Melepaskan Diri dari Jerat Konsumerisme

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Qureta

Geliat penguasa pasar dalam membelenggu masyarakat konsumen pada bulan suci ramadhan semakin menjadi-jadi. Ramadhan yang identik dengan menahan segala nafsu berlebihan, tampaknya sukses dijungkir balikkan oleh para penyedia barang dan jasa menjelma bulan surplus konsumsi. Alhasil mengejar potongan harga penaka lebih penting daripada berburu pahala-Nya. Realitas ini akan kian jelas kentara tatkala memasuki minggu kedua hingga ahir ramadhan, saat masjid dan mushola kalah “ramai” dengan mall, café and resto, dan pasar. Seolah perintah kewajiban keillahian kalah pamor dari tawaran gemerlap panorama keduniawian.

Kemampuan kreatif mempromosikan jasa dan inovatif memproduksi barang adalah fakta hidup bahwa budaya konsumtif sedang dikukuhkan dalam psikoekonomi masyarakat. Ragam marketplace yang melipat gandakan diskon, eksotisme visual pariwara televisi yang gencar dipentontonkan, billboard iklan yang mengepung seluruh sudut ruang keramaian merupakan parade strategi kapitalis menyulut nafsu konsumsi. Kecakapan kapitalis menciptakan “perangkap” konsumsi harus dipahami sebagai godaan yang membahayakan bangunan ketaqwaan. Maka, kuasa konsumerisme yang kian merambat kuat, harus segera dibendung sebagai upaya menjaga ketaatan dalam laku peribadahan.

Nafas kudus bulan ramadhan merupakan momentum tepat untuk melepaskan diri dari kuasa konsumerisme. Nilai-nilai luhur seperti kesabaran, kedermawanan, dan keikhlasan adalah segenap modal kuat yang dapat digunakan melawan semangat berlebihan menuruti keinginan yang dibentuk oleh kapitalis. Benturan kebudayaan tersebut layak dimaknai sebagai jihad menuju peningkatan kualitas ketaqwaan. Ketaqwaan yang mapan adalah jurus jitu untuk meredam keangkuhan dalam mengkonsumsi apapun.

Fenomena meledaknya laku konsumtif di bulan suci ramadhan adalah paradoks antara doktrin keagamaan dan implementasi nilai keagamaan dalam  keseharian. Ketika kondisinya demikian, apakah anjuran suci kesederhanaan yang setakar dengan kebutuhan harus mengalah demi memberi panggung pada kemewahaan yang menuruti hasrat keinginan?

Ketaqwaan Mereduksi Konsumerisme

Sulitnya keluar dari jeratan konsumerisme di bulan suci ramadhan disinyalir karena dua faktor dominan. Pertama, ketiadaan nyawa amal ibadah puasa yakni keikhlasan. Kedua, akselerasi kapitalis melakukan eksploitasi ekonomi dan rohani lewat gempuran iklan dan potongan harga. Mulai dari sisi privat sampai dengan ruang publik tidak luput dari rayuan manis produk kapitalis. Oleh sebab itu, bagaimana mungkin bisa terlepas dari jeratan konsumerisme jika pada saat yang sama kita tidak ikhlas dalam mengerjakan ibadah sekaligus menyetujui perilaku konsumtif meraja lela pada bulan keberkahan.

Melemahkan kuasa konsumerisme harus dimaknai sebagai misi sakral menuju hari kemenangan. Jika panggung akademis menyebut bahwa kapitalisme adalah titik puncak dari evolusi sosial budaya umat manusia, maka aspek suci keagamaan menjadi jamu mujarab untuk mengendalikannya, bukan menggantinya. Masyarakat harus menggunakan panduan produk diktum keagamaan bukan produk kapitalisme dalam menjalani kesehariannya. Karena itu, konsumerisme yang menjalari psikoekonomi masyarakat kini harus direduksi melalui dogma keagamaan dalam rupa ketaqwaan.

Melampaui argumentasi ilmiah, dalam doktrin keagamaan, cara ampuh mereduksi birahi keduniawian ialah dengan memupuk ketaqwaan. Ketaqwaan diartikan sebagai sikap membentengi diri dari segala yang membahayakan dan menyengsarakan hidup, dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Kematangan ketaqwaan akan menghadirkan keikhlasan dalam berpuasa selama bulan ramadhan sekaligus menjaga jarak dari perbuatan yang miskin kebermanfaatan.

Bulan suci ramadhan yang identik dengan budaya konsumtif, harus digeser dengan budaya produktif. Produktif dengan menjadikan bulan penuh ampunan ini sebagai momentum ideal untuk merasakan sekaligus membantu kesusahan saudara sebangsa kita dan mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Bukan justru mewarnai bulan suci ramadhan dengan laku konsumtif yang menomor kesekiankan dalil “sesuai kebutuhan”. Kesuksesan menguatkan ketaqwaan di bulan suci ramadhan akan menolong kita terlepas dari jeratan konsumerisme sekaligus membentuk diri menjadi insan yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang banyak., yang oleh Gus Mus, itu disebut sebagai Saleh Ritual, Saleh Sosial.

Penulis: Moch Sholeh Pratama, Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp