Pakar Ekonom UNAIR Perkirakan Shifting BBM Butuh Waktu 2 Tahun

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Sumber: Sindonews

UNAIR NEWS – Kondisi bumi semakin hari kian mengkhawatirkan. Bahan Bakar Minyak (BBM) yang memiliki research octane number (RON) rendah, disinyalir menjadi salah satu penyebab dari rentetan pencemaran lingkungan yang terjadi di bumi pertiwi.

Pemerintah Indonesia dikabarkan akan melakukan transisi perpindahan energi (shifting energy) ke BBM dengan RON di atas 91 yang lebih ramah lingkungan. BBM Premium (RON 88) akan digantikan dengan BBM Pertalite (RON 90), kemudian BBM Pertalite secara bertahap akan dihapus. Sehingga nantinya hanya akan ada BBM Pertamax (RON 91/92) dan BBM Pertamax Turbo (RON 95).

Sepakat dengan rencana pemerintah tersebut, Pakar Ekonom UNAIR Gigih Prihatono, S.E., M.S.E. menuturkan bahwa Indonesia saat ini memang memerlukan energi yang lebih ramah lingkungan. Ancaman terhadap perubahan iklim sudah cukup nyata di depan mata.

“Menurut perkiraan saya, Indonesia membutuhkan waktu sekitar dua tahun untuk benar-benar shifting pertalite,” ungkapnya.

Kendati demikian, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah. Saat ini Indonesia sedang mengalami proses pemulihan (recovery) dari pandemi Covid-19 yang menyebabkan daya beli masyarakat di level bawah menjadi turun.

Salah satu komponen hajat hidup orang banyak adalah terkait dengan BBM. Sehingga ketika peraturan tersebut diterapkan tanpa melihat proses recovery yang sedang berjalan, ditakutkan dapat mengurangi atau membebani masyarakat paling miskin.

“Menurut saya, jika shifting premium ke pertalite ini dibuat secara bertahap, tidak akan menjadi terlalu banyak masalah bagi perekonomian masyarakat Indonesia,” tuturnya.

Mitigasi Risiko Rencana Shifting BBM Premium dan Pertalite

Gigih mengungkapkan bahwa mitigasi risiko paling umum terkait rencana kebijakan tersebut adalah terkait dengan beban masyarakat kecil yang semakin tinggi. Pemerintah harus memberikan perlindungan terkait hal tersebut dengan beberapa program sosial seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Program Keluarga Harapan (PKH) untuk meredam dampak negatif yang timbul jika terjadi shifting BBM.

“Kemudian jika shifting diterapkan di masyarakat kota, dikhawatirkan dalam jangka pendek akan memicu timbulnya inflasi,” ujarnya.

Pasalnya, saat ini biaya BBM adalah salah satu komponen besar di dalam komponen bisnis suatu perusahaan terutama di sektor transportasi dan logistik. Lonjakan Inflasi tersebut harus dimitigasi sejak awal oleh pemerintah. Tujuannya agar tren inflasi yang cukup stabil di level tiga persen bisa tetap berlanjut ke depan.

Dalam jangka panjang, kemungkinan besar yang akan terkena dampak adalah masyarakat. Transportasi publik di kota besar harus dipercepat dari segi kuantitas dan kualitas. Dengan begitu, masyarakat bisa memiliki pilihan untuk memakai kendaraan sendiri dengan biaya lebih mahal atau memilih menggunakan kendaraan umum.

“Untuk kota-kota besar yang ada Indonesia, distribusi BBM relatif lancar. Namun tidak dengan distribusi BBM di kota kota kecil sehingga memerlukan perhatian lebih,” ungkapnya.

Menurut Gigih, shifting energi diharapkan tidak hanya berlaku untuk transportasi umum saja. Tetapi juga untuk alat lain yang memiliki emisi yang besar. Jika tujuan shifting untuk dekarbonisasi, kendaran usia tua atau yang memiliki emisi di ambang batas, perlu ada aturan agar alat-alat tersebut tidak boleh ada di jalan.

“Sumber emisi mereka jauh mengotori.daripada teknologi mesin yang saat ini. Karena mesin sudah tua, dari segi kecepatan juga akan mengganggu lalu lintas di jalan,” pungkasnya. (*)

Penulis : Sandi Prabowo

Editor  :  Binti Q. Masruroh

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp