Harga Daging Sapi Meningkat, Ekonom UNAIR Paparkan Tiga Penyebab Utamanya

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Sumber: The Conversation

UNAIR NEWS – Hingga Maret 2022, harga daging sapi masih mengalami kenaikan. Kenaikan harga daging sapi sudah terjadi sejak akhir tahun 2021 dan mengalami kenaikan cukup drastis di awal tahun 2022. Kenaikan tersebut dipengaruhi oleh kondisi permintaan (supply) daging sapi yang berkurang dan penawaran (demand) yang meningkat.

Ekonom Universitas Airlangga (UNAIR) Rossanto Dwi Handoyo SE MSi PhD menerangkan bahwa dari segi supply, pasokan sapi di Indonesia selama ini berasal dari sapi impor hidup bakalan. Dari sisi supply dalam negeri, stok daging sapi sekitar 473.000 ton, sementara kebutuhan daging sapi 696.000 ton hampir 700.000 ton.

“Sehingga ada kekurangan pasokan daging sapi domestik sekitar 250.000 ton. Kekurangan tersebut kemudian dipenuhi dari impor,” tuturnya.

Kebijakan Australia

Selama ini untuk impor sapi hidup bakalan, Indonesia mengimpor sapi dari Australia. Sejak tahun 2022, pemerintah Australia mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi ekspor sapi hidup bakalan dari 80 persen turun menjadi 44 persen.

“Dengan kebijakan tersebut, Australia akan mengurangi ekspor ke luar negeri, sehingga pasokan kebutuhan daging sapi domestik Indonesia akan berkurang pula,” paparnya.

Pasokan daging sapi berkurang karena selama ini Indonesia hanya mengimpor sapi bakalan dari Australia. “Dari segi kebutuhan dalam negeri dan konsumsi daging dalam negeri, juga mengalami kenaikan,” tuturnya.

Kebijakan ekspor tersebut juga menyebabkan harga sapi hidup bakalan dari Australia meningkat. Pada tahun 2020 sekitar $2,8 atau Rp.39.000 per kg sapi berat hidup. Kemudian pada tahun 2021, ada kenaikan sekitar $3,78 dollar atau sekitar Rp.52.000 per kg berat sapi hidup.

“Kenaikan impor sapi bakalan sekitar 30 persen ini juga akan mendorong kenaikan harga sapi dan menyebabkan biaya produksi ikut meningkat,” jelasnya.

Konsumsi Meningkat

Konsumsi daging dalam negeri meningkat dari 2,3 kg per kapita menjadi 2,5 kg per kapita. Dalam kondisi supply yang berkurang dan demand yang meningkat, otomatis akan berpengaruh kepada harga daging sapi.

Selama ini masyarakat Indonesia mengonsumsi daging sapi yang hidup, bukan frozen meat atau daging beku. “Kebutuhan daging sapi segar di Indonesia sekitar 85 persen, sedangkan 15 persen sisanya adalah frozen meat,” tambahnya.

Rantai Distribusi yang Panjang

Selain faktor-faktor di atas, ada tambahan biaya terkait dengan rantai distribusi penjualan daging sapi domestik. “Rantai distribusi daging sapi di Indonesia sangat panjang yang juga membuat harga daging sapi bertambah mahal,” jelasnya.

Rossanto menjelaskan, rantai distribusi daging sapi d Indonesia sangat panjang, mulai dari peternak hingga berakhir di tangan konsumen. Peternak menjual sapi hidup kepada pedagang grosir berskala besar (pengepul). Kemudian pengepul menyerahkan kepada RPH (rumah potong hewan).

“Setelah proses pemotongan hewan di RPH, daging sapi didistribusikan kepada pedagang grosir berskala kecil lalu ke konsumen,” imbuhnya.

Rantai distribusi yang panjang juga membuat rantai ekonomi meningkat. Setiap rantai distribusi pastinya akan mengambil keuntungan. Lima rantai distribusi tersebut akan mendorong kenaikan harga daging sapi. (*)

Penulis : Sandi Prabowo

Editor  : Binti Q. Masruroh

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp