UNAIR NEWS – Berkembangnya dunia digital, tidak dipungkiri memberi dampak pada dunia jurnalistik. Publik lebih mudah untuk memberi dan mengakses informasi, terkadang membuat kurang diindahkannya integritas serta profesionalisme jurnalis. Hal itulah yang kemudian mendasari Kementerian Hubungan Luar Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Airlangga (Hublu BEM UNAIR) gelar webinar jurnalistik pada Sabtu (26/06/2021).
Mengusung tajuk The Integrity and Professionalism of Jurnalistic, webinar tersebut termasuk dalam rangkaian kegiatan Interesting Competition and Journalistic Course (Intristicc) Hublu BEM UNAIR. Hadir sebagai salah satu pembicara, Endri Kurniawati, editor tempo.co yang telah berkiprah selama 20 tahun.
Menurut Endri, terdapat perbedaan makna antara jurnalis dan wartawan. Semua orang bisa menjadi jurnalis, menurutnya. Mengutip dari Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, Endru menerangkan bahwa wartawan hanya disematkan pada orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Selanjutnya, diterangkan pula oleh Endri bahwa kerja wartawan adalah untuk publik.
“Dia (wartawan) bekerja untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui tentang informasi semua urusan publik di negeri ini. Hak untuk tahu atau right to know itu salah satu bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM),” papar Endri.
Informasi yang disajikan wartawan kepada publik, pada prinsipnya hanya menjawab 5W+1H atau yang dikenal dengan what, when, where, who, why, dan how. Tiap wartawan, bisa jadi memiliki perbedaan dalam menyajikan jawaban tersebut. Hal itu bergantung kepada energi yang dikeluarkan wartawan untuk menggali jawaban atas pertanyaan 5W+1H.
Proses penggalian jawaban didapatkan wartawan dari penelusurannya terkait suatu peristiwa. Dari penelusuran tersebut, kemudian ia (wartawan, Red) juga mendapatkan data-data pelengkap guna menunjang tersampaikannya informasi dalam berita.
Pada beberapa kesempatan, justru data menjadi titik awal terjadinya peristiwa yang kemudian dimuat dalam berita. Hal itu disebut dengan “jurnalisme data,” seperti yang dipaparkan oleh Yohan Wahyu, penulis penelitian dan pengembangan (litbang) KOMPAS, pemateri selanjutnya pada sesi webinar tersebut (Intristicc Hublu BEM UNAIR, Red).
“Intinya kemudian adalah dari data, kita menemukan banyak informasi. Jadi tidak serta-merta konvensional seperti sebelumnya bahwa informasi itu pasti dari peristiwa di lapangan. Informasi atau berita itu bisa kemudian ditemukan dari rangkaian kita meriset sebuah dokumen atau data,” jelas Yohan.
Jurnalisme data bermula pada harian di Inggris yakni The Guardian. “Model jurnalisme ini (jurnalisme data, Red) kemudian berkembang di era digital saat ini setelah munculnya mesin komputer pengolah data besar,” imbuh alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP UNAIR) tersebut.
Dalam kesempatan webinar tersebut, Yohan juga memaparkan bahwa terdapat tiga basis atau sumber dalam jurnalistik data. Ketiganya yakni berbasis data sekunder, berbasis data primer, dan gabungan keduanya.
Basis data sekunder berasal dari hasil analisis data kuantitatif pada statistik serta analisis isi suatu dokumen. Basis data primer berasal dari hasil survei kuantitatif, observasi, ataupun wawancara. Sementara itu, gabungan keduanya yakni bersumber dari data sekunder dan data primer.
Penulis: Fauzia Gadis Widyanti
Editor: Khefti Al Mawalia