Menjadikan Mikroorganisme Pabrik Biologis yang Efisien dengan Sistem Scaffold Pelokalisir Enzim

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Sumber: linisehatcom

Mikroorganisme seperti bakteri dan khamir telah lama dimanfaatkan sebagai platform produksi berbagai senyawa kimia berharga. Biosurfaktan, bioetanol, enzim, hingga protein terapetik seperti antibodi dan hormon dapat dihasilkan oleh makhluk-makhluk mikroskopis tersebut, sehingga tidak berlebihan apabila mikroorganisme disebut sebagai biofactory atau pabrik biologis.

Mengembangkan mikroorganisme sebagai platform produksi senyawa kimia berharga tidaklah mudah. Tantangan-tantangan seperti tidak lancarnya transisi antar reaksi kimia yang terlibat dan pembentukan produk sampingan yang tidak dikehendaki dapat mengurangi jumlah produk yang semestinya dihasilkan. Penyebab dari masalah-masalah tersebut utamanya disebabkan letak enzim-enzim yang terlibat dalam reaksi pembentukan produk yang tersebar secara random di dalam sel mikroorganisme.

Alam memberikan inspirasi untuk memecahkan masalah yang diakibatkan persebaran enzim tersebut. Contoh yang paling terkenal adalah cellulosome dari bakteri anaerobik Clostridium thermocellum. Cellulosome terdiri dari enzim-enzim yang terlibat dalam proses metabolisme selulosa, protein-protein yang berfungsi mengikat selulosa, dan protein-protein non katalitik yang berfungsi sebagai rangka (protein scaffolds). Terinspirasi dari sistem-sistem alami tersebut struktur rangka(scaffolds) sintetis telah berhasil dibangun dan dikembangkan, tidak hanya menggunakan rangka dasar protein seperti yang ditemui pada cellulosome, namun juga DNA, dan RNA. Penggunaan struktur scaffolds sintetis tersebut berhasil meningkatkan hasil dari berbagai jalur reaksi metabolik.

Scaffold Protein

Struktur scaffolds sintetis yang pertama dikembangkan adalah Sistem Scaffold Protein. Sistem Scaffold Protein dikembangkan dari scaffold system pada cellulosome yang menggunakan dockerin dan cohesin untuk melokalisir enzim pemecah selulosa. Jalur produksi senyawa kimia bernilai tinggi yaitu, mevalonate yang merupakan prekursor bagi senyawa-senyawa isoprenoid yang dapat diolah lebih lanjut menjadi biofuel, karet sintetik, maupun obat-obatan seperti obat anti malaria artemisinin telah digunakan sebagai model untuk membuktikan keefektifan penggunaan protein scaffolds untuk meningkatkan produksi suatu senyawa kimia bernilai tinggi dalam bakteri Escherichia coli. Dengan sistem scaffold protein, produksi mevalonate berhasil ditingkatkan sebanyak 77 kali lipat dibandingkan dengan produksi tanpa scaffold.

Scaffold DNA

Terlepas dari keefektifitasannya meningkatkan output reaksi kimia, sistem scaffold protein memiliki keterbatasan dalam jumlah enzim yang dapat dilokalisir, terlalu banyak enzim akan menyebabkan struktur scaffolds menjadi terlalu besar dan sulit diproduksi di dalam sel inang seperti bakteri dan ragi. Oleh karena itu, telah dikembangkan scaffolds dari makromolekul yang lebih stabil yaitu DNA. Pemilihan DNA sebagai scaffolds memiliki berbagai kelebihan: DNA memiliki struktur yang stabil dan mudah diprediksi dan memberikan fleksibilitas yang tinggi untuk mengatur jumlah enzim dan jarak antar enzim yang akan dilokalisir pada scaffolds. Keefektifan DNA scaffold system dalam meningkatkan output dari suatu rekasi kimia telah dilaporkan. Plasmid (DNA berbentuk sirkular) digunakan sebagai scaffolds untuk melokalisir enzim-enzim yang terlibat dalam jalur sintesis mevalonate, resveratrol, 1,2-propadienol, dan asam amino threonine.  Sebagai hasilnya, peningkatan produksi mevalonate sebesar 3 kali lipat, resveratrol sebesar 5 kali lipat, 1,2 propadienol sebesar 4-5 kali lipat, dan threonine sebesar 3 kali lipat dibandingkan dengan produksi tanpa scaffold.

Scaffold RNA

Sistem yang terakhir adalah RNA scaffold system yang menawarkan fleksibilitas tertinggi dibandingkan sistem lainnya. RNA scaffold system terdiri dari unit-unit kecil tempat enzim dilokalisir yang dapat disusun seperti LEGO® membentuk struktur yang dikehendaki. Berbeda dengan sistem scaffold protein dan DNA di mana enzim-enzim yang digunakan disusun dalam satu bidang linear, RNA scaffold system memungkinkan enzim-enzim dilokalisir dalam suatu komplek multidimensi. Dalam sistem scaffold RNA dimungkinkan satu enzim terletak berdekatan dengan enzim lain tidak hanya di depan atau belakangnya namun juga di atas atau bawahnya. Keefektifan RNA scaffold system dalam meningkatkan output suatu reaksi kimia berbanding lurus dengan kompleksitas strukturnya. Peningkatan produksi hidrogen sebanyak 48x lipat diperoleh dengan mengaplikasikan RNA scaffold system 2 dimensi untuk melokalisir enzim-enzim yang terlibat dalam produksi hidrogen ([Fe-Fe]-hydrogenase dan ferredoxin) dibandingkan dengan produksi tanpa scaffolds, sementara penggunaan RNA scaffold system 1 dimensi dan 0 dimensi hanya menunjukkan peningkatan sebesar 11x dan 4x lipat.

Penggunaan sistem scaffold sintetis merupakan strategi yang efektif dalam meningkatkan output suatu reaksi kimia untuk menghasilkan produk bernilai ekonomi tinggi. Sistem scaffold protein memiliki kelebihan dalam hal fleksibilitas dalam pengaturan jarak dan posisi antar enzim, namun memiliki keterbatasan dalam jumlah enzim yang dapat dilokalisir pada struktur scaffold. Sistem scaffold DNA yang menawarkan kemudahan dalam pengaturan jarak dan jumlah enzim dalam scaffold, serta kestabilan struktur scaffold, sementara sistem scaffold RNA memberikan fleksibilitas tertinggi di antara sistem lainnya dengan kemampuannya membentuk struktur multi dimensi yang mampu melokalisir enzim dalam jumlah besar, namun memiliki kelemahan dalam hal kestabilan.

Penulis: Almando Geraldi

Informasi yang lebih mendetail dari tulisan ini dapat dilihat di:

https://www.mdpi.com/2079-7737/10/3/216

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp