Menyoal Etika Jurnalisme Bencana dan Jurnalisme Mistis

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Kompasiana
Ilustrasi oleh Kompasiana.com

Peristiwa bencana gempa dan tsunami yang melanda masyarakat Palu pada tanggal 28 September 2018 lalu menyita banyak perhatian publik. Gempa berkekuatan 7,4 skala richter itu memberikan efek traumati dan kesedihan yang mendalam, mengingat banyaknya korban yang berjatuhan hingga meninggal. Peristiwa tersebut akhirnya menjadikan Humas BNPB Sutopo Purbo Nugroho mengeluarkan instruksi kepada empat walikota, yaitu Palu, Donggala, Sigi, dan Parigi Mautong, dalam menetapkan status tanggap darurat agar ada kemudahan akses dalam penanganan yang dilakukan secara cepat.

Menanggapi peristiwa tersebut, pemberitaan media di televisi menjadi seragam. Jurnalis menggali sisi penyebab bencana mulai dari tren peliputannya dengan mengejar sisi sensasi dan berspekulasi dari bencana. Bahkan, jurnalis melibatkan sosok kiai sebagai salah satu narasumber pemberitaan dalam melihat penyebab terjadinya gempa dan tsunami dari perspektif Islam. Jurnalis mengajak khalayak untuk mengingat adanya hari kiamat dan mencoba menelisik lebih dalam dengan membangun kesadaran psikologis khalayak atas banyaknya perbuatan dosa yang dilakukan.

Kekacauan juga terlihat ketika media menghidangkan sebuah berita tentang penyebab terjadinya sebuah bencana disebabkan adanya cerita mistis dengan mengangkat ritual Palu Namoni yang diselenggarakan oleh masyarakat semalam sebelum bencana itu terjadi. Media Suara.com dan Harianjogja.com mengabarkan bahwa ritual kepercayaan Palu Namoni yang dihidupkan kembali oleh pemerintah Wali Kota baru Sigit Purnomo Said atau biasa dikenal Pasha Ungu tersebut menjadi penyebab terjadinya gempa. Sontak pemberitaan itu pun mengundang perhatian dan amarah masyarakat Kota Palu dan masyarakat Indonesia. Masyarakat mengklaim bahwa bencana tersebut merupakan azab Allah akibat ritual musyrik yang diadakan oleh masyarakat Palu yang dulunya pernah hilang.

Menurut Mudar, sesaat sebelum acara Festival Palu Namoni berlangsung, dirinya merasakan ada pertanda buruk. Ia menyebut itu sebagai teguran, yang mana sesaat sebelum Palu Namoni itu digelar ada beberapa orang yang kerasukan roh halus, (sumber: suara.com). Pemberitaan ini tentu menuai kontroversi dari masyarakat mengingat masyarakat kita saat ini bersikap lebih aktif dan tidak lagi pasif dalam melihat suatu kejadian yang dihadirkan oleh media. Ketakutan dan religiusitas dalam menanggapi suatu isu tidak lain adalah salah satu bagian dari pemberitaan bencana yang dikaitkan dengan mistisme berlebihan dengan mengejar sisi sensasional dari peristiwa tersebut. Ritual ini dilakukan karena masyarakat suku Kaili masih menganut paham animisme dan dinamisme sehingga masih percaya pada kekuatan roh nenek moyang. Para korban bencanapun tampak sangat resah. Berbagai kepanikan khalayak dihadirkan dan pengungsi juga mempercayai gempa serta tsunami kemarin ada kaitannya dengan perhelatan Palu Namoni.

Komodifikasi dan Politisasi Bencana

Air mata, permainan camera zoom in dan zoom out dalam pemberitaan menjadi salah satu ciri khas dalam merepresentasikan bencana di media. Media menjadikan korban sebagai salah satu komoditas dengan sudut pandang “bad news is good news”. Semakin dramatis posisi korban, semakin pedih tangisannya, dan semakin banyak kematian dalam bencana alam, maka akan semakin tinggi rating yang diraup oleh perusahaan industri media. Iklan akan semakin banyak berdatangan dengan mengeksploitasi korban demi mengejar sebuah drama. Jurnalis kerap melakukan peliputan seperti itu bukan karena ketidaktahuan akan etika peliputan, namun karena kesengajaan dengan menggambarkan berita yang komperhensif dan berita yang dramatis untuk menarik perhatian pembaca. Hal ini juga bertujuan untuk menarik empati masyarakat dalam menyumbangkan sebagian materinya untuk korban Palu Donggala.

Rating menjadi sebuah kekuatan panglima dalam liputan media. Tak jarang jurnalis dalam melihat suatu isu bencana akan melihat dari sudut panjang yang seragam memperoleh keuntungan dalam meningkatkan tingkat pendapatan laba. Dalam hal ini tidak hanya keuntungan ekonomi yang diraup oleh industri media, melainkan kepentingan politik dan golongan juga berkaitan erat dengan praktik jurnalisme dalam sebuah pemberitaan. Seperti yang diberitakan oleh sindonews.com dengan memuat pemberitaan FPI (Front Pembela Islam) yang berbicara tentang gempa dan tsunami di Palu. Ketua umum FPI Ustad Sobri Lubis angkat bicara dengan mengatakan bencana yang terjadi Indonesia tidak lain adalah azab karena pemerintah tengah melakukan kriminalisasi terhadap ulama yang dapat membuat Allah murka. Bencana itu dikabarkan terjadi karena Sugi Nur Rahaja alias Gus Nur, seorang ulama dari Palu, ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik terhadap Banser dan GP Ansor. Ia juga mengimbau kepada pemerintah untuk menghentikan segala bentuk kriminalitas agar Indonesia terselamatkan dari segala bencana yang ada.

Banyak kepentingan dalam dapur media yang mengakibatkan bias. Media tidak pernah steril dalam melihat suatu fenomena. Akibatnya bias kepentingan selalu bermunculan di balik segala pemberitaan media yang ada. Dalam segala peliputan jurnalis, akan ada ketidakberimbangan media dalam menyajikan sebuah fakta dan opini. Banyak peristiwa yang luput oleh sorotan media. Pemberitaan akan tragedi bencana dan tsunami di Palu, terutama perihal drama mistis, menjadi isu yang laku di dalam pasar media industri. Para pekerja media mengikuti pola pikir masyarakat dengan banyak memarjinalkan dan menyampingkan persoalan lain yang luput dalam pemberitaan dan jauh dari kekuasaan.

Media banyak melupakan kaidah penulisan etika jurnalistik dalam mitigasi bencana, bahkan media hanya peduli pada efek sisi dramatis. Pemberitaan pasca bencana dan rehabilitasi korban nyaris tak diberitakan oleh media. Proses rekonstruksi dan rehabilitasi yang harusnya dihadirkan oleh media akan menentukan korban dalam proses bertahan hidup dan dapat mengantisapsi bencana berikutnya.

Hal ini juga tidak mendapatkan porsi perhatian dari masyarakat. Bahkan hak-hak yang seharusnya dipenuhi oleh korban bencana setelah beberapa bulan bencana terjadi, sangat sedikit media yang memberitakan dan memantau kondisi di Palu secara intens. Media lebih tertarik untuk memberitakan berita baru dan menyingkirkan berita lama dalam dapur redaksi.

Media massa dalam menyampaikan sumber informasi, tampaknya, dituntut untuk lebih bijak menyebarluaskan dan menggiring opini masyarakat dalam melihat berita-berita bencana yang ada di Indonesia. Tuntutan ini cukup bijak mengingat peran jurnalis secara kelembagaan senantiasa memprioritaskan masalah objektivitas, skeptivitas, dan rasionalitas menuju penghormatan atas pluralisme keyakinan yang ada di Indonesia. Tak hanya mengejar sisi sensasi untuk meraih keuntungan semata, pers juga diharapkan mampu menyinergikan idealisme dan bisnis media.

Menyoal Etika dan Idealisme Jurnalis

Usaha media meraup keuntungan agar tetap survive dilakukan oleh setiap media. Adanya penyuguhan berita yang aktual dan kecepatan berita yang disampaikan kepada khalayak menjadi prioritas utama wartawan dalam menanggapi sebuah fenomena atau isu yang terjadi di masyarakat. Tak heran kehadiran media baru menjadi suatu tantangan bagi industri media dalam menuntut jurnalis untuk terus menghasilkan tulisan 5–6 pemberitaan setiap harinya. Tuntutan keterpaksaan inilah yang membuat pers menempuh cara-cara peliputan yang kurang etis dalam menyajikan sebuah berita.

Sesuai dengan fungsi Pers yang tertuang dalam Undang-Undang No 40 tahun 1999 sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 3 ayat 1 dan 2 adalah pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, kontrol sosial, dan sebagai lembaga ekonomi. Pers harusnya dapat menyajikan berita informatif kepada khalayak dan memberikan pendidikan dalam melihat isu dunia yang sedang berkembang. Kemunculan polemik yang berada di tengah masyarakat menjadi salah satu tanggung jawab pers dalam memberitakan sebuah fenomena yang berlangsung. Sehingga pers juga dapat memberikan kontrol sosial yang ada di masyarakat.

Bencana mempunyai nilai berita yang cukup tinggi dikarenakan sulitnya prediksi waktu kapan bencana itu akan terjadi. Kehadiran jurnalisme bencana yang dikait-kaitkan dengan jurnalisme mistis menjadi berita yang penuh dengan sensasional dan tidak berimbang. Kepentingan ekonomi lebih didahulukan dari pada objektivitas suatu berita. Sehingga banyak ditemukan fakta di lapangan yang tidak sesuai dalam peliputan bencana.

Kritik terhadap sensasional pemberitaan tertentu tidak luput dari pengumpulan fakta dan interpretasi jurnalis dalam mendefinisikan sebuah peristiwa berdasar pemahaman yang dimiliki. Jurnalisme mistis lebih menarik dan lebih laku di pasar industri daripada sekadar menghadirkan kondisi lingkungan setelah terjadinya bencana tersebut. Jurnalis mengaburkan sisi informatif yang seharusnya masyarakat ketahui.

Berita Terkait

Khefti Al Mawalia

Khefti Al Mawalia