Peran Manusia dalam Menjaga Kelestarian Raptor

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Burung Hantu, Salah satu Raptor yang kondisinya saat ini terancam punah. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Indonesia dikenal sebagai negara dengan megabiodiversitas yang memiliki keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia.Namun,Indonesia juga termasuk negara dengan daftar merah terbesar untuk daftar jenis satwa yang berada di ambang kepunahan. Salah satu kekayaan SDA yang dimiliki Indonesiaadalah jenis-jenis burung (avifauna).

Atlas Burung Indonesia tahun 2020 mencatat bahwa Indonesia memiliki 1.794 jenis burung dan 527 diantanya merupakan jenis endemik atau hanya ditemukan di Indonesia. 459 jenis dengan sebaran terbatas (sebaran alami ≤ 50.000 km²), 23 EBA (jumlah EBA terbanyak dalam satu negara) dan 228 IBA. Selain itu, 174 jenis terancam punah (terbanyak kedua setelah Brazil) kritis (critically endagered), 48 genting (endangered), 96 rentan (vulnerable) serta 557 jenis dilindungi di Indonesia (Permen LHK no.106 th 2018).

Oleh karean itu, Himpunan Mahasiswa Kedokteran Hean (HMKH) UNAIR Banyuwangi, pada Sabtu (08/05/2021) mengadakan kegiatan Webinar Nasional dengan tema “Pentingnya Menjaga Kelestarian Raptor untuk Keseimbangan Ekosistem”. Kegiatan unggulan kepengurusan Bramastra ini diprakarsai oleh Divisi Fowl Care (FC), yang fokus pada keilmuan burung dan perunggasan.

Di awal pemaparan, Drh. Happy Ferdiasnsyah selaku pemateri menjelaskan bahwa Raptor berasal dari kata rapere yang berarti merebut paksa. Dengan kata lain, sambungnya, Raptor adalah sebutan untuk golongan burung pemangsa atau burung yang mencari makan dengan cara berburu, yakni dengan terbang, menggunakan indra tajam mereka, terutama penglihatan atau pendengaran.

Birds of Prey atau burung pemangsa adalah kelompok burung berparuh tajam dan mempunyai kaki yang kokoh dan kuku yang kuat untuk mencengkeram mangsanya,” ujar dokter Happy.

Selain itu, tambahnya, burung pemangsa juga merupakan top predator yang berfungsi sebagai penyeimbang rantai makanan.

“Raptor di Indonesia berjumlah sekitar 134 jenis yang terdiri atas 79 jenis raptor diurnal dan 55 jenis raptor nocturnal,” jelas dokter hewan praktisi di Klinik Hewan Purnama, Pontianak.

Raptor diurnal terbagi atas 10 jenis kelompok alapalap (Falconidae) dan 69 jenis kelompok baza, elang, elangalap, elanglaut, elangikan, elangular, elangrawa, rajawali, sikepmadu (Accipitridae dan Pandionidae). Sedangkan raptor nocturnal terdiri atas 9 jenis kelompok serak (Tytonidae) dan 46 jenis kelompok beluk, belukwatu, celepuk, kukuk, pungguk(Strigidae).

Health Manager Pusat Penyelamatan Burung Berkicau, Yayasan Planet Indonesia itu menjelaskan bahwa kepunahan Raptor di Indonesia tidak lain karena lingkaran setan perdagangan Raptor itu sendiri. 

“Banyaknya permintaan dari penghobi membuat pemburu gencar melakukan penangkapan liar Raptor. Semakin langka satwa akan membuat harga menjadi lebih mahal. Hal inilah yang sering dijadikan gengsi diantara penghobi,” ujar dokter Happy.

Apakah dengan memilihara, tambahnya, tingkat kelestarian Raptor menjadi lebih baik? Tentu saja tidak. Raptor atau satwa tersebut saat dilepasliarkan kembali akan sulit beradaptasi karena dari kecilnya sudah sangat banyak campur tangan manusia.

“Cara melestarikan yang benar yaitu tidak memelihara satwa liar (khususnya burung pemangsa), tidak ambil bagian (baik secara langsung ataupun tidak langsung) dalam lingkaran setan perdagangan satwa, kembangkan usaha penangkaran atau budidaya, Jangan gunakan pestisida yang membahayakan bagi burung pemangsa, beralih ke hobi birdwatching,” pungkasnya. (*)

Penulis : Muhammad Suryadiningrat

Editor : Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp