Meninjau Kembali Makna Kemerdekaan Kita

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh manado.tribunnews.com

Sebentar lagi bangsa ini akan merayakan hari kemerdekaan yang ke-76. Sebuah usia kemerdekaan yang terbilang matang dan karena itu perlu melakukan refleksi terhadapnya, sebagai upaya mengumpulkan energi baru dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik ke depannya. Harus jujur diakui bahwa negeri ini masih mengalami defisit dalam banyak hal. Mulai dari defisit penegakkan hukum dan moral sampai kepada defisit penghormatan nilai-nilai demokrasi.

Ancaman dari Dalam

Kasus korupsi yang terus meruyak adalah salah satu akibat dari penegakkan hukum yang lemah. Koruptor yang telah merugikan uang negara dalam jumlah yang sangat besar tak mendapat hukuman yang setimpal dengan kejahatan yang telah dibuatnya. Vonis terhadap Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo (5 tahun), Jaksa Pinangki (4 tahun), Djoko Tjandra (3,5 tahun), dan tuntutan terhadap Mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara (11 tahun) adalah beberapa contoh lemahnya penegakkan hukum itu.

Secara khusus, korupsi dana bantuan sosial untuk orang-orang miskin yang dilakukan saat masa krisis pandemi covid-19, adalah sebuah kasus yang jelas menggambarkan defisit moral di negeri ini. Empati dan solidaritas terhadap penderitaan sesama telah menjadi kebajikan yang begitu mahal untuk dilakukan.

Pada tataran praktik demokrasi, politik dinasti dan politik uang semakin menjadi-jadi. Politik dinasti telah mengesampingkan aspek kompetensi yang seharusnya menjadi basis utama dalam penyelenggaraan politik karena tujuannya adalah kesejahteraan bersama. Politik uang telah menghadirkan fenomena baru yaitu pemilih adalah raja. Suatu fenomena yang menggerus aspek voluntarisme dalam diri masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan yang memang menyangkut kehidupan mereka sendiri.     

Defisit-defisit itu adalah ancaman dari dalam di mana kita sendiri yang membuatnya. Akibatnya jelas, makna kemerdekaan yakni kehidupan berbangsa dan bernegara yang makmur, maju, dan adil kian jauh dari impian.   

Berbagai defisit itu menunjukkan bahwa sekalipun kita telah merdeka dari penjajahan bangsa asing, kita sesungguhnya sedang terbelenggu dalam penjajahan karena ulah sendiri. Ibarat sebuah lingkaran, kemerdekaan kita berisi titik-titik yang terputus sehingga belum menjadi suatu bulatan yang utuh.

Sebab, kemerdekaan sejati bukan hanya soal ketiadaan penjajahan fisik dari bangsa asing yang sering kali ditandai oleh senjata-senjata yang membayangi kehidupan masyarakat dalam suatu bangsa. Lebih dari itu, ketiadaan penjajahan fisik itu harus berbareng dengan kondisi kehidupan yang bahagia, makmur, maju, dan adil dari setiap warga negara. Kemerdekaan sejati yang bermakna kemerdekan fisik (lahir) dan sekaligus kemerdekaan batin itulah yang menjadi tujuan berbangsa dan bernegara yang diletakkan para pendiri bangsa ketika membentuk Indonesia.

Upaya perbaikan

Upaya memperbaiki defisit dalam berbagai dimensi di atas harus dilakukan secara serius dan segera jika negeri ini berikhtiar mencapai kemerdekaan sejati itu. Upaya meminimalisasi politik dinasti mengharuskan komitmen partai politik untuk kembali dengan sungguh menjalankan fungsi kaderisasi. Yaitu peran partai dalam merekrut, mendidik dan menyaring kader partai yang kompeten untuk menjadi elite politik.

Terkait politik uang, tanggung jawab elite politik untuk sungguh bekerja bagi kesejahteraan rakyat adalah salah satu langkah untuk meminimalisasi itu. Dan mungkin di sinilah akar permasalahannya. Dalam tingkat tertentu, adalah rasional apabila rakyat menjadi apatis dan tunggu dibayar baru berpartisipasi dalam pemilu ketika mereka acap kali melihat bahwa elite politik yang telah dipilih justru tidak bekerja untuk perbaikan hidup mereka.

Selanjutnya, kasus korupsi menjadi sangat krusial karena ia menyangkut dua aspek sekaligus yaitu sistem penegakan hukum dan moral. Pembenahan sistem hukum yaitu pemberian sanksi yang tegas terhadap koruptor adalah langkah penting untuk mengatasi persoalan korupsi yang telah begitu masif di negeri ini. Sebab, hukum atau peraturan sebagai sarana kontrol sosial berisi norma dan sanksi yang keduanya secara esensial harus berjalan secara bersamaan. Sebagus apapun norma hukum di atas kertas tetapi jika tanpa pelaksanaan sanksi yang tegas akan membuatnya tidak efektif. Aturan tanpa sanksi bagaikan tubuh tanpa jiwa karena sanksi itu tak lain adalah roh yang memberi hidup bagi aturan-aturan itu sehingga mendorong masyarakat untuk mematuhinya. Maka, penerapan sanksi yang tegas terhadap pelanggar hukum adalah sarana untuk mengurangi potensi masyarakat dalam melanggar hukum.

Selain pembenahan sistem hukum, perbaikan dalam aspek moral juga harus mendapat perhatian serius. Pendidikan karakter dalam berbagai jenjang pendidikan ditujukan agar para peserta didik memiliki kualitas kebajikan seperti empati, altruisme, dan solidaritas. Ketiga kebajikan itu menjadi signifikan karena kasus korupsi dana bantuan sosial memberi peringatan kepada kita tentang defisit moral yang sungguh bersinggungan dengan tiga kebajikan itu.

Soal pendidikan karakter ini, manajemen pemerintahan Presiden Jokowi memberi sinyal yang tak begitu menjanjikan bagi perjalanan bangsa ini ke depannya. Fokus berlebihan pada pembangunan infrastruktur selama ini telah mengabaikan program Revolusi Mental yang dulunya menjadi visi besar dalam kampanye Capres Jokowi tahun 2014. Kabar baiknya, masih ada waktu bagi pemerintahan sekarang untuk kembali memberikan perhatian serius terhadap pendidikan karakter. Apabila tidak, bangsa ini membebankan tugas berat kepada pemerintahan di waktu mendatang untuk mulai kembali dari awal perihal perhatian secara maksimal terhadap pendidikan karakter itu. Lebih dari itu, apabila tidak, cita-cita kemerdekaan sejati yang bermakna kemerdekaan fisik (lahir) dan sekaligus kemerdekaan batin itu tak lain daripada peribahasa “jauh panggang dari api.”

Penulis: Ransis Raenputra, Mahasiswa FISIP Universitas Airlangga

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp