acara tanpa melibatkan emosi kebangsaan. Maklum, pandemi ini menyebabkan perubahan cara hidup kita termasuk menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Namun tiba-tiba gelora nasionalisme yang saya alami saat masa kecil itu muncul kembali bersama seluruh rakyat Indonesia ketika melihat video yang berseliweran di sosial media dan berita TV tentang kemenangan pemain bulu tangkis dua perempuan muda dari Sulawesi – Apriyani Rahayu dan Greysia Polii di ajang Olimpiade Tokyo Jepang awal bulan Agustus 2021 lalu. Mereka memenangkan pertandingan final bulu tangkis melawan Jia Yifan dan Chen Qingchen dari Cina di Musashino Forest Sport Plaza Tokyo. Saya seperti laporan wartawan TV internasional Al-Jazeera tentang sambutan seorang warga atas kemenangan kedua srikandi bulu tangkis itu yang berada di suatu apartemen di Jakarta. Dia mendengar teriakan keras INDONESIA !!! dari warga yang tinggal di tingkat di bawah warga itu tinggal. Dan sayapun bersama rakyat Indonesia ikut menangis bersama dua perempuan pejuang bulutangkis yang dengan sikap hormat menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya sebelum penyerahan medali emas. Momen itu merupakan hadiah bagi Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 76 tahun ini.

MERDEKA ! INDONESIA !

Berita Terkait

Ahmad Cholis Hamzah

Ahmad Cholis Hamzah

Contributor of Media UNAIR, Alumni of Faculty of Economics Airlangga University’73 and University of London, UK.