Mengulik Isu Seputar Quarter Life Crisis Bareng BEM FKM UNAIR

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Penjelasan Materi Quarter Life Crisis oleh Michelle Tania, M.Psi., Psikolog, (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Isu Quarter Life Crisis atau yang biasa disingkat QLC memang sangat menarik untuk dikupas karena sangat berkaitan dengan krisis yang hampir semua orang hadapi di fase kehidupannya. Supaya bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depan, maka perlu untuk mengenali dan mengetahui cara menghadapi krisis tersebut. 

Untuk tujuan tersebut, Departemen Kastrat (Kajian dan Aksi Strategis) BEM FKM UNAIR menggagas sebuah program kerja bernama Rubik (Rumpi Bareng Isu Kekinian). Rubik perdana diadakan pada Rabu siang (28/04/2021) dengan judul “The Chaotic Phase in Your 20s”. Mengusung tema “Quarter Life Crisis”, panitia mendatangkan Michelle Tania, M.Psi., Psikolog dari Lingkar Psikologi sebagai pemateri. 

“Quarter Life Crisis adalahmasa dimana ketika seseorang itu menginjak usia 20-30 tahun dimana kita di usia tersebut sedang mencari yang namanya identitas diri,” terang Michelle.

Michelle menjelaskan bahwa identitas diri yang dimaksud seperti kepribadian diri sendiri yang sebenarnya, karakter orang yang sering diajak interaksi, perlakuan orang lain kepada diri sendiri yang disukai dan tidak disukai, serta mengenai masa depan diri. Tak hanya mencari jati diri, tetapi juga tuntutan atau tekanan yang dirasakan dapat menyebabkan seseorang mengalami dilema.

“Tidak jarang dilema ini memunculkan krisis di dalam hidup kita, itulah yang dinamakan Quarter Life Crisis,” imbuh Michelle.

Untuk mengenali seseorang berada dalam fase QLCatau tidak, Michelle memaparkan tanda-tandanya. Diantaranya yaitu, tidak tahu tujuan dan keinginan hidup, selalu merasa pencapaian tidak sesuai ekspektasi, takut akan kegagalan, takut tidak mampu mengambil keputusan yang tepat, dan sering membandingkan diri dengan orang lain.

Michelle menerangkan bahwa QLC ini bisa berdampak negatif maupun positif tergantung bagaimana cara seseorang memandang QLC tersebut. Berdasarkan penjelasan alumni Universitas Tarumanagara tersebut, dampak QLC jika dilihat dari sisi negatif mengakibatkan seseorang akan selalu merasa insecure, kesulitan dalam mengambil keputusan serta dapat berujung menyebabkan mental illness pada seseorang. 

“Sedangkan QLC bisa berdampak positif apabila kita melihat QLC ini sebagai motivasi kita untuk belajar lebih baik lagi, lebih banyak mencari ilmu lagi, lebih banyak memperluas jaringan lagi,” tambah Michelle.

Dampak negatif yang ditimbulkan oleh QLC bukanlah hal yang dapat disepelekan. Oleh karena itu, perlu diketahui cara menghadapi hal itu. Menurut Michelle, hal yang penting untuk dilakukan adalah berhenti membandingkan diri dengan orang lain, sebaiknya kata “harus” diganti dengan kata “akan lebih baik jika”, dan mampu menentukan prioritas.

Jadi, imbuh Michelle, untuk mencapai hal tersebut tidaklah mudah. Harus belajar sedikit demi sedikit dan memerlukan proses yang lama.

“Dan terakhir, ini ada suatu quotes yang aku suka dari Marie Curie yang bilang bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan dalam hidup ini, tapi untuk dipahami. Nah, sekarang waktunya kita untuk memahami lebih banyak sehingga rasa takut kita itu bisa lebih sedikit,” pungkas Michelle mengakhiri pemaparan materinya.

Penulis: Tyas Ratna Manggali

Editor: Nuri Hermawan 

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp