Gangguan Pendengaran pada Lansia Dapat Memicu Demensia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi gangguan pendengaran pada lansia. (Sumber: SehatQ)

Presbikusis atau yang biasa disebut tuli sensorik pada lansia merupakan gangguan pendengaran akibat proses degenerasi (penurunan kemampuan pada sel, jaringan, atau organ) organ pendengaran. Sebagian besar penderita presbikusis adalah lansia berusia 65 tahun ke atas. Penurunan kemampuan pendengaran sering dikaitkan dengan penurunan kemampuan kognitif pada lansia penderita demensia. Gangguan fungsi kognitif seringkali disertai dan diawali dengan penurunan kendali emosi, perilaku sosial, atau motivasi. 

Demensia merupakan sindrom yang umumnya bersifat kronis atau progresif yang juga terjadi akibat proses penuaan. Prevalensi demensia meningkat seiring bertambahnya usia. Prevalensi demensia di seluruh dunia mencapai 46 juta dan 22 juta diantaranya berada di Asia. Hingga saat ini di Indonesia belum memiliki data jumlah pasti lansia yang mengalami demensia. Survei yang dilakukan di Yogyakarta pada tahun 2016 menunjukkan angka 20,1% lansia berusia 60 tahun atau lebih yang menderita demensia. Survei ini melibatkan 1.976 lansia dan 1.415 asisten. Pada usia 60 tahun, 1 dari 10 lansia mengalami demensia, pada usia 70 tahun, 2 dari 10 lansia mengalami demensia dan pada usia 80 tahun, 4-5 dari 10 lansia mengalami demensia. Data ini menunjukkan bahwa dengan bertambahnya usia kemungkinan seseorang mengalami demensia semakin meningkat. Dari penjelasan diatas, tentunya dapat dicurigai salah satu bahwa penurunan kemampuan pada lansia, yaitu presbikusis, memiliki potensi untuk membuat seorang lansia memiliki demensia.

Oleh karenanya Mahasiswa dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Alfin Putratama bersama dengan Pembimbingnya, Dr. Nyilo Purnami, dr., Sp.THT-KL(K), FICS, FISCM dan Djohar Nuswantoro, dr., MPH, mengangkat topik tersebut untuk diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan presbikusis dengan demensia. Penelitian ini dilakukan di Departemen THT-KL RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. Pengambilan data menggunakan kuesioner HHIE-S (Hearing Handicap Inventory for The Elderly – Screening) untuk mengetahui apakah lansia memiliki masalah pada pendengaran atau tidak dan untuk uji demensia menggunakan MMSE (Mini Mental State Examination) untuk mengetahui ada tidaknya demensia pada pasien tersebut kemudian dilakukan uji audiometri untuk melihat derajat presbikusis pasien. Kemudian data dianalisis dengan software SPSS untuk mengetahui hubungan antara presbycusis dan demensia. Dilakukan pengukuran 28 pasien di Bagian THT untuk mengetahui demensia dengan MMSE dan presbikusis dengan kuesioner HHIE-S. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa pasien lansia yang memiliki presbikusis memiliki resiko demensia 13,00 kali dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami presbikusis.

Penelitian yang dilakukan oleh Alfin sejalan dengan studi sebelumnya. Studi yang dilakukan oleh Gallacher et al (2012) menyatakan bahwa meningkatnya ambang batas pendengaran dapat terkait dengan insiden demensia dan penurunan kognitif. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa orang dengan gejala gangguan pendengaran ringan mungkin dua kali lebih mungkin untuk memiliki keluhan demensia dibandingkan dengan orang dengan pendengaran yang sehat. Orang dengan gangguan pendengaran yang parah mungkin lima kali lebih mungkin untuk mengembangkan demensia.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Lin et al (2011) ditemukan pula bawah bahwa gangguan pendengaran berhubungan secara independen dengan kejadian semua penyebab demensia setelah penyesuaian jenis kelamin, usia, ras, pendidikan, diabetes, merokok, dan hipertensi. Risiko semua penyebab demensia meningkat dengan tingkat keparahan gangguan pendengaran, dan untuk individu > 60 tahun dalam kelompok kami, lebih dari sepertiga risiko kejadian semua penyebab demensia dikaitkan dengan gangguan pendengaran. Studi ini juga menunjukkan bahwa individu dengan gangguan pendengaran lebih cenderung memiliki diagnosis demensia dan fungsi kognitif yang lebih buruk.

Oleh karenanya, dari penelitian diatas, perlu kita ketahui bahwa Gangguan pendengaran tentunya merupakan masalah yang besar bagi lansia. Seringkali Gangguan pendengaran tidak dianggap serius oleh masyarakat. Padahal dampak yang diberikan tentunya sangatlah mempengaruhi kualitas hidup pasien, khususnya dalam hal ini adalah pasien lansia. Tidak hanya mengganggu kualitas hidup pasien saja, namun orang disekitarnya tentu dapat terdampak. Apalagi, jika keluhan ini sudah sampai pada penurunan kognitif dari pasien. Tentunya dampak yang ditimbulkan jauh lebih besar. Lakukanlah, pemeriksaan telinga anda secara berkala, terutama sebelum anda memasuki usia lansia, mengingat prevalensi kasus ini meningkat seiring pertambahan usia.

Penulis: Nyilo Purnami

Artikel lengkapnya dapat dilihat pada link jurnal berikut ini:

http://medicopublication.com/index.php/ijphrd/article/view/2020

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).