Herlambang: Praktik UU ITE Lebih Sering Digunakan untuk Membungkam Kebebasan Berekspresi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Peneliti Human Rights Law Studies (HRLS) UNAIR Dr. Herlambang P. Wiratraman. (Foto: Istimewa)

UNAIR NEWS – Konsisten, akuntabel, dan berkeadilan. Apakah tiga adjektiva itu merupakan kata yang tepat untuk mendeskripsikan kebijakan pidana dalam ruang siber di Indonesia? Diskursus itulah yang ditelaah lebih lanjut oleh Kementerian Politik dan Kajian Strategis (Polstrat) BEM FISIP UNAIR pada program kerjanya yang diberi nama Kelas Analisis Kebijakan. Perhelatan ini digelar selama dua hari pada Jumat dan Sabtu malam (23 dan 24/04/2021).

Tim redaksi UNAIRNEWS berkesempatan untuk menghadiri kegiatan pada hari kedua yang mengundang Peneliti Human Rights Law Studies (HRLS) UNAIR Dr. Herlambang P. Wiratraman sebagai narasumber. Pakar HAM yang tersohor itu merefleksikan bahwa eksistensi UU ITE ini tidak cukup kuat dalam melindungi warga negara terhadap luasnya skenario kejahatan siber yang dapat terjadi dewasa ini.

“Nostalgia sedikit pada waktu ramai-ramai revisi UU KPK, kan akademisi UNAIR yang kali pertama membentuk suatu koalisi para akademisi untuk menolak revisi tersebut. Mungkin karena itu saya dan kawan-kawan mendapatkan beberapa “serangan” siber. Apabila saya sendiri, email UNAIR saya mengalami peretasan, dan beberapa kali rapat internal koalisi tersebut di Gedung C FH UNAIR didatangi oleh pihak yang tak dikenal. Maksud saya adalah, serangan dan lemahnya privasi di ruang siber seperti ini tidak diatur dalam UU ITE. Semua itu beyond the law,” jelas alumni Leiden University itu.

Herlambang mengatakan bahwa UU ITE malah lebih sering digunakan untuk membungkam kritik dan kebebasan berekspresi. Contoh yang sering dilihat oleh Herlambang selaku pengamat kebebasan berekspresi sebagai alat pembungkaman adalah penggunaan Pasal 27 ayat (3) yang mengatur terkait pencemaran nama baik, serta Pasal 28 ayat (2) yang memuat terkait ujaran kebencian.

“Tentu saja, semua itu dimudahkan dengan syaratnya pasal karet dalam produk hukum tersebut. Itu semua akan jauh lebih bahaya apabila kita kaitkan dengan arah gerak negara dewasa ini yang mengalami kemunduran demokrasi. Buktinya lembaga pemerintahan saja dapat berlindung dengan pasal-pasal ini apabila ada elemen masyarakat yang mengkritik,” cakap anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia itu.

Politik hukum yang terkandung dalam UU ITE menurut Herlambang dapat dikomparasikan dengan politik hukum masa kolonial. Kerajaan Belanda kala itu juga memiliki hukum yang mengatur soal ujaran kebencian dan larangan untuk menghina pemimpin. Kemudian, Gubernur Jenderal Hindia Belanda  J. B. van Heutsz memutuskan untuk melakukan transplantasi hukum tersebut terhadap Wetboek van Strafrecht (WvS), yang kini dikenal sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hal itu memang ditujukan agar pemerintah kolonial dapat membungkam pergerakan nasionalisme rakyat pribumi pada kala itu.

“Sejatinya pasal itu sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi, namun kelenturan norma-norma dalam UU ITE seakan mengembalikan lagi pasal tersebut untuk mengikat rakyat Indonesia,” ujarnya.

Fiasko dari UU ITE menurut Herlambang semakin lama semakin terlihat dan sekarang kerancuannya tak hanya dapat mengancam kebebasan berekspresi, namun juga kebebasan akademik. Ia mencontohkannya dengan teror siber yang dialami oleh epidemiolog Pandu Riono yang mengkritik pengembangan vaksin, dan pembubaran webinar yang diadakan oleh Constitutional Law Society FH UGM setelah panitia dan narasumber mendapatkan teror.

“UU ITE merupakan suatu produk hukum yang draconian dan itu terbukti. Universitas seharusnya sebagai tempat produksi ilmu pengetahuan yang harus dijaga kebebasannya. Gagalnya wacana revisi UU ITE untuk masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021 DPR RI juga pada akhirnya membuktikan satu hal, yakni sedang terjadi penciutan ruang kebebasan sipil (shrinking civil space) di Indonesia,” tutupnya.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp