Kusta dan Reaksi Inflamasinya

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Liputan6.com

Kusta merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Prevalensi pasien baru kusta di Indonesia memang menurun seiring berjalannya waktu. Akan tetapi pasien kusta biasanya mengalami suatu episode inflamasi yang disebut reaksi kusta. Terdapat dua macam reaksi kusta yaitu reaksi tipe 1 dan reaksi tipe 2 (erythema nodosum leprosum). Perbedaan ini didasarkan pada jenis imunitas yang berperan. Apabila tidak ditangani dengan tepat maka reaksi ini akan membawa pada kecacatan.

Reaksi kusta tipe I disebabkan karena peningkatan respon imun seluler berupa reaksi hipersensitivita tipe lambat terhadap antigen Mycobacterium leprae di saraf dan kulit. Reaksi ini meruapakan akibat dari perubahan keseimbangan antara cell mediated immunity (CMI) dengan basil. Ketika reaksi kusta tipe 1 terjadi maka terdapat dua kemungkinan hasil akhir dari reaksi ini yaitu upgrading/reversal jika terjadi peningkatan respon CMI terhadap antigen Mycobacterium leprae sehingga mengarah ke bentuk klinis tuberkuloid atau downgrading jika terjadi penurunan respon CMI terhadap antigen sehingga mengarah pada bentuk klinis lepromatosa.

Pasien kusta tipe subpolar mempunyai imunitas yang tidak stabil sehingga sering mengalami reaksi tipe I yang berulang terutama tipe borderline borderline leprosy (BB) karena jumlah basil dan tingkat CMI relatif seimbang sehingga sangat mudah mengalami perubahan respon imun. Prevalensi reaksi kusta tipe 1 mencapai 8-33% dari keseluruhan pasien kusta. Pada pasien kusta multibasiler (MB) terutama tipe BB insidennya mencapai 70,9%. Reaksi kusta tipe 1 banyak dialami oleh laki-laki dan berusia 14 tahun ke atas.

Reaksi kusta tipe 1 akan memberikan gejala keradangan pada kulit atau saraf. Pada kulit akan menimbulkan kemerahan, bengkak, nyeri, dan panas. Pada kasus-kasus tertentu, demam mungkin akan dialami oleh pasien. Sedangkan pada saraf akan menimbulkan nyeri dan gangguan pada saraf. Oleh karena reaksi ini dapat melibatkan saraf maka reaksi ini mungkin akan menimbulkan kecacatan, seperti paralisis dan deformitas.

Suatu penelitian retrospektif yang dilakukan di Divisi Kusta Unit Rawat Jalan Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo selama Januari 2014 hingga Desember 2017 mendapatkan hasil bahwa reaksi tipe 1 terjadi pada 68 dari 516 pasien baru kusta (13,2%). Sebanyak 60,3% berjenis kelamin laki-laki dan 41,2% berusia antara 15-34 tahun. Pasien dengan reaksi tipe 1 paling banyak mengalami 1 gejala yaitu penebalan bercak merah lama (80,9%) dan tanpa gejala sistemik (42,6%) begitu juga tanpa gejala saraf tepi (70,6%). Reaksi ini umumnya terjadi saat dalam masa pemberian multi drug treatment (MDT) dan saat 6 bulan pertama pemberian MDT. Pasien yang telah didiagnosis mengalami reaksi kusta tipe 1 paling banyak diterapi menggunakan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) dan terkadang dikombinasikan dengan kortikosteroid.

Literatur menunjukkan bahwa 6-67% pasien kusta akan mengalami reaksi kusta tipe 1. Oleh sebab ini reaksi ini merupakan perjalanan alami dari penyakit kusta sehingga prevalensinya tidak jauh berbedan di seluruh dunia. Reaksi tipe 1 paling banyak didapatkan pada jenis MB (97%) terutama tipe BB (72,1%). Tingginya proporsi pasien baru kusta jenis MB disebabkan karena tipe ini memiliki gejala yang lebih nampak dibanding jenis pausibasiler (PB) atau dapat disebabkan karena pemberian MDT yang terlambat dan tidak teratur. Gejala khas yang paling sering muncul pada reaksi tipe 1 yaitu bercak merah lama yang menebal. Penebalan bercak merah lama merupakan tanda peningkatan CMI yang menunjukkan bahwa keradangan hanya terlokalisir pada kulit saja. Selain itu reaksi tipe 1 mungkin akan memberika gejala munculnya bercak baru, nodul, maupun gabungan antara ketiganya. Sedangkan gejala sistemik atau konstitusional seperti demam, malaise, dan nyeri sendi jarang didapatkan pada pasien reaksi tipe 1 karena peningkatan CMI menyebabkan gejalnya terbatas pada saraf dan kulit saja. Sebaliknya pada pasien reaksi tipe 2 sering disertai gejala sistemik seperti demam karena adanya peningkatan respon imun humoral. Mengenai gejala saraf tepi pada reaksi tipe 1 yang muncul biasanya hanya nyeri dan gangguan fungsi saraf karena terjadi penongkatan CMI bahkan terkadang muncul tanpa gejala.

Reaksi tipe 1 banyak muncul selama masa pengobatan MDT yang disebabkan karena adanya peningkatan CMI yang berlebihan untuk memakan fragmen kuman yang telah mati akibat pemberian MDT. Dengan gejala yang khas yaitu penebalan bercak merah lama. Jika terjadi reaksi tipe 1 maka akan diberikan OAINS untuk derajat ringan atau kortikosteroid untuk mencegah berjalannya inflamasi lebih lanjut pada saraf yang menimbulkan kecacatan.

Penulis: Prof. Dr. dr. Cita Rosita Sigit Prakoeswa, SpKK(K), FINS-DV, FAADV

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://e-journal.unair.ac.id/BIKK/article/view/12531

Judul jurnal: Studi Retrospektif: Reaksi Kusta Tipe 1

Ridha Ramadina Widiatma, Cita Rosita Sigit Prakoeswa

Department of Dermatology and Venereology, Faculty of Medicine, Universitas Airlangga / Dr. Soetomo General Hospital, Surabaya, Indonesiahttp://dx.doi.org/10.20473/bikk.V31.2.2019.144-149

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).