Passing Grade Bukan Segalanya

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Materi Kelas Com
Ilustrasi oleh Materi Kelas.com

Setiap tahunnya euphoria pendaftaran peserta didik baru selalu menyita perhatian banyak pihak. Baik oleh para peserta pendaftar maupun panitia seleksi, terutama di tingkat perguruan tinggi. Jalur pendaftarannya pun didesain beraneka ragam demi mengakomodir kemampuan atau skill calon mahasiswa yang juga beraneka ragam. Semua dilakukan sebagai upaya panitia seleksi untuk menjaring calon mahasiswa yang paling berprestasi. Dari pihak calon mahasiswa juga tak kalah strategi, setiap siswa berlomba-lomba masuk di universitas ter hits dengan jurusan ter hits pula. Dimana, biasanya, secara otomatis akan memiliki tingkat passing grade yang cukup tinggi.

Sebagai contoh, dilansir dari laman resmi sbmptn.ac.id, jurusan FK UI pada tahun 2017 memiliki passing grade sebesar 3,12. Dibandingkan FK Universitas Syiah Kuala yaitu sebesar 2,38 pada tahun yang sama. Suatu nilai atau anggapan “hits” memang telah mengakar sejak dahulu kala. Lembaga-lembaga perankingan juga ramai dibuka pada masa-masa itu untuk menggiring penilaian calon peserta didik terhadap pilihan universitas-universitas yang ada. Tidak salah memang jika semangat berlomba-lomba tersebut semakin memacu siswa untuk berprestasi. Namun, yeng menjadi masalah justru hal ini dijadikan sebagai ajang adu gengsi semata.

Bagi sebagian siswa yang memiliki prestasi di atas rata-rata, tingkat keberanian untuk memilih jurusan yang “hits” lebih tinggi dibandingkan mereka yang biasa-biasa saja atau bahkan menengah ke bawah. Segala probabilitas dipertimbangkan dalam memilih jurusan. Ada yang bersikukuh dengan idealismenya dengan hanya memilih jurusan yang sesuai dengan kemampuannya. Namun ada juga yang hanya berdasar pada pemikiran “yang penting kuliah”. Pola pikir yang terakhir tersebut agaknya perlu sedikit perhatian khusus bagi para orang tua, guru BK, maupun siswa yang bersangkutan itu sendiri. Tidak munafik jika mindset itu wajar adanya karena memang di negara kita saat ini, selembar ijazah masih menjadi tolak ukur utama dan hal yang hampir bersifat mutlak diperlukan jika ingin bekerja di perusahaan-perusahaan atau instansi negera.

Poin yang perlu diperhatikan disini adalah seberapa mampu individu tersebut bertahan dalam menjalani jurusan yang “terpaksa” dipilih tersebut. Survive disini tidak hanya saat individu menjalani perkuliahan. Namun, juga nantinya saat individu tersebut telah lulus dan menjalani profesinya. Sebagai contoh, siswa yang memiliki prestasi akademik “pas-pasan” sebenarnya berkeinginan untuk menjadi dokter, namun karena keterbatasan itu, terpaksa memasukkan pilihan terakhirnya untuk menjadi guru yang notabene memiliki passing grade yang lebih rendah. Sehingga probabilitas diterima cukup tinggi.

Dalam permisalan di atas, seseorang bisa survive selama perkuliahan sehingga lulus tepat waktu. Namun masalah akan muncul saat indivitu itu telah menjadi guru dan tidak bisa optimal dalam berbagi ilmu karena niatnya yang setengah hati atau dengan kata lain “nggak ada feelnya”. Padahal peran guru sangat penting demi kemajuan generasi bangsa. Apa jadinya jika sebagian besar guru memiliki kondisi yang demikian? Dampaknya tentu akan sangat meluas dan kompleks.

Belum lagi, ditambah adanya praktik sogok menyogok yang marak dilakukan oleh orang tua yang menginginkan anaknya kuliah di jurusan tertentu yang dianggap memiliki prospek karir yang bagus. Mungkin, siswa tersebut lolos dan diterima di jurusan yang diharapkan, namun apakah nantinya individu itu mampu menjalani proses perkuliahan dengan segala tugas dan ujian yang harus dilalui? Apakah  mampu lulus dengan baik? Mungkinkah  justru mengalami depresi? Hal-hal tersebut sebaiknya dipertimbangkan secara matang baik oleh siswa yang bersangkutan, orang tua, maupun guru BK.

Pada dasarnya passing grade bukanlah segalanya. Beberapa jurusan telah ditetapkan  masuk standar nasional, salah satu contohnya adalah PERMENRISTEK No. 18 Tahun 2015 yang mengatur Tata Cara Pelaksanaan Ujian Kompetensi Dokter atau Dokter Gigi. Dengan adanya aturan tersebut, lulusan dokter dari Universitas Indonesia maupun dari Universitas Syiah Kuala akan diangap memiliki latar belakang pendidikan yang setara. Perbedaan kemampuan masing-masing individu dokter dilihat dari hasil ujian tersebut. Jadi selow saja. Justru yang menjadi tantangan disini adalah perbedaan kelengkapan fasilitas dan juga atmosfer proses perkuliahan yang boleh jadi berdampak pada kualitas lulusan. Meskipun demikian, keberhasilan ditentukan oleh diri sendiri, dimanapun berada, kalau serius, maka pasti akan mampu survive. Toh dengan semakin majunya teknologi, informasi bisa diakses dimana saja, semua orang berhak berpartisipasi atas kemajuan peradaban. Tinggal bagaimana setiap individu mampu berkembang dengan memanfaatkan kondisi disekitarnya.

Jadi, yang penting harus tahu dulu maunya apa, bisanya apa, dan sukanya apa. Ringkasnya, mencari tahu apa yang sekiranya mampu dan baik untuk diperjuangkan. Walaupun tidak dapat dipungkiri pertimbangan prospek kerja juga ikut dipikirkan. Tapi, bukankah tidak sedikit juga contoh tokoh publik yang kerjanya tidak linier dengan latar belakang pendidikannya. Ya itulah realitas, banyak probabilitas. Intinya, kampus memisahkan mahasiswa berdasarkan almamater, profesi memisahkan manusia berdasarkan perannya. Masalah kualitas, diri sendiri yang menentukan. Selamat berporses !

Berita Terkait

Winda Kusuma Dewi

Winda Kusuma Dewi

Mahasiswa Kedokteran Hewan PSDKU Universitas Airlangga Banyuwangi Wakil Ketua BSO Garuda Sakti PSDKU Universitas Airlangga Banyuwangi 2018 Standing Committee of Veterinary Education (SCoVE) Ambassador at International Veterinary Student Association (IVSA) 2018