Pakar Hukum Perburuhan UNAIR Tekankan Irelevansi dalam Pendirian Partai Buruh di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Ir. H. Said Iqbal, M.E. diundang sebagai narasumber dalam Webinar Hari Buruh yang digelar pada Senin siang (2/5/2021). Disitu ia menekankan terkait pentingnya solidaritas dalam pergerakan buruh demi tercapainya partai buruh yang memiliki basis kekuatan yang rigid. Namun dalam perhelatan yang sama, eksplanasi tersebut ditepis oleh Pakar Hukum Perburuhan UNAIR Dr. M. Hadi Shubhan, S.H., M.H., C.N., yang menekankan bahwa advokasi hak-hak buruh justru tidak memerlukan partai buruh.

Dalam penelitiannya, Hadi menjelaskan bahwa terdapat penurunan partisipasi buruh dalam serikat-serikat pekerja. Hal ini dikarenakan bahwa para elit dalam serikat pekerja mulai terlihat memiliki kepentingan politik tersendiri.

“Lantas apa hubungannya dengan partai buruh? Ya, apabila menggunakan logika bahwa partai buruh membutuhkan serikat buruh yang kuat dan sementara popularitas serikat buruh semakin menurun, justru semakin terlihat irelevansinya dan buruh akan semakin meninggalkan partai buruh. Esensi dari partai sendiri adalah untuk berpolitik,” tekan Direktur Kemahasiswaan UNAIR itu.

Hadi bertutur bahwa pada dasarnya, kepentingan para buruh itu kurang lebih sama. Oleh karena itu, advokasi hak-hak buruh sebenarnya cukup melalui penguatan dan penyatuan serikat buruh. Merefleksikan pada sejarah, alumni UNAIR itu menjelaskan bahwa telah terwujud suatu resultan yang luar biasa apabila para buruh Indonesia bersatu tanpa dipolarisasi oleh pandangan politik tertentu. Resultan yang dimaksud itu adalah golnya UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS).

“Menurut saya, mengapa klaster Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja bisa gol sekalipun kontroversial salah satunya adalah kurang kompaknya gerakan buruh untuk memperjuangkan hak-haknya. Hal ini dikarenakan saratnya politik praktis atau misi-misi politik tertentu di antara elit-elitnya,” jelas pakar itu.

Melihat tren tersebut, Hadi memproposisikan solusi bahwa advokasi aspirasi buruh seyogianya diamplifikasi dengan penguatan kinerja serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB). Bak pemfokusan cahaya dalam kaca pembesar yang dapat membakar sesuatu, Hadi mengatakan bahwa pemfokusan fungsi SP/SB dapat memberikan resonansi dan efektivitas yang lebih masif.

Berkaca pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), telah diatur berbagai fungsi, hak, serta kewajiban dari serikat pekerja. Hadi berkata bahwa hanya serikat yang dapat berunding dengan perusahaan untuk membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Untuk itu, pemfokusan kinerja SP/SB itu dibutuhkan karena skalanya hingga sampai ke internal perusahaan.

“Melihat pada data, jumlah PKB dan Peraturan Perusahaan (PP) di Indonesia masih sangat sedikit ketimbang jumlah perusahaan yang ada di Indonesia. Menurut saya, ini salah satu bukti bahwa kinerja SP/SB masih belum maksimal. Padahal, persyaratan untuk membuat SP/SB itu sudah sangat dipermudah. Untuk itu, saya menyimpulkan bahwa kemurnian dalam advokasi aspirasi buruh adalah hal yang diperlukan dalam pemenuhan hak-hak buruh. Itu dapat dicapai dengan revitalisasi SP/SB, bukan membuat partai buruh,” tutupnya.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp