Departemen Antropologi: Pelopor Kajian Antropologi Ragawi Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Mahasiswa mengamati tulang-belulang manusia di dalam Museum Kematin, Kampus B UNAIR (Sumber: antro.fisip.unair.ac.id)

UNAIR NEWS – Museum Etnografi dan Pusat Kajian Kematian atau akrab disebut Museum Kematian adalah salah satu trend mark paling menarik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Airlangga. Berisi mengenai seluk beluk tradisi pemakanan di Indonesia, Departemen Antropologi-lah yang berada di balik bangunan paling unik di UNAIR tersebut.

Berdirinya museum itu sendiri sebenarnya dilatarbelakangi oleh peminatan studi Antropologi Ragawi milik Departemen Antropologi, yang menjadi satu-satunya di Indonesia. Maka berbeda dengan prodi Antropologi di universitas lain, Departemen Antropologi UNAIR menyediakan dua peminatan yakni Antropologi Sosial Budaya dan Antropologi Ragawi.

Kepala Departemen Antropologi Pudjio Santoso, Drs., M.Sosio mengungkapkan bahwa dua peminatan tersebut dibuka untuk memfasilitasi mahasiswa yang seringkali ingin mengambil fokus kajian tertentu.

Sementara Antropologi Sosial-Budaya berfokus pada variabel sosial budaya manusia, kajian Antropologi Ragawi berfokus mempelajari variasi biologis manusia, sehingga berhubungan dengan keilmuan forensik.

Keunggulan tersebut pun turut didukung dengan staf dosen Departemen Antropologi yang telah ahli dalam teori maupun praktikal. Tidak mengherankan jika kemudian dosen-dosen Antropologi UNAIR sering tergabung dalam kegiatan forensik kepolisian untuk mengidentifikasi korban-korban kecelakaan maupun kejahatan yang sulit dikenali.

Kepala Departemen Antropologi Pudjio Santoso, Drs., M.Sosio. (Dok. Pribadi)

Tidak hanya itu, dosen Antropologi UNAIR juga banyak tergabung dalam tim gabungan penemuan peninggalan purbakala. Yang terbaru, Pakar Antropologi UNAIR yang juga pionir Antropologi Forensik Indonesia Toetik Koesbardiati ditugaskan untuk mengidentifikasi temuan kerangka di Situs Kumitir, Mojokerto yang diduga menjadi peninggalan era Majapahit.

Departemen Antropologi pun turut memperluas perannya melalui kegiatan pengabdian masyarakat. “Tahun ini misalnya, kita kerja sama dengan Dinas Kesehatan Situbondo untuk melakukan pengukuran antropometri agar dapat membantu tenaga kesehatan menganalisis dan mengidentifikasi angka stunting,” terangnya.

Departemen Antropologi sendiri memang memiliki fasilitas lengkap yang dapat digunakan tidak hanya untuk meneliti manusia dan sosial budayanya, akan tetapi juga tingkat kesehatan, gizi, penyakit, hingga psikologis masyarakat di suatu daerah.

Dalam menghadapi pandemi sendiri, Departemen Antropologi melakukan akselerasi akademis dengan menambah delapan mata kuliah untuk mendukung peminatan Antropologi Ragawi. Begitu pula dengan program Merdeka Belajar yang dicanangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

“Salah satunya kegiatan magang mahasiswa kita sangat luar biasa. Bukannya menurun, selama pandemi angka pengajuan magang malah semakin meningkat, khususnya saat program magang kini sudah masuk mata kuliah,” jelasnya.

Pada segi model pembelajarannya, Departemen Antropologi berusaha mengarahkan pada case method di mana materi kuliah diarahkan pada analisis kasus yang sangat berguna apabila mahasiswa telah terjun di lapangan.

Hal itu tentunya sejalan dengan visi Departemen Antropologi yang mengarahkan lulusannya agar memiliki profil sebagai peneliti, perencana pembangunan, pengembangan masyarakat, praktisi, serta pendidik. Tidak mengherankan jika lulusan Antropologi UNAIR kini telah tersebar di berbagai level pekerjaan tingkat nasional maupun mancanegara.

Melalui standar keunggulan yang dimiliki Departemen Antropologi, Pudjio berharap agar generasi muda Indonesia semakin tertarik dan memahami nilai penting ilmu antropologi. “Terkadang saya katakan antropologi itu ilmu serakah. Kami mempelajari kesehatan, sosial, budaya, ekologi, bahkan hingga tulang-belulang. Tapi Antropologi menawarkan solusi dan kajian yang begitu luas bagi kehidupan manusia,” tutupnya. (*)

Penulis: Intang Arifia

Editor: Binti Q. Masruroh

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp