Nyeri pada Amyotrophic Lateral Sclerosis

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh CNN Indonesia

Amyotrophic Lateral Sclerosis merupakan penyakit sistem saraf pusat dan perifer yang dapat memburuk seiring berjalannya waktu. ALS dikenal juga sebagai penyakit Lou Gehrig, yang diambil dari nama pemain bisbol dari Amerika Serikat yang didiagnosis ALS pada 1939. Individu yang terdiagnosa penyakit ALS umunya memiliki harapan hidup 2-4 tahun sejak penyakit berkembang. ALS dapat terjadi pada usia 20-30 tahun, namun paling sering pada usia 40-70 tahun, laki-laki lebih sering terkena daripada wanita. Penyebabnya masih belum diketahui, perkembangan penyakit diketahui akibat interaksi genetik, gaya hidup dan lingkungan.

Sistem saraf  dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu sistem saraf pusat (otal dan sumsum tulang belakang) dan sistem saraf tepi yang selanjutnya berdasarkan fungsinya dapat dibagi menjadi menjadi sistem saraf motorik dan sensorik. Sistem saraf motorik berfungsi untuk mengendalikan gerakan otot sedangkan sistem saraf sensorik berfungsi untuk menerima rangsangan (seperti: sentuhan, suhum rasa nyeri) dari luar tubuh untuk selanjutnya disampaikan ke otak sehingga otak dapat memberi respon yang sesuai terhadap rangsangan yang diberikan, salah satunya melalui sistem saraf motorik.  

ALS menyerang sel saraf motorik pada sistem saraf pusat dan tepi. Disebut juga penyakit saraf motorik. Seiring waktu, sel saraf motorik akan mengalami kerusakan sehingga individu yang menderita ALS akan mengalami gejala gangguan sistem saraf motorik seperti kelemahan pada anggota gerak, penyusutan otot, kram otot, kelumpuhan otot wajah, bicara tidak jelas, kesulitan menelan hingga gangguan otot pernafasan. Terdapat dua tipe ALS yaitu tipe sporadis dan tipe familial. ALS sporadis (sALS) adalah jenis ALS tanpa riwayat keluarga (90-95% dari semua kasus) dan ALS tipe familial (fALS) yang merupakan jenis ALS dengan riwayat mutasi genetik familial, mencerminkan 5-10% dari semua kasus. Diagnosis ALS ditegakan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang seperti perekaman otot (EMG/electromyography).

Nyeri adalah respons terhadap cedera jaringan, rangsangan berbahaya, atau trauma. Nyeri adalah salah satu kondisi sekunder yang dapat terjadi pada hampir 70% pasien ALS. Frekuensi nyeri diperkirakan meningkat sesuai dengan perkembangan penyakit. Identifikasi gejala nyeri pada pasien ALS perlu diperhatikan dan tidak boleh dianggap remeh untuk mencegah efek buruk dari penurunan kualitas hidup pasien. Kualitas hidup pasien dapat terganggu akibat rasa sakit, dalam hal pekerjaan, hubungan sosial, tidur, aktivitas sehari-hari, suasana hati dan proses kognitif.

Gejala nyeri pada ALS diakibatkan imobilitas yang berkepanjangan, kelemahan otot dan penyusutan otot yang menyebabkan perubahan degeneratif pada tulang, persendian dan jaringan ikat sehingga menyebabkan nyeri muskuloskeletal. Pada fase terminal penyakit, beberapa pasien juga mengalami nyeri umum dan tidak dapat dijelaskan. Sebuah studi pencitraan MRI tulang belakang menunjukkan adanya degenerasi progresif system saraf sensorik yang dapat dideteksi segera setelah onset gejala. Sebuah studi tentang karakteristik nyeri pada ALS yang dilakukan oleh Hanisch et al., mengeluhkan 53% pasien dengan ALS dengan keluhan nyeri di beberapa tempat. Tempat yang paling sering adalah punggung (50%), ekstremitas (47%), dan sendi (42%). Diusulkan bahwa nyeri yang disebabkan oleh tekanan tulang dan sendi akibat penyusutan otot. Durasi penyakit dan keparahan nyeri tidak berhubungan menurut penelitian ini.

Hingga saat ini belum ada obat kuratif untuk ALS yang ditemukan. Manajemen pasien ALS dapat dioptimalkan dengan pengobatan multidisiplin. Penatalaksanaan mendasar adalah pengobatan berdasarkan gejala klinis, suportif dan pelindung saraf serta beberapa pengobatan untuk memodifikasi perjalanan penyakit seperti riluzole, edavarone, terapi gen dan transplantasi sel induk. Praktik klinis yang baik harus menjadi dasar untuk mengelola nyeri pada ALS karena skrining nyeri secara teratur jarang dilakukan pada pasien ALS dan masih belum ada pedoman manajemen nyeri khusus untuk ALS. Terapi farmakologis untuk nyeri primer dan sekunder pada ALS dapat diklasifikasikan menurut mekanisme kerja obat. Ini termasuk obat-obatan untuk nyeri neuropatik, kram, spastisitas, dan analgesik untuk menghilangkan nyeri akibat imobilisasi. Selain obat-obatan farmakologis juga dilakukan peregangan rutin, latihan rentang gerak pasif atau aktif, pemijatan dapat dilakukan untuk mobilisasi fisik, mencegah penyusutan otot dan terapi kram pada anggota gerak. Pendekatan multidisiplin merupakan hal utama dalam tatalaksana ALS mengingat hingga saat ini belum ada terapi kuratif. Gangguan fungsi motorik merupakan gejala utama pada ALS, meskipun begitu, nyeri merupakan gejala yang tidak boleh terlewat karena dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien ALS.

Penulis: Hanik Badriyah Hidayati, Celine Anindytha Pranata

Detail tulisan lengkap dapat dilihat:

Hidayati HB, Pranata CA. Pathogenesis and management of pain in amyotrophic lateral sclerosis. Anaesth. pain intensive care 2021;25(2):236-243.

Link: https://www.apicareonline.com/index.php/APIC/article/view/1478

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp