Prof. Peter: Paham Marhaenisme Telah Diadopsi Kembali Oleh Joko Widodo

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Marhaenisme merupakan sebuah ideologi yang dikembangkan oleh Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno pada tahun 1926-1927. Soekarno terinspirasi untuk mengembangkan paham tersebut setelah bertemu dengan seorang petani miskin di Bandung yang bernama Mang Aen. Dengan penyesuaian bahasa sedikit menjadi Marhaen, namanya diabadikan menjadi ideologi yang berdiri pada sosialisme dan pemberdayaan ekonomi kolektif pada kaum kecil. Sekarang ini, Marhaenisme menjadi dasar ideologi organisasi mahasiswa GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia).

Sebagai sosok yang pernah berkecimpung di GMNI, Prof. Peter Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa Marhaenisme tidak sama dengan Marxisme. Pada dasarnya, esensi Marhaenisme adalah memberdayakan yang kecil tanpa membenci yang besar. Penjabarannya, kaum kecil dan miskin yang kesusahan untuk menghidupi dirinya harus diberdayakan dengan diberi privileges tertentu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tujuan agar tidak terjadi ketimpangan antara kaum atas dengan kaum bawah.

“Itu yang membedakan kaum Marhaen dengan kaum proletar. Menurut Bung Karno, proletar hanya menyumbangkan tenaganya untuk kelangsungan ekonomi kaum borjuis agar bisa bertahan hidup. Sementara kaum Marhaen, meski tidak kaya tapi mereka memiliki faktor produksi sendiri yang mampu menopang kebutuhan hidupnya,” ujar Guru Besar Fakultas Hukum UNAIR itu.

Prof. Peter menyatakan bahwa Marhaenisme tetap relevan di zaman sekarang walaupun paham tersebut telah asing didengar oleh banyak orang utamanya pemuda. Konsep ekonomi kerakyatan yang menjadi poin penting Marhaenisme telah diadopsi kembali oleh Joko Widodo, hanya diselaraskan oleh zaman menjadi ekonomi kreatif atau konsep UMKM.

Terakhir, ia menegaskan bahwa implementasi dari paham Marhaenisme begitu mudah dan dapat dilakukan oleh semua orang terutama pemuda. Marhaenisme bukanlah suatu paham utopis yang tidak mungkin diimplementasikan dan hanya berkutat pada teori saja.

“Anggap saja ada suatu organisasi yang isinya 30 orang. Kelompok itu mengisi kas setiap hari 1000 rupiah, kan tidak terasa. Setiap hari 30.000, seminggu bisa 210.000, setahun bisa 10 juta an. Bayangkan modal segitu pasti bisa mereka berikan untuk memberdayakan warga lokal untuk membuka usaha ternak lele yang pasti tidak mungkin dikelola sendiri, alhasil membuka lapangan pekerjaan baru,” tutupnya.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).