Pakar HI UNAIR: Rezim Militer Berpotensi Menjadi Masa Depan Myanmar

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Demonstran Myanmar di depan Kedutaan Besar Indonesia di Yangon, Myanmar. (Sumber: Berita Satu)

UNAIR NEWS – Kudeta militer di Myanmar pada awal Februari 2021 lalu menjadi isu besar ditengah situasi pandemi. Kudeta yang dilakukan oleh junta militer Myanmar tersebut menjatuhkan rezim sipil berkuasa Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang terpilih secara demokratis melalui pemilihan umum.

Telah berjalan hampir selama dua bulan penuh dengan segala dinamikanya, Pakar Hubungan Internasional (HI) Universitas Airlangga (UNAIR) I Gede Wahyu Wicaksana, S.IP., M.Si. Ph.D meyakini rezim militer berpotensi menjadi masa depan Myanmar.

Asumsi tersebut berangkat dari nihilnya sikap proaktif ASEAN, tekanan internasional yang minim dampak, serta pengambilan momen yang tepat oleh pemimpin junta militer, Jenderal Min Aung Hlaing. Ketika tindakan represif mulai dilakukan junta militer, belum muncul progres berarti, khususnya respon dari negara-negara di Asia Tenggara.

“Sekarang ini ada tren politics of silence di ASEAN. Indonesia dan Malaysia bisa saja bersikap aktif untuk mendorong pencarian solusi, tapi masalahnya anggota ASEAN yang lain tidak bersikap sama,” imbuhnya.

ASEAN sendiri memang memiliki prinsip non-intervensi dan membutuhkan suara bulat untuk membuat keputusan bersama atas suatu isu. Kecil kemungkinan bagi organisasi regional tersebut ikut campur dalam masalah domestik di Myanmar, meskipun beberapa respon normatif telah dikeluarkan.

“Makanya respon ASEAN itu kan sederhananya saying something rather than nothing. Tidak ada kesatuan suara terhadap isu ini di antara anggota ASEAN,” jelas lulusan University of Western Australia tersebut.

Sementara itu, respon internasional dari negara-negara lain juga dipandang belum memiliki tekanan yang kuat hingga mampu berdampak pada junta militer. Menurut Wahyu, hal tersebut terjadi akibat kelihaian Jenderal Min Aung Hlaing memilih momen tepat kala pandemi untuk mengeksekusi segregasi terhadap pemerintahan demokratis Myanmar.
Pandemi Covid-19 yang secara konsisten menjadi prioritas banyak negara pun muncul sebagai intervening variable terpenting kudeta militer Myanmar.

“Aktivitas internasional hampir semua negara berubah. Lihat saja Indonesia, negara kita sebenarnya berpeluang besar menjadi pihak ketiga dalam kudeta Myanmar. Tapi melihat situasi terkini, peluang tersebut sepertinya tidak akan pernah dimanfaatkan,” terangnya.

Wahyu juga menyoroti lemahnya Aung San Suu Kyi selaku pemimpin terpilih pemerintahan sipil. Meski mendapat Nobel hingga pengakuan internasional, Perdana Menteri Myanmar tersebut hanya memiliki kuasa dan legitimasi politik sebatas di ibu kota Myanmar, Naypyidaw.

Di luar kawasan itu, junta militer menjadi pihak yang paling berkuasa. Contoh ketidakberdayaan Aung San Suu Kyi atas isu Rohingya di Rakhine yang dikuasai oleh otoritas militer. Meski mendapat banyak dukungan, Aung San Suu Kyi nyatanya tidak mampu mengendalikan dinamika politik domestik di negaranya.
Maka melalui dinamika dan situasi terkini, Wahyu pun meyakini bahwa pemilihan umum ulang di bawah Undang-Undang Darurat yang diawasi pihak militer akan benar-benar terlaksana. “Harapan akan kembalinya demokrasi di Myanmar sangat kecil. Apalagi akomodasi antara rezim lama militer dan pemerintahan sipil nihil. Hal tersebut sebenarnya memastikan bahwa sejak lama, kudeta militer di Myanmar hanya tinggal menghitung hari,” tandasnya.(*)

Penulis: Intang Arifia

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp