Apa Makna di Belakang Angka?

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Sahabat saya satu angkatan di SMA 2 Surabaya (angkatan 1970) Dr. M. Suyunus SE, MAFIS, Ak (titelnya harus ditambah M.A alias Madura Asli) yang sekarang menjadi dosen FEB UNAIR menelpon saya ketika saya berada di jalan. Moeky – begitu panggilan akrabnya meminta konfirmasi pendapat saya tentang pembangunan ekonomi itu kadang-kadang meninggalkan aspek lingkungan hidup. Kami berdiskusi singkat tentang pembangunan ekonomi itu dalam narasi kebijakannya selalu mengikutsertakan aspek lingkungan hidup, bahkan ada kementrian yang ditunjuk untuk mengelola lingkungan hidup di negeri ini.

Saya tertarik dengan isu yang dilontarkan saahabat saya ini karena latar belakang dia adalah akuntan yang setiap hari berkutat dengan angka-angka, membicarakan masalah lingkungan hidup yang sangat strategis, namun sering diabaikan. Dia ingin setiap mengajar mahasiswanya berfikir lebih jauh ketika membahas masalah-masalah akutansi, yaitu kaitannya dengan isu-isu lainnya. Artinya, dia ingin mengajarkan mahasiswanya “what is behind the figure” apa makna yang terkandung di belakang angka-angka akutansi itu.

Saya bukanlah “an accountant by training” karena saya belajar jurusan Ilmu Ekonomi Umum (sekarang jurusan Studi Pembangunan) di FE UNAIR tahun 1973, namun saya memiliki pengalaman ‘bergaul’ dengan ilmu akuntansi ketika pernah bekerja di dua bank internasional milik Jepang dan Belanda. Pada saat membahas permintaan kredit dari nasabah besar, para officer bank-bank ini melakukan analisa mendalam tentang barbagai hal nasabah yang bersangkutan misalnya soal kapasitas mesin perusahaan, detail produk yang dijual, keperluan akan ‘working capital’, kapasitas dan reputasi para direktur dan pemilik perusahaan, tujuan permintaan nasabah fasilitas Letter of Credit atau LC dsb, juga menganalisa laporan keuangan atau financial report perusahaan nasabah.

Dalam membahas kualitas asset yang dimiliki perusahaan milik nasabah yang akan dijadikan collateral atau jaminan, misalnya tanah, maka pihak bank tidak hanya menganalisa tentang dokumen kepemilikan (ownership),  kapan dibeli, nilai tanah, dsb, namun juga dibahas tentang apakah tanah tersebut tidak terkena dampak pencemaran lingkungan hidup. Karena pernah terjadi tanah milik investor nilainya jatuh karena setelah beberapa tahun diketahui bahwa tanahnya itu terkena pencemaran limbah kimia. Hal ini tentu menyulitkan pihak perbankan manakala menerima jaminan pemberian kredit berupa tanah yang tercemar itu. Intinya dalam cerita nyata ini adalah para akuntan di bank-bank internasional itu membahas aspek lingkungan dalam membahas besaran angka fixed asset (aset tetap) di neraca atau balance sheet di laporan keuangan milik perusahaan. Hal ini seperti yang diajarkan oleh sahabat saya Pak Moeky ini tentang “apa makna yang terkandung di belakang angka-angka neraca”.

Saya percaya bahwa semua dosen akutansi dalam mengajar para mahasiswanya juga melakukan hal yang sama, yaitu menjelaskan makna yang terkandung di belakang angka-angka. Hal ini berarti bahwa membahas laporan keuangan tidak hanya berpaku pada masalah-masalah rentabalitas, likuiditas, atau rasio-rasio keuangan saja, namun juga membahas masalah lingkungan hidup, pertumbuhan ekonomi, inflasi, stabilitas perekonomian, dsb.

Kalau concern-nya Pak Moeky ini diterapkan di dunia politik atau transparansi informasi publik, maka rakyat bisa melihat dan menganalisa makna di belakang keputusan politik tentang besaran alokasi dana pembangunan di bidang lingkungan hidup suatu propinsi/kabupaten/kota dibandingkan dengan alokasi dana untuk pembelian ‘baju’ pejabat daerah. (*)

Berita Terkait

Ahmad Cholis Hamzah

Ahmad Cholis Hamzah

Contributor of Media UNAIR, Alumni of Faculty of Economics Airlangga University’73 and University of London, UK.