ICEL: Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat Merupakan Hak Asasi Manusia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan ICEL Fajri Fadhillah, S.H. (Foto: Dok. Pribadi)

UNAIR NEWS – Plastik merupakan salah satu sumber problematika utama dalam krisis lingkungan global saat ini. Di Indonesia sendiri, KLHK RI mencatat bahwa pada tahun 2019 terdapat 68 juta ton sampah, dengan 9,52 juta ton merupakan sampah plastik. Sekitar 8,8 juta ton sampah plastik bocor ke laut tiap tahunnya. Padahal, sampah plastik memiliki dampak yang sangat berbahaya karena penguraiannya adalah mikroplastik. Bahaya mikroplastik apabila dikonsumsi hewan dan manusia dapat menyebabkan komplikasi pencernaan, ginjal, kinerja otak, hingga kualitas sperma dan sel telur.

Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan ICEL Fajri Fadhillah, S.H., mengatakan bahwa krisis sampah plastik ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Dalam webinar yang digelar oleh Amnesty International Indonesia Chapter UNAIR, ia bertutur bahwa aspek HAM dari krisis ini adalah bertalian pada hak atas lingkungan hidup. Kategorisasi hak atas lingkungan hidup ini menurut Fajri dibagi menjadi tiga, yaitu: a) rights to environment; b) rights of environment; dan c) environmental rights.

“Kategori yang pertama bertalian dengan hak manusia untuk memiliki dan menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat. Kategori kedua memiliki pendekatan yang ekosentris, jadi itu merupakan hak yang diberikan kepada lingkungan hidup itu sendiri untuk tetap ada dan lestari. Sementara yang ketiga adalah hak prosedural yang diberikan kepada manusia agar tercapainya perlindungan lingkungan hidup. Contoh dari hak ketiga adalah hak atas partisipasi masyarakat dalam pemerolehan izin lingkungan dan hak gugat,” papar alumni Universitas Indonesia itu.

Fajri mengatakan bahwa kovenan internasional yang mengatur terkait hak atas lingkungan hidup masih belum ada, tetapi rekognisi hak tersebut masih dapat dihubungkan melalui ICCPR (Kovenan Hak Sipil dan Politik) dan ICESCR (Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya). Indonesia telah menjadi negara anggota dan meratifikasi kedua perjanjian internasional tersebut, sehingga normanya mengikat secara hukum.

“ICCPR mengakui hak hidup yang dalam teori merupakan non-derogable rights. Apabila degradasi kualitas lingkungan terus terjadi, pada akhirnya itu dapat berbahaya bagi kehidupan umat manusia. ICESCR mengatur bahwa manusia berhak untuk kondisi hidup yang terus diperbaiki dengan standar tertinggi untuk kesehatan fisik dan mental. Kita tahu sendiri bahwa pencemaran lingkungan selain dapat berdampak ke kesehatan fisik, kesehatan mental dapat juga terganggu,” ujarnya.

Bergulirnya era Reformasi di Indonesia membawa hukum Indonesia untuk mengakui eksistensi hak atas lingkungan hidup dalam hierarki hukum yang tinggi. Fajri memaparkannya pada Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945, UU 39/1999 tentang HAM, dan UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Untuk itu, menjadi tantangan bersama bagi pemerintah dan masyarakat untuk menghadapi krisis lingkungan berupa sampah plastik ini. Destruktivitas ini meranah hingga ke hak asasi manusia,” tutupnya.

Materi tersebut dipaparkan oleh Fajri Fadhillah pada webinar yang digelar oleh Komite Lingkungan Amnesty International Indonesia Chapter UNAIR dalam rangka memperingati International Plastic Bag Free Day. Diadakan pada Minggu pagi (4/7/2021), webinar ini mengangkat tema ancaman mikroplastik serta keterikatannya dengan pelanggaran hak asasi manusia.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp