Hak Asasi Manusia dalam Siluet Nasionalisme Nekrokapitalistik Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
human rights logo by Kemenlu

Seiring Indonesia mengalami kemunduran demokrasi (The Jakarta Post: 2020), komitmen pemerintahnya dalam memenuhi hak asasi manusia juga mundur pula. Regresi tersebut ditandai oleh amplifikasi penerapan prinsip tebang pilih pada pemenuhan hak asasi manusia dalam administrasi Jokowi jilid kedua. Selektivitas tersebut menampilkan dan menggunakan narasi hak asasi manusia dan mekanisme demokrasi secara manipulatif, agar tidak bertubrukan dengan agenda pemegang kepentingan. Apabila berbicara soal mengakomodir kepentingan, terutama kepentingan oligarki yang kerap menjadi problematika dalam demokrasi Indonesia (Winters: 2013), tentu administrasi Jokowi sangat tidak kekurangan akan hal tersebut (The Economist: 2020).

Kehadiran Paradigma Pasar dalam Pemenuhan Hak Asasi Manusia

Ekonomi adalah prioritas yang mendasari prinsip tebang pilih itu, dan implementasinya dikenal dengan nama market-friendly human rights paradigm atau hak asasi manusia berparadigma pasar. Eksistensi hak asasi manusia akan tetap dijaga dan dipenuhi, namun akan dibatasi dan dibonsai sedemikian rupa apabila tidak sesuai dengan prioritas ekonomi (Wiratraman: 2020). Paradigma ini telah sukses memanifestasikan beberapa legislasi dan kebijakan kontroversial yang memprioritaskan keramahan investasi dan deregulasi aktivitas pertambangan über alles. UU Cipta Kerja yang memangkas pemenuhan hak ketenagakerjaan atas nama fleksibilitas dan penggenjotan ekonomi berbasis investasi (PSHK: 2020), sekalipun hal tersebut telah dikritik sebagai suatu penawar pertumbuhan ekonomi yang salah kaprah (Basri: 2020). Contoh lain adalah UU Minerba dan PP 22/2021 yang membolehkan aktivitas tambang yang ekstraktif dengan minim restriksi (ICEL: 2020), serta penghapusan ketentuan limbah batubara fly ash dan bottom ash (FABA) sebagai limbah B3 (Mongabay: 2021).

Perkelindanan Neo-Otoritarianisme di Indonesia Era Reformasi

Sejak instalasi berbagai program good governance dalam tata pemerintahan Indonesia pasca Reformasi oleh World Bank, neoliberalisme yang berorientasi pada kelicinan dan efisiensi pasar bebas perlahan menjadi tolak ukur andalan dalam memandang kesuksesan penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia (Herlambang: 2007). Dibumbui demokrasi yang masih getas serta oligarki masih menjadi polutan demokrasi yang digdaya, hegemoni neoliberalisme itu pada akhirnya perlahan memanifestasikan eksistensi neo-otoritarianisme di Indonesia. Karakteristik dari suatu rezim neo-otoriter semakin terlihat dalam administrasi Jokowi jilid dua.

Pergeseran dari arah gerak perekonomian Indonesia dari paradigma Keynesian yang bertujuan pada perwujudan kesejahteraan masyarakat, menjadi ekonomi kapitalis yang berbasis profit. Proaktifnya pemerintah pada aktivitas ekonomi kapitalistik itu juga akan mengaburkan batas antara negara dengan korporasi (Goh: 2002). Ini semakin terlihat melalui perkelindanan rianya elit pengusaha dan oligark dalam jajaran eksekutif administrasi Jokowi (Taufiqurrahman: 2019), serta legislatif pusat yang semakin menjelma paduan suara akibat nihilnya kelompok oposisi yang prominen (Marepus Corner: 2020). Cherry on top dari karakteristik neo-otoritarianisme adalah pengontrolan ketat negara terhadap ruang publik dan institusi masyarakat sipil (Goh: 2002), atau terwujudnya penciutan ruang sipil (shrinking civil space).

Menariknya, upaya konsolidasi dari kuasa neo-otoriter di Indonesia adalah via mekanisme demokrasi liberal yakni Pemilu. Dalam konteks Pilkada, desentralisasi pada Indonesia era Reformasi melahirkan lokalisasi otoritarianisme dimana elit lokal mendukung dan memodali kandidat-kandidat yang sekiranya dapat mengakomodir kepentingan mereka apabila terpilih. Dalam konteks Pilpres, sistem presidential threshold melahirkan sistem politik kartel dimana elit partai politik dan oligark harus berkoalisi untuk mendukung paslon yang sekiranya dapat mengakomodir kepentingan kartel tersebut apabila terpilih (Wiratraman: 2018). Eksplanasi ini masuk akal apabila disandingkan dengan jajaran eksekutif administrasi Jokowi jilid dua yang sarat akan oligark dan elit partai politik, serta tetap diselenggarakannya Pilkada 2020 di tengah pagebluk COVID-19 yang sarat akan kontestan dari politik dinasti (Tempo.co: 2020).

Nekrokapitalisme

Penggunaan mekanisme-mekanisme yang tidak demokratis untuk mencapai pertumbuhan ekonomi adalah premis utama dari neo-otoritarianisme (He Li: 2015). Apabila ditambahkan pula penggunaan market-friendly human rights paradigm sebagai paradigma pamungkasnya, maka neo-otoritarianisme akan memanifestasikan sistem nekrokapitalisme. Diproposikan oleh Subhabrata Bobby Banerjee, nekrokapitalisme adalah praktik pendapatan kekayaan (organizational accumulation) yang melibatkan perampasan dan kematian (Canavan: 2014). Dimaksudkan disini, sistem kapitalisme ini hanya dapat bekerja sebagaimana mestinya apabila terdapat peraturan dan/atau kebijakan yang menciptakan berbagai ruang pengecualian (spaces of exception), dimana kelompok masyarakat yang tergabung dalam ruangan tersebut tidak memiliki hak, sehingga kematian atau pendegradasian hak mereka yang diakibatkan secara langsung maupun tidak akibat aktivitas kapitalisme dapat terjustifikasi (Banerjee: 2008). Berdasarkan eksplanasi tersebut, nekrokapitalisme membutuhkan pemerintah sebagai aktor aktif dalam melancarkan aktivitasnya dengan membuat peraturan dan/atau kebijakan yang seperti itu.

Mereka yang tergabung dalam spaces of exception dapat diekuivalenkan dengan konsep hukum Romawi kuno yakni homo sacer (manusia suci). Homo sacer adalah kondisi dimana seseorang telah dilucuti dari segala bentuk haknya, termasuk hak hidup karena suatu alasan tertentu (Agamben: 1995). Nekrokapitalisme, melihat siapapun yang dapat menghambat kemaslahatan kapitalisme itu sendiri sebagai seorang homo sacer, jadi pelibasan hak-haknya adalah sesuatu yang esensial. Pada intinya, nekrokapitalisme adalah sistem ekonomi yang terbangun dari kematian dan kesengsaraan demi terciptanya profit.

Terdapat seabrek kelompok masyarakat yang dapat dikatakan sebagai homo sacer nekrokapitalisme tersebut, seperti: petani Desa Wadas yang terancam kehilangan lahan perkebunan dan sumber air secara paksa akibat aktivitas tambang batu andesit (Project Multatuli: 2021), serta masyarakat adat Laman Kinipan yang dikriminalisasi dan dirampas tanah adatnya demi kemaslahatan industri kelapa sawit (Walhi: 2020). Pemenuhan hak asasi manusia bagi mereka yang masuk ke dalam ruang eksepsi tersebut akan menjadi irelevan, karena diasumsikan hal tersebut akan menghambat agenda kapitalisme neo-otoriter. Benang merahnya adalah, praktik nekrokapitalisme akan selalu berkelindan dalam aktivitas pemerintah Indonesia yang semakin menunjukkan tendensi pada neo-otoritarianisme.

Hiper-Nasionalisme dan Penciutan Ruang Sipil

Seperti yang telah dipaparkan, karakteristik dari neo-otoritarianisme adalah terdapatnya penciutan ruang sipil (shrinking civil space). Dalam konteks Indonesia, represi yang memicu penciutan tersebut kurang lebih berakar dari dua sumber utama: eksesifnya kontrol negara, dan meningkatnya ombak hiper-nasionalisme dalam dinamika sosio-politik kontemporer. Aspek pertama terejewantahkan melalui peraturan perundang-undangan yang draconian dan acapkali membatasi kebebasan sipil dan politik masyarakat Indonesia. UU ITE dengan pasal-pasal karetnya, Perppu 2/2017 (sudah jadi UU) yang membolehkan pemerintah membubarkan ormas yang non-Pancasilais (Lokataru: 2019), dan yang terbaru Permenkominfo 5/2020 yang dapat mengesampingkan perlindungan data pribadi media sosial seseorang atas dalih ketertiban umum dan konter-terorisme (SAFENet: 2021).

Namun tulisan ini akan lebih memfokuskan pada aspek kedua, yang seringkali menjadi politik hukum yang mendasari eksistensi peraturan-peraturan tersebut: meningkatnya ombak hiper-nasionalisme. Ternodai dengan jelaga fasisme, hiper-nasionalisme merupakan jenis nasionalisme agresif nan maskulin yang menunjukkan pemujaan tinggi terhadap atribut dan upacara kenegaraan, dengan berani memberi harga mati untuk melindungi kesuciannya (Heryanto: 2019). Nasionalisme seperti ini tentu sangat marak eksistensinya di masa Orde Baru.

Pasca Pilgub DKI Jakarta 2017, timbul polarisasi ekstrim dalam wajah politik Indonesia yang kemudian menggendut pada Pilpres 2019, yakni: populisme Islam dan hiper-nasionalisme. Apabila dikesampingkan eksploitasi politik identitas dan jargonal NKRI harga mati untuk melawan radikalisme Islam, sejatinya polarisasi itu merupakan perkelitan antar oligark dimana masing-masing didukung secara finansial oleh oligark yang ingin konsolidasi kuasa (New Mandala: 2017). Namun jajaran kabinet Jokowi pada periode keduanya membuktikan bahwa populisme Islam dan ancaman radikalisme yang mengelilinginya telah lemah syahwatnya, dengan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno mendapatkan jatah posisi menteri – sebuah “kemenangan” untuk hiper-nasionalisme. Tersimpulkan bahwa konsolidasi kuasa oligarki di Indonesia menggunakan perkelitan fanatisme paham sebagai topeng untuk menyembunyikan intensi aslinya.

Pada periode pertama, Jokowi lebih menggunakan hiper-nasionalisme sebagai gerakan reaksioner populisme Islam (Hadiz: 2017) dan ancaman radikalisme yang beberapa kali terejawantahkan dalam aksi teror (BBC Indonesia: 2018). Namun pada periode keduanya, hiper-nasionalisme kini lebih digunakan Jokowi sebagai serdadu penjaga dan distraktor untuk kemaslahatan agenda nekrokapitalisme dari pemerintah neo-otoriternya. Nasionalisme nekrokapitalistik ini destruktif terhadap eksistensi hak asasi manusia karena paham ini menjustifikasi agenda nekrokapitalisme dengan dalih kebanggaan nasionalisme, serta jargonal paham ini mendistraksi publik agar abai terhadap berjalannya agenda tersebut.

Ambil contoh Konflik Papua, yang hingga kini masih tabu untuk dibahas secara bebas di ranah publik akibat perdebatan sejarah yang kompleks dan kerap dipolitisasi. Sejak inkorporasi tanah Papua menjadi provinsi Indonesia pada Pepera, daerah tersebut kerap menemui tindakan nekrokapitalistik yang dilakukan oleh Indonesia terhadap membludaknya sumber daya alam disana. Eksploitasi dan ekstrasi sumber daya alam tersebut seringkali dilancarkan oleh extrajudicial killings terhadap warga lokal, pemindahan paksa masyarakat adat, dan militerisasi (Hamid: 2021). Ketika gerakan separatisme serta pemrotesan terhadap pelanggaran HAM serta degradasi kualitas lingkungan itu muncul, nasionalisme nekrokapitalistik hadir meredamnya dengan ancaman pidana makar, pelabelan teroris, serta scaremongering ancaman Balkanisasi di tanah air. Bahkan represi kebebasan akademik juga ikut terancam karena diskursus mengenai konflik Papua dalam siluet ancaman pembubaran (Tirto.id: 2019).

Contoh serupa terkait destruktivitas nasionalisme nekrokapitalistik dapat ditemui pula melalui pelemahan sistemik KPK (Watchdoc: 2021). Disini, agenda pelemahan semangat antirasuah berusaha dijustifikasi melalui narasi pemberantasan radikalisme di KPK, yang konon katanya dikuasai oleh kelompok “Polisi Taliban” (Tirto.id: 2019). Padahal sudah menjadi logika bahwa lembaga antirasuah yang tidak bergerigi dan independen merupakan nada-nada indah bagi koruptor dan korporasi-korporasi nekrokapitalistik untuk melancarkan agenda kotornya. Ini merupakan contoh lain dari bagaimana negara dan aktor pendukungnya (baca: buzzer) memainkan ketakutan masyarakat terhadap ancaman radikalisme yang dibawa ke Indonesia pada masa emas politik populisme Islam.

Benang Merah

Nasionalisme nekrokapitalistik adalah pil pahit yang dihasilkan dari regresi demokrasi Indonesia yang sempat melalui era optimisme getas. Sayangnya pula, kelahiran paham ini merupakan ancaman nyata untuk pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia yang masih jarang menemui pelita dian. Masa depan hak asasi manusia di era globalisasi neo-liberal memang dirundung ketidakpastian yang menyeramkan, dimana hegemoni keramahan investasi rentan untuk mendominasi arah kebijakan pemerintahan (Baxi: 2008). Indonesia telah dinujumkan akan menjadi negara dengan perekonomian terbesar ke-4 di Dunia dalam satu dekade kedepan (WCA: 2021), sehingga mungkin memprioritaskan ekonomi über alles (termasuk hak asasi manusia dan semangat antikorupsi) tidak akan memudar dalam waktu dekat. Dengan membusungkan dadanya, nasionalisme nekrokapitalistik akan tetap menjadi serdadu penjaganya. Orde Baru telah berganti kulit di era modern.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Koordinator Amnesty International Indonesia Chapter UNAIR

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp