Sebar Hazmat ke Puskesmas Sampai Donasi ke Tunanetra di Jombang

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Bersama Bu Sulikah, dhuafa yang diberikan “kelebihan” tunanetra. (Dok. Pribadi)

Sejak medio Maret, saya sudah pulang kampung ke rumah. Ya, saya masih ingat, saat itu tanggal 16 Maret 2020. Ada kebijakan dari perpustakaan kampus jikalau akan menutup akses layanan sampai akhir Maret. Kemudian, diikuti oleh kebijakan kampus yang lain seperti ujian online sampai belajar dari rumah hingga akhir semester. Alhasil, saya pun pulang kampung. Padahal, saya baru saja menyelesaikan sidang proposal periode Maret beserta revisinya.

Saya sempat bingung, bagaimana saya bisa menyelesaikan tugas akhir. Karena, selain dikejar waktu, kesulitan utama adalah sumber primer. Bagai mencari jarum dalam jerami, itu adalah peribahasa yang biasa digunakan para sejarawan akademis dalam menggambarkan bagaimana sulitnya menemukan arsip di lapangan yang tercerai-berai. Apalagi ditambah dengan adanya pandemi ini, jelas akan lebih sulit, karena saya tidak bisa lagi leluasa pergi mengurus administrasi perijinan dan duduk manis sambil membuka-buka arsip berbahasa Belanda di ruangan berdebu seperti biasanya.

Lalu, kapan saya bisa lulus? Saya sempat dua hari tidak melakukan apa-apa, hanya memikirkan hal ini. Tapi, di tengah kebingungan, saya pun menyadari, saya bukanlah satu-satunya orang yang paling terdampak oleh pandemi ini. Saya berusaha memegang erat prinsip “lebih baik menyalakan lilin daripada menghujat gelap” untuk memotivasi diri saya sendiri. Karena saya tahu, di luar sana masih banyak orang yang sedang kesulitan untuk tetap bertahan di tengah pandemi ini.

Akhirnya, di samping saya membantu pekerjaan bapak ngarit untuk sapi empat dan kambing tujuh ekor, saya pun berinisiatif bersama teman-teman komunitas, untuk bersama melawan Corona lewat Komunitas Aksi Muda Jombang dan Komunitas Njombangan.

Di akhir bulan Maret, saya bersama teman-teman Aksi Muda Jombang mengadakan rapat online tiap hari. Kami membahas tentang apa saja ide yang bisa kita salurkan, sampai tercetus ide bahwa kami akan galang dana online untuk membeli Alat Pelindung Diri (APD), yakni berupa baju hazmat untuk petugas medis di tingkat desa dan kecamatan.

Alasannya sederhana, karena mereka adalah orang pertama sebagai garda terdepan yang memantau status Orang Dalam Pemantauan (ODP) sebelum dibawa ke rumah sakit rujukan di RSUD Jombang. Dan mereka perlu APD hazmat untuk memproteksi diri dari penularan Covid-19.

Kami pun menggunakan berbagai cara kreatif ala anak muda untuk menggercarkan galang dana online sejak awal April. Kami mulai mengebom notifikasi di media sosial dengan tagline “hazmat for local heroes”. Kami juga bekerja sama dengan Suara Pendidikan Jombang untuk melakukan podcast, yang kebetulan saya sendiri yang nembung. Lewat cara pribadi saya juga mempromosikan penggalangan dana lewat media online seperti yang terbit di Jurnalpost.

Pada kamis, 16 April 2020, kami berhasil mengumpulkan donasi sebesar Rp. 6,8 juta. Kami pun menggunakannya untuk membeli hazmat sebanyak 102 buah. Dan Alhamdulillah, kami mendapat diskon besar-besaran dari harga pasaran, karena penjual konveksi tahu kami akan menggunakannya untuk keperluan donasi.

Pada Senin, 20 April 2020, kami membagi tujuh tim untuk menyebarkan hazmat ke 32 puskesmas di Kabupaten Jombang. Setiap puskesmas mendapat jatah 3 hazmat. Waktu itu, saya kebagian wilayah Jombang bagian Timur dan Selatan, yang antara lain Puskesmas Mojowarno, Japanan, Bareng, Wonosalam, Kesamben Ngoro, dan Cukir.


Saat memberikan hazmat kepada petugas medis di Puskesmas Mojowarno . (Dok. Pribadi)

Dari keenam puskesmas, yang berkesan adalah di Wonosalam. Alasannya, karena akses untuk sampai kesana sulit. Selain letaknya di pegunungan, jalannya juga berlubang dan bergeronjal. Di tengah alas, kami sempat kehujanan. Kami tidak membawa mantel, sampai-sampai saya harus memeluk erat hazmatnya. Sesampainya di sana, kami juga dibayari Bu Tik sewaktu makan siang di warung dekat puskesmas.

Selain puskesmas Wonosalam, saya juga mendapat hal berkesan di Kesamben Ngoro. Kali ini, dari Bu Ratih bilang jika saat ini di puskesmas hanya tersedia 2 hazmat saja. Petugas di sana juga harus membuat sendiri pelindung kepalanya. Sementara di Puskesmas Cukir, dari Bu Hartini dan Bu Maria bilang jika standar ketersediaan APD masih kurang. Lebih-lebih di Kecamatan Diwek sudah ada tiga kasus positif, yang salah satu di antaranya masih bayi berusia satu tahun.

Selepas membagikan hazmat, kami Aksi Muda Jombang juga masih membuka donasi. Kali ini tidak hanya untuk membeli hazmat, tapi juga membeli APD lain seperti penutup kepala, sarung tangan, masker, dan lainnya.

Bentuk promosi untuk galang dana pun kami buat lebih menarik, yakni dengan menggandeng orang berpengaruh dan berprestasi. Kami menamainya AMJ Talking, yakni bincang online seperti webinar. Tema yang kami angkat adalah tips trik lolos LPDP dengan pembicara Fakhri Aziz Awardee LPDP asal Jombang.

Selain berbagi hazmat, saya juga menyalurkan donasi lewat gerakan Njombangan Berbagi untuk lansia yang diiniasi oleh Komunitas Njombangan. Sebagai admin media sosial, saya biasanya hanya mem-posting berbagai kegiatan Njombangan.

Tapi setelah tahu jika program Njombangan Berbagi Batch 2 masih ada, saya mengusulkan Bu Sulikah, orang dhuafa yang berada di sekitar rumah saya, kebetulan beliau diberikan “kelebihan” tunanetra.

Saya memberanikan diri mengajukan izin ke Mbak Risa sebagai pengelola donasi untuk mengajukan sumbangan ke Bu Sulikah, dan Alhamdulillah Mbak Risa menyetujui. Sorenya, Sewaktu saya berkunjung ke rumah beliau, hati saya seakan tercecar kemana-mana, bahwa saya baru tahu kalau ibu dari Bu Sulikah yang merawatnya telah tiada. Tinggallah Bu Sulikah seorang diri untuk berjuang hidup di rumahnya sendiri.

Sewaktu mengasihkan donasi yang besarannya tak banyak, Rp. 150.000,-, air mata saya sedikit berlinang. Saya membayangkan menjadi Bu Sulikah yang setiap hari hanya melihat gelap, ditambah saat ini perekonomian sedang lesu akibat pandemi. Tapi dengan tabah, beliau mendoakan agar penyakit ajrih Covid-19 ini segera berakhir. Amin.

Begitulah cerita singkat saya selama menghadapi wabah ini. Entah menginspirasi atau tidak, saya tidak tahu. Yang bisa saya lakukan hanya berdo’a dan melakukan apa saja untuk membantu, salah satunya lewat komunitas dan menulis di media. (*)

Penulis: Fariz Ilham Rosyidi

*Naskah merupakan salah satu dari lima pemenang Kisah Inspiratif Mahasiswa UNAIR Melawan Corona

Berita Terkait

Fariz Ilham Rosyidi

Fariz Ilham Rosyidi

Penulis adalah mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, angkatan tahun 2016. Staf Advokasi IKAHIMSI Jawa Timur 2017, dan Staf Kajian Strategis HMD Ilmu Sejarah 2017.