Kenali Pola Gaslighting dan Segera Keluar Dari Hubungan Tersebut

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh IDN Times

UNAIR NEWS – Pada artikel sebelumnya yang tayang pada Senin (24/5), telah dibahas mengenai perilaku gaslighting yang dapat mengurangi kepercayaan diri. Dalam artikel ini, Dr. Primatia Yogi Wulandari, M.Si., mengulas lebih dalam pola gaslighting dan juga cara menghadapinya.

Ia menjelaskan dua hal yang menyebabkan seorang individu sulit untuk keluar dari hubungan tersebut. Hal tersebut adalah, kemungkinan ia tidak menyadari tengah dimanipulasi dan tidak dapat menolak pelaku. Mengutip dari Stern (2007) ada tiga pola yang terjadi pada korban gaslighting

Disbelief 

Korban akan merasa kebingungan akan perilaku yang ditunjukkan oleh pelaku. Pada tahap ini, pelaku akan menuduh korban bahwa ia salah memahami situasi.

Defense 

Seiring dengan semakin banyaknya perilaku dan pernyataan yang tidak konsisten dari pelaku, korban secara aktif berusaha melakukan argumentasi dan melawan tuduhan pelaku bahwa kesalahan ada pada pihak korban.

Depression

Pada tahap ini, korban menerima tuduhan pelaku tanpa membela diri, bahkan mencoba secara aktif membuktikan bahwa tuduhan-tuduhan tersebut memang benar adanya. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan persetujuan pelaku dan mempertahankan hubungan agar tetap harmonis. 

“Pada tahap depresi, kehidupan sehari-hari dapat turut berpengaruh, seperti tidak dapat merasakan makanan yang enak dan tidak menikmati aktivitas bersama teman-teman. Korban bahkan mungkin mengalami kesulitan untuk membuat keputusan-keputusan sederhana seperti mau makan di mana, menonton film apa, memakai baju yang mana,” ujarnya.

Setelah melalui pola-pola tersebut, sambungnya, korban dapat merasa frustrasi, cemas, disorientasi, obsesif, putus asa, takut, dan akhirnya merasa kalah, kosong, dan malu. Bahkan ada pula rasa bersalah, harga diri melemah, dan kecenderungan menyakiti diri sendiri.

“Ada beberapa terapi yang biasa dilakukan, seperti terapi kognitif. Terapi ini diterapkan untuk mengembalikan kendali atau kontrol  atas tindakan dan respon emosionalnya, dengan cara mengelola kesalahan-kesalahan berpikir yang terjadi selama berada pada hubungan gaslighting. Target akhirnya adalah meningkatkan keyakinan pada diri sendiri,” jelasnya. 

Sebagai orang yang berada di sekitar korban dan pelaku, jelasnya, dapat menjadi pendengar yang baik bagi korban. Tiap individu juga dapat meminta korban mengomunikasikan pikiran dan perasannya pada pelaku, dengan harapan pelaku dapat sadar dan memperbaiki perilakunya. Terakhir, buat korban berpikir objektif dengan memperlihatkan bukti-bukti dan fakta yang mendukung. 

Selain itu, korban juga membutuhkan dukungan secara psikologis. Dengan meyakinkan dirinya dapat bertidak secara mandiri dan dapat melakukan sesuatu sesuai dengan keyakinannya dengan baik. 

“Namun, kita tidak tidak dapat memaksa korban untuk meninggalkan hubungan tersebut. Sebagai orang terdekat, kita harus mencoba menguatkan korban secara bertahap. Bagaimanapun juga, semua keputusan berada di tangan korban,” jelasnya.

Pada akhir, Mima memaparkan pada setiap relasi pasti akan mengalami konflik dan permasalahan. Namun, konflik tersebut bukanlah masalah utama, melainkan cara menyelesaikannya dan membuat relasi tersebut menjadi lebih baiklah yang menjadi hal terpenting. Dalam penyelesaian konflik, dua belah pihak seharusnya bekerja sama mencari solusi yang saling menguntungkan, tanpa adanya manipulasi.

“Bagi yang merasa berada pada relasi yang tidak seimbang seperti, gaslighting ini, bisa mulai berpikir untuk lebih mencintai diri sendiri. Siapa lagi yang akan mencintai diri kita selain diri kita sendiri? Memang sesuatu hal yang ideal, bila kita ingin mengupayakan yang terbaik untuk orang-orang yang kita sayangi, tapi bukankah butuh dua pihak untuk membuat hubungan yang sehat dan harmonis? It takes two to tango,” tutupnya.(*)

Penulis: Alysa Intan Santika

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp