Peleburan Kemendikbud-Ristek: Efektivitas atau Gejala Pergeseran Prioritas ???

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Media Indonesia

Hari ini (28/04) telah terlaksana Pelantikan dua menteri dan dua kepala lembaga, yakni Bapak Bahlil Lahadalia sebagai menteri investasi, Bapak Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Riset dan Teknologi, Bapak Laksana Tri Handoko sebagai Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, dan Bapak Indriyanto Seno Adji sebagai Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi. Disini saya tidak sedang akan mengurai satu per satu profil individu, namun bermaksud untuk menelaah sesuatu yang berbeda dalam momentum pelantikan menteri dan kepala lembaga hari ini. 

Dalam praktik demokrasi, re-shuffle pejabat pemerintahan merupakan peristiwa yang lumrah terjadi. Kebijakan semacam ini biasanya dilandasi oleh aspek politik, kinerja personalia, atau kejadian luar biasa yang berkaitan dengan kode etik maupun instabilitas serta inkondusifitas jalannya pemerintahan. Hanya saja, pada pelantikan menteri dan kepala lembaga kabinet kerja hari ini, ada satu hal yang akhirnya memicu reaksi saya untuk merespons melalui tulisan ini. Yakni peleburan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementrian Riset dan Teknologi yang dibarengi dengan pembentukan kementrian baru, yakni Kementrian Investasi. Hal ini dilatar-belakangi oleh asumsi bahwa peran Kementrian Riset dan Teknologi belum berhasil memberikan dampak yang signifikan dalam pengembangan riset dan teknologi di Indonesia yang pada akhirnya menimbulkan kesan bahwa keberadaan Kemenristek menyebabkan inefisiensi penggunaan anggaran negara. 

Dalam hal ini, sebagai warga negara yang baik, saya sepenuhnya menghormati keputusan pemerintah menyoal peleburan kemenristek, namun perubahan nomenklatur kementrian selalu meninggalkan catatan kritis bersamanya. Catatan kritis hadir bukan untuk mendelegitimasi pemerintah, bukan pula untuk mereduksi trust value kepada pemerintah, namun sebagai rambu-rambu yang sudah semestinya diperhatikan demi tidak terjadinya deoptimalisasi upaya membangun peradaban bangsa yang lebih baik, apalagi ini menyoal riset dan teknologi yang merupakan tonggak penentu masa depan bangsa. Sebagaimana yang disampaikan oleh Prof. Arif Satria, Rektor Institut Pertanian Bogor, Indonesia saat ini berada di peringkat 85 dari 131 negara di dunia pada Indeks Inovasi Global atau terendah kedua jika dibandingkan negara Asean. Hal ini yang pada akhirnya menimbulkan kekhawatiran tersendiri atas kebijakan peleburan kemenristek. Pasalnya, inoptimalisasi pengembangan riset dan teknologi tidak dapat dilepaskan dari kenyataan bahwa anggaran yang disediakan negara pada sektor ini relatif sangat terbatas, yakni hanya 0,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB) sementara besar anggaran riset Malaysia mencapai 1,3% dari PDB, Korea Selatan dan Jepang sebesar 3,6% dari total PDB. 

Tidak dapat dinafikkan bahwa kementrian riset dan teknologi memiliki peran sentral dalam membangun peradaban bangsa yang lebih baik mengingat hari ini kita telah memasuki Era Revolusi Industri 4.0. Kebijakan ristek yang semestinya semakin mengarah ke hilir dalam rangka optimalisasi dan komesilisasi hasil ristek dalam industri dan sistem ekonomi nasional dalam rangka industrialisasi 4.0 mau tidak mau harus melangkah mundur beberapa langkah untuk kembali ke hulu guna mensinkronisasikan sektor pendidikan, kebudayaan, riset, dan teknologi dalam tubuh kementrian. Apalagi saat ini, pendidikan di Indonesia sedang mengalami penurunan kualitas akibat virtualisasi pendidikan mengingat pandemi Covid-19 yang masih berlangsung. Banyak akademisi menganggap pemerintah masih gagap dalam mereformulasi metode pendidikan yang sesuai di masa pandemi Covid-19 saat ini. Belum lagi penyesuaian program kampus merdeka yang dicanangkan oleh menteri pendidikan dan kebudayaan sebagai terobosan baru dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia.

Dalam keadaan yang seperti ini, saya merasa pemerintah terlalu terburu-buru dalam merubah nomenklatur kementrian dengan meleburkan kemenristek menjadi kemendikbud-ristek. Sikap yang cenderung terburu-buru menjadi logis karena adanya peningkatan dosis secara signifikan pada konsentrasi pemerintah dalam pengembangan ekonomi dan investasi negara. Hal ini menjadi kebijakan yang tidak mengejutkan mengingat beberapa waktu lalu, Masyarakat Indonesia digegerkan dengan pengesahan Undang-Undang Omnibus Law yang dirasa terlalu “berpihak” pada investasi dan ekonomi negara bukan pada ekonomi rakyat. Dengan pembentukan kementrian investasi sebagai wajah baru dalam nomenklatur kementrian di Indonesia, tentu pemerintah harus “mengorbankan” kementrian yang bisa dirampingkan sebagai konsekuensi logis dalam menjaga stabilitas distribusi anggaran negara sehingga tidak terjadi pembengkakan secara signifikan. 

Pada kesimpulannya, saya hanya dapat berharap bahwa kebijakan ini menjadi langkah yang tepat bagi pemerintah untuk tetap mengupayakan terwujudnya masyarakat adil dan makmur serta peradaban berkemajuan. Bahwa pendidikan, riset, dan teknologi merupakan sektor yang terlalu vital peranannya dalam pembentukan masa depan peradaban bangsa sehingga jangan sampai sektor pendidikan, riset, dan teknologi “terlalu” dikorbankan sekalipun dimaksudkan untuk mengoptimalisasi peran sektor yang lainnya, yang dianggap tidak kalah vital seperti ekonomi dan investasi. Sebab, tanpa pendidikan, riset, dan teknologi, pengembangan sumber daya manusia di Indonesia akan selalu mengalami deoptimalisasi, dan selama pengembangan sumber daya manusia mengalami deoptimalisasi, selama itu pula seluruh sektor akan bergerak pada haluan abstrak (hanya digantungkan pada kepentingan kelompok) dan tidak memberikan dampak signifikan bagi kesejahteraan rakyat.

Penulis: Nauval Witartono

Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp