Antara Kuliah di UNAIR dan Taiwan, Apa Perbedaannya?

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi e-ntust.edu.tw

Salam dari Taiwan, Bumi Formosa, untuk segenap civitas akademika Universitas Airlangga (UNAIR).

Saat ini, saya berada di National Taiwan University of Science and Technology (NTUST), Taipei. Kampus yang masuk dalam kategori empat terbaik di negeri asal F4 ini. Dalam alam bawah sadar, predikat prestise itu mengingatkan saya pada UNAIR. Kampus yang tercatat di list empat terbaik se-Indonesia.

Pada Selasa, 16 Februari 2016, saya bersama Naili Saidatin (alumni Fisika UNAIR angkatan 2010), dan Dewi Sartika (alumni Fisika UNAIR angkatan 2009), bertolak ke Taiwan dari Bandara Internasional Juanda. Di masa yang sama, seorang alumni Teknobiomedik UNAIR angkatan 2011, Evelyne Calista, pun berangkat dengan penerbangan lain dari Jakarta.

Kami punya misi yang sama. Melanjutkan studi pasca sarjana. Saya sendiri adalah mahasiswa S2 jurusan biomedical engineering. Memang, cukup banyak alumni kampus Airlangga yang melanjutkan studi di NTUST. Misalnya, empat alumni Fisika angatan 2009. Yakni,  Ni’matut Tamimah, Septia Kholimatussa’diyah, Ilmi Masfufiah dan Bandiyah Sri Aprilia.

Teknis Perkuliahan Berbeda

Berbeda dengan di Indonesia, di sini mahasiswa bebas memilih mata kuliah. Dari jurusan mana pun dia berasal!

Para professor umumnya memberikan arahan kepada mahasiswa bimbingan tentang mata kuliah apa yang sebaiknya diambil untuk mendukung tugas akhir. Mahasiswa S2/S3 diperkenankan mengambil mata kuliah S1. Namun, yang bersangkutan dikenakan biaya per SKS. Nilainya tidak akan masuk perhitungan IPK.

Kebijakan itu dibuat untuk memfasilitasi mahasiswa yang memiliki background S1 berbeda dengan jurusannya saat ini. Sehingga, dia membutuhkan materi tertentu yang berkaitan dengan studinya.

Sementara itu, kegiatan penelitian di sini sangat aktif dan memiliki pola yang mapan. Khususnya, di bidang keluwesan pembiayaan. Pemerintah Taiwan memberikan dukungan dana penelitian cukup besar kepada kampus. Termasuk, dengan memberikan beasiswa kepada mahasiswa internasional untuk turut memajukan penelitian tersebut.

Ada berbagai macam beasiswa yang ditawarkan di Taiwan. Baik dari pemerintah, organisasi, maupun dari kampus. Saya adalah penerima beasiswa kampus, NTUST Scholarship. Untuk jenjang master, beasiswa diberikan selama dua tahun. Akan tetapi, nominal beasiswa pada tahun kedua bergantung dari prestasi akademik mahasiswa. Jika baik, akan mendapatkan nominal sesuai dengan yang diterima pada tahun pertama. Sedangkan bila prestasi akademik kurang baik, nominal beasiswa juga bisa berkurang dibandingkan pada tahun pertama. Aturan ini jelas membuat kami semakin giat dan serius dalam belajar.

Aktivitas di Taiwan

Taiwan termasuk wilayah subtropik dengan 4 musim. Saya tiba di sini pada penghujung winter. Suhunya antara 9-14 derajat celcius. Saya dan kawan-kawan dijemput oleh asosiasi mahasiswa Indonesia NTUST dengan mobil kampus. Mereka juga membantu kami untuk mengurus berkas pendaftaran ulang.

Kami tinggal di student dormitory. Di dorm 3 (khusus perempuan), satu kamar diisi lima bed untuk lima mahasiswa. Ada AC dan kamar mandi dalam. Masing-masing bed diberi fasilitas LAN. Selain fasilitas kamar, ada fasilitas umum yang lengkap. Yakni, water fountain, mesin cuci dan pengering, study room, lounge, loker, dan dapur.

Di sini, kartu mahasiswa adalah segalanya. Selain untuk akses masuk ke dormitory, kartu mahasiswa juga menjadi easy card. Easy card adalah kartu yang bisa diisi deposit untuk belanja, naik MRT dan bis, serta menggunakan sepeda umum You Bike.

Maka itu, pemandangan mahasiswa yang ke mana-mana berkalung kartu tersebut adalah sangat wajar. Ada diskon bagi pelajar yang menggunakan kartu mahasiswanya sebagai easy card untuk membayar MRT dan bis.

Perkuliahan semester ini dimulai pada 22 Februari 2016. Seminggu setelahnya, saya mulai melakukan aktivitas di laboratorium. Saya bergabung dengan Profesor Wei-Chun Hsu, fisioterapis Piala Dunia 1998, di Laboratorium Biomekanik. Saya belajar eksperimen tentang keseimbangan gerak pada pasien stroke bersama teman lab saya, mahasiswa lokal Taiwan.

Selain kegiatan akademik, saya juga mengikuti kegiatan non-akademik. Seperti, menjadi penjaga booth di Indonesian Culture Exhibition, dan bergabung dengan Badan Pelaksana Universitas Terbuka Taiwan.

Indonesian Culture Exhibition adalah even tahunan yang digelar mahasiswa Indonesia di NTUST. Budaya Indonesia mulai dari pakaian, makanan, lagu daerah, tarian, alat musik tradisional dan folklore ditampilkan di acara ini. Po-Yi Chiang, salah satu teman lab saya mengapresiasi acara ini. “Bagus, saya suka,” katanya.

Sementara itu, Badan Pelaksana UT Taiwan adalah badan yang dibentuk untuk membantu pelaksanaan proses pembelajaran jarak jauh, layanan luar negeri UT bagi para Buruh Migran Indonesia (BMI) di Taiwan. Dalam sebuah kesempatan berbincang dengan salah satu tutor, saya bertanya tentang bagaimana antusiasme para BMI dalam belajar. Tutor tersebut mengatakan mereka sangat antusias. Hanya, tutor perlu menggunakan bahasa yang sederhana dan memahami kondisi masing-masing mahasiswa. Sebab, mereka di sini bekerja dengan kondisi pekerjaan dan majikan yang bermacam-macam.

Gegar Budaya

Hal yang paling membuat gegar budaya adalah bahasa. Di sini, mayoritas warga lokal tidak mahir berbahasa Inggris. Bahkan, salah satu teman lab saya ada yang mengatakan tidak suka bahasa Inggris. Tetapi karena memiliki teman internasional, mau tidak mau dia harus berkomunikasi dengan bahasa Inggris.

Saya memiliki pengalaman menarik. Saat itu saya belum mendapatkan kunci kamar. Saya menanyakan kepada  penjaga dormitory dalam bahasa inggris, tetapi dia menjawab dalam bahasa Mandarin sambil memberi isyarat dengan mengacungkan satu jari telunjuknya. Saya kira saya harus membayar 100 NT untuk mengambil kunci saya.

Saya pun menyodorkan uang 100 NT. Tetapi, ditolak dan dia memberi isyarat tidak dengan menyilang-nyilangkan kedua tangannya. Untung ada teman yang lewat, dan dia mengerti Mandarin. Ternyata, kuncinya belum ada dan saya diminta datang lagi jam 1.

Hal kedua adalah makanan. Mencari makanan halal tentu sukar. Namun, Alhamdulillah, di kampus ada kantin mediteran, kantin vegetarian dan kantin halal yang bisa diandalkan. Meskipun, semua kantin di kampus hanya buka pada jam makan siang (pukul 11.00 – 13:00) dan makan malam (17:00 – 19:00).

Gegar budaya yang lain pada penggunaan lajur kanan saat berkendara maupun berjalan. Namun yang menyenangkan, akses transportasi massal di sini sangat mudah. Mass Rapid Transportation (MRT) ada setiap saat, begitu pula bis. Selain itu, jika tidak punya sepeda dan ingin bersepeda, bisa memanfaatkan You Bike.

Yang lebih menyenangkan lagi, banyak tempat-tempat wisata yang bisa dikunjungi dengan tiket masuk sangat murah sampai gratis. Satu bulan di sini, saya sudah mengunjungi beberapa tempat. Diantaranya, Museum Nasional Taiwan, Museum Dinosaurus, dan Chiang Kai Shek Memorial Hall. (*)

Berita Terkait

Achmad Chasina Aula

Achmad Chasina Aula

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi