Hemoptisis pada Pasien Aspergilloma

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Dreamstime

Aspergilllus merupakan jamur yang umum ditemukan pada materi organik. Meskipun terdapat lebih dari 100 spesies, jenis yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia ialah Aspergilllus fumigatus dan Aspergilllus  niger,  kadang-kadang  bisa  juga  akibat Aspergilllus   flavus   dan   Aspergilllus   clavatus   yang semuanya menular dengan transmisi inhalasi.

Umumnya Aspergilllus akan menginfeksi paru-paru, yang menyebabkan empat sindrom penyakit, yakni Allergic Bronchopulmonary Aspergilllus (ABPA), Chronic Necrotizing Pneumonia Aspergilllus  (CNPA),  Aspergilloma, dan Aspergilllus Invasif.

Aspergilloma merupakan fungus ball (misetoma) yang  terjadi  karena  terdapat  kavitas  di  parenkim akibat penyakit paru sebelumnya. Penyakit yang mendasarinya bisa  berupa TB  (paling  sering)  atau  proses  infeksi dengan  nekrosis,  sarkoidosis,  fibrosis  kistik,  dan  bula emfisema. Fungus ball ini  dapat  bergerak  di  dalam kavitas tersebut namun  tidak   menginvasi  dinding kavitas.  Adanya  fungus  ball  menyebabkan  terjadinya hemoptisis yang berulang.

Hemoptisis terjadi pada 55-83% penderita, bervariasi mulai dari bercak darah dalam sputum hingga hemoptisis massif yang seringkali mengancam jiwa pada 30% penderita. Hemoptisis merupakan ancaman utama penderita Aspergilloma. Beberapa cara alternatif yang kurang invasif untuk mengatasi hemoptisis telah dicoba. Embolisasi arteri bronkial memang dapat  menghentikan hemoptisis untuk sementara, namun setelah beberapa saat hemoptisis kambuh    kembali, diduga akibat banyaknya arteri kolateral menuju Aspergilloma.

Instilasi intrakaviter N-acetyl cystein, aminocaproic acid, dan ampoterisin B dapat menghentikan perdarahan pada  episode  akut  hemoptisis, namun  perdarahan kembali berulang pada   sebagian   besar  penderita. Bahan-bahan   lain   yang   pernah   dicoba   intrakaviter adalah  natrium  atau kalium  iodide. Radioterapi  juga dapat  mengurangi  hemoptisis  masif  untuk  sementara waktu  tanpa mengurangi ukuran Aspergilloma, dengan demikian tidak memperkecil resiko     hemoptisis selanjutnya.

Dipandang dari sudut efektifitas pengendalian hemoptysis, tampaknya terapi bedah adalah   pilihan pertama. Penelitian retrospektif kasus-kasus mortalitas pasca operasi menunjukan  bahwa: penyakit dasar yang sudah parah (khususnya TB), fungsi cadangan paru yang jelek,  dan   usia lanjut merupakan faktor prognostik buruk. Seleksi  yang  ketat  untuk  menentukan penderita  yang akan menjalani terapi bedah ternyata berhasil menurunkan angka morbiditas dan  mortalitas pasca operasi.

METODE DAN HASIL

Berikut  ini  kami  laporkan kasus  seorang  pasien  Ny.  M  usia  45  tahun  dengan kecurigaan Aspergilloma paru kiri. Batuk  darah (hemoptisis)  sejak  10  bulan  sebelum  masuk  RS, keluar  dahak  berupa  bercak  darah  bercampur  lendir kental  berwarna  putih  kelabu,  dengan  jumlah  kurang lebih  1  sendok  makan  setiap  kali  batuk.  Riwayat  batuk sejak 3 tahun terakhir. Dada kanan dirasakan nyeri bila batuk. Nafsu makan menurun, berat badan menurun 5 kg dalam  6  bulan.  Tidak  didapatkan  sesak  nafas,  demam, maupun keringat malam.

Pemeriksaan laboratorium didapatkan GDS meningkat 256. Pemeriksaan mikrobiologi sputum KOH ditemukan Hifa bersepta, gram negatif (+4), BTA negatif, hasil kultur MTB sputum  negatif. Pemeriksaan kultur jamur sputum didapatkan Candida sp, kultur sputum aerob   didapatkan Pseudomonas Aeroginosa.

Pemeriksaan histopatologi dari FNAB CT guiding dan biopsi jaringan lobektomi paru kiri  diperoleh hasil Aspergilllus Pemeriksaan  radiologi  foto  toraks AP diperoleh hasil kavitas  berdinding tipis dengan opasitas bentuk oval batas tegas ukuran 4×2 cm dengan crescent sign (+) pada parahiler kiri kesan Aspergilloma. Pemeriksaan CT scan toraks didapatkan gambaran fungus ball di segmen apikoposterior lobus superior paru kiri.

Tata laksana pasien Aspergilllus bergantung pada berat  ringannya  gejala  (hemoptisis),  derajat  keparahan penyakit  dasar,  usia,  dan  fungsi  cadangan  paru  pasien. Pasien  dengan  hemoptisis  masif  berulang  dan  keadaan fisik  “fit”  sebaiknya  menjalani  terapi  bedah. Pasien akhirnya menjalani operasi  lobektomi  lobus  superior  kiri  tanpa  mengalami komplikasi.

Penulis: Dr. Laksmi Wulandari, dr., Sp.P(K), FCCP

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

Gilang Muhammad Setyo Nugroho and Laksmi Wulandari (2021). Hemoptysis in a patient with pulmonary aspergilloma and type 2 diabetes mellitus: A rare case in an Indonesian adult. International Journal of Surgery Case Reports 84 (2021) 106125. https://doi.org/10.1016/j.ijscr.2021.106125

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp