Orang Kaya dan Ketimpangan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh The Conversation
Ilustrasi oleh The Conversation

Pekan lalu, majalah Forbes kembali merilis 50 orang terkaya Indonesia. Budi dan Michael Hartono, pemilik pabrik rokok Djarum dan Bank BCA, tetap menjadi orang terkaya Indonesia dengan kekayaan USD 35 miliar (sekitar 507,5 triliun), disusul pemilik pabrik rokok Gudang Garam, Susilo Wonowidjojo (Rp 133 triliun), Eka Tjipta Widjaja (Rp 126 triliun), dan Sri Prakash, dan Antonie Salim.

Yang menarik, di tengah kondisi ekonomi global yang sedang memburuk, kekayaan mereka masih menunjukkan peningkatan signifikan. Jika tahun lalu kekayaan 50 orang terkaya Indonesia USD 126 miliar, tahun 2018 naik menjadi USD 129 miliar atau Rp 1.844,7 triliun. Ya, hampir sama dengan APBN kita tahun 2018 sebesar Rp 1.894,7 triliun, atau 13,5% dari Produk Domestik Bruto Rp 13.588 triliun.

***

Kekayaan 50 orang terkaya Indonesia yang dirilis Forbes tersebut menunjukkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia tahun 2018 cukup baik. Diperkirakan, tahun ini pertumbuhan ekonomi masih di sekitar 5%, yang artinya secara umum, transaksi ekonomi di seluruh negeri ini naik 5%.

Hal itu juga terlihat dari income per capita yang telah tumbuh mencapai Rp 51 juta per tahun. Angka ini mencerminkan bahwa secara umum kesejahteraan masyarakat juga meningkat signifikan. Dengan pendapatan per kapita mencapai Rp 50 juta, berarti rata-rata warga Indonesia berpendapatan di atas Rp 4,2 juta, lebih 10 kali lipat di atas  garis kemiskinan. Tahun 2018, garis kemiskinan adalah Rp 401 ribu per bulan atau Rp 4,81 juta per tahun.

Lantas, apakah itu berarti masyarakat kita sudah sejahtera? Sudah tak ada lagi yang miskin? Ternyata, kenyataannya sama sekali tidak. Jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2018 masih 9,8 persen atau 25,5 juta penduduk. Jumlah yang sangat besar. Ya, pertumbuhan ekonomi ternyata belum secara signifikan mengangkat ekonomi orang-orang kecil. Inilah yang disebut paradok ekonomi.

Mengapa terjadi paradok ekonomi? Penyebabnya adalah penguasaan ekonomi hanya oleh segelintir orang saja. Dus, pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati sedikit orang kaya saja.  Ini menyebabkan ketimpangan ekonomi yang cukup tajam, antara kaum the have dan the have not.

Saat ini, ketimpangan ekonomi Indonesia memang  sudah cukup parah. Hal itu terlihat dari  rasio gini yang telah mencapai 0,39. Bahkan di beberapa kota mencapai 0,43, yang berarti ketimpangannya sudah sangat dalam. Rasio gini adalah suatu angka bernilai 0 – 1, di mana 0 menunjukkan ketiadaan ketimpangan dan 1 menunjukkan ketimpangan sempurna.

Ketimpangan ekonomi tampak pada  penguasaan aset atau kekayaan. Oxfam Indonesia dan International NGO Forum on Indonesia (INFID) mencatat bahwa kekayaan empat orang terkaya Indonesia setara dengan kekayaan 100 juta orang termiskin.  Menurut survey mereka, satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Bahkan, 10 persen orang terkaya menguasai  75,7 persen kekayaan nasional. Kondisi ini membuat ketimpangan ekonomi Indonesia berada di urutan keenam terburuk di dunia, sebagaimana  dilaporkan dalam survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse pada Januari 2017.

Ketimpangan juga tampak pada penguasaan tanah. The Institut for Global Justice (IGJ) mencatat, 175 juta hektar atau sekitar 93 persen daratan dikuasai oleh pemodal swasta/asing (2015). Sebanyak  0,2 persen penduduk menguasai 56 persen lahan. Hal yang sama terungkap dari penelitian Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), yang mencatat bahwa 35 persen daratan Indonesia dikuasai oleh 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan batubara.

Apa sebenarnya penyebab ketimpangan ekonomi? Pertama, fundamentalisme pasar yang mendorong orang kaya meraup keuntungan besar dalam perekonomian.  Selama ini, pemerintah lebih banyak menyerahkan urusan ekonomi kepada pasar, dengan pandangan bahwa pasar memiliki kemampuan self regulating dan self  controlling. Nyatanya,  free competition dan market fundamentalism telah mendorong  pelaku pasar yang kuat untuk mendistorsi pasar sehingga memperoleh keuntungan yang besar.

Kedua,  orientasi pemerintah yang hanya pada pertumbuhan ekonomi. Padahal, trade off dari pertumbuhan adalah pemerataan. Orang-orang miskin berada pada sektor pertanian yang kontribusinya terhadap ekonomi (PDB) tidak terlalu besar (16%). Pemerintah lebih mementingkan sektor yang memiliki kontribusi besar pada pertumbuhan ekonomi, yaitu industri  dan perdagangan. Kebijakan ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati “kelas atas” saja,  sehingga justru membuat ketimpangan semakin lebar.

Ketiga, political capture yang kuat, di mana orang-orang kaya  mampu mempengaruhi kebijakan yang menguntungkan mereka. Ini terlihat dari banyak  terungkapnya KKN antara pengusaha, eksekutif, dan legislatif, seperti kasus e-KTP, UU Minerba, impor daging, dan sebagainya. Keempat, ketimpangan infrastruktur antara di kota dan desa yang menyebabkan high cost economy di pedesaan dan daerah terpencil. Kelima, sistem perpajakan yang tak mampu meredistribusi kekayaan.

Kelima hal tersebut harus menjadi perhatian pemerintah, sebelum ketimpangan semakin dalam. Jika terlambat, hal-hal buruk bisa terjadi, dan memulihkannya butuh dana dan waktu yang jauh lebih besar. Wallahu a’lam.

Berita Terkait

Imron Mawardi

Imron Mawardi

Dosen pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga