Hormon Kortisol dan Tingkat Keparahan Pasien Stroke Perdarahan Akut

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi pasien stroke. (Sumber: Lovesehat)

Jumlah pasien stroke yang semakin meningkat adalah salah satu isu menarik di dunia kedokteran. Salah satu jenis stroke yang sering ditemukan adalah perdarahan intraserebral (ICH). Menurut Fathima dkk., angka stroke adalah 70 persen stroke iskemik dan 30 persen adalah ICH. Kasus ini mendapatkan banyak perhatian, karena sering menimbulkan kecacatan dan kematian yang lebih tinggi. Dalam 2 tahun terakhir, jumlah kasus stroke perdarahan di RSUD Dr. Soetomo telah meningkat secara signifikan, dan menjadi perhatian khusus.

Selama 10 tahun terakhir, pengembangan pengetahuan mengenai ICH spontan (ICH) semakin mengalami kemajuan. Misalnya, teknik radiologi untuk mendiagnosis dan menganalisis ICH telah berkembang pesat. ICH terjadi ketika pembuluh darah di parenkim otak pecah. ICH juga dapat terjadi sebagai akibat dari komplikasi lesi sebelumnya, seperti kelainan pembuluh darah atau tumor, yang dikategorikan sebagai ICH sekunder.

Ketika ICH terjadi, pembuluh darah di parenkim otak pecah. Ini menyebabkan komplikasi akut dan memberi efek pada pasien stroke di mana kadar hormon kortisolnya meningkat. Kadar kortisol memberikan indikasi keparahan penyakit dan fase pemulihannya. Kortisol juga dapat disebut sebagai tanda prognostik jangka pendek angka kecacatan dan kematian pasca stroke. Hal yang bisa terjadi pada pasien stroke dengan kadar kortisol meningkat  dalam 7 hari setelah terjadinya stroke.

Mengacu pada Barugh dkk., peningkatan kortisol berhubungan dengan kecacatan dan kematian. Namun demikian, bukti ini dirasa masih kurang untuk serta-merta menarik kesimpulan bahwa kortisol berhubungan tingkat keparahan stroke. Salah satu alat ukur yang biasa digunakan untuk menilai tingkat keparahan stroke adalah National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS). NIHSS memiliki keunggulan dalam menilai defisit neurologis dibandingkan dengan alat pengukur lainnya. Dengan memahami hubungan antara peningkatan kadar hormon kortisol dan skor NIHSS pada pasien stroke akut di 7 hari pertama, pola penanganan penderita stroke bisa optimal.

Untuk memberikan kontribusi dalam bidang ini, sebuah studi observasi dilakukan oleh Wibawa dan Fauzi, (2018) dari Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Penelitian yang telah diterbitkan dalam Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical Research ini melaporkan sebuah penelitian observasional prospektif yang dilakukan terhadap pasien stroke yang dirawat di departemen bedah saraf RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada September 2016 hingga Maret 2017.

Proses evaluasi dimulai dengan hormon basal dalam 24 jam pertama dan diambil pada pukul 6:00, kemudian diulang pada hari ke 7 untuk pasien yang survive. Dari semua data yang diperoleh, data skala kategori dilaporkan dalam statistik distribusi frekuensinya, sedangkan data skala numerik dilaporkan sengan statistik nilai deskriptifnya (rata-rata dan standar deviasi).

Hasil studi observasi menunjukkan bahwa dari 17 pasien yang bertahan sampai hari ke-7, ada penurunan pada tingkat kortisol rata-rata pada hari pertama bila dibandingkan dengan tingkat kortisol rata-rata pada hari ke-7, dengan nilai rata-rata 39,67 – 36,57 dan demikian pula dengan tingkat kortisol tertinggi; menurun dari hari pertama 61,45 ke hari ke-7 sebesar 56,70.

Sementara itu, ditinjau dari skor NIHSS, penurunan skor hanya terjadi pada nilai rata-rata pada hari pertama dan ke-7 dari rata-rata 22,82 menjadi 21,41, sedangkan skor minimum dan maksimum tidak berubah. Menurut hasil tes ini, karakteristik level kortisol mendapat skor p<0,05; dengan demikian, ada perbedaan yang signifikan.

ICH adalah salah satu proses yang disebabkan oleh kelainan patologis yang sebelumnya dialami oleh seorang pasien stroke. Variabel tingkat kortisol pada hari 1, tingkat kortisol pada hari 7, skor NIHSS pada hari 1, NIHSS pada hari 7, dan mortalitas berkorelasi satu sama lain dengan berbagai persentase. Namun, jika diamati terhadap variabel level kortisol dan skor NIHSS berkorelasi dengan mortalitas, hanya skor NIHSS pada hari ke 7 dan angka mortalitasnya yang berkorelasi signifikan secara statistik.

Tingginya angka kematian dalam penelitian ini adalah karena tingginya kasus infeksi di RSUD Dr. Soetomo. Kematian semua pasien yang meninggal disebabkan oleh infeksi paru-paru dengan berbagai hasil kultur mikrobiologis. Pada akhirnya, dari hasil pengamatan yang sudah dilakukan pada pasien stroke yang dirawat di RSUD Dr. Soetomo, beberapa faktor lain juga harus diperhatikan terutama tingkat perawatan dan pendidikan bagi pasien dengan stroke. (*)

Penulis: Asra Al Fauzi

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://www.researchgate.net/publication/330317344_THE_RELATION_OF_STROKE_PATIENT’S_CORTISOL_LEVEL_TO_NATIONAL_INSTITUTES_OF_HEALTH_STROKE_SCALE_CORE_ON_SPONTANEOUS_INTRACEREBRAL_HEMORRHAGE_AN_OBSERVASIONAL_STUDY_AT_RUMAH_SAKIT_UMUM_DAERAH_REGIONAL_PU

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).