Pengetahuan Dokter Anak Residen tentang Manajemen Hyperbilirubinemia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Sumber: The Asian Parent

Peserta didik program pendidikan dokter spesialis (PPDS) atau residen cabang ilmu kesehatan anak pada hari ini merupakan calon dokter spesialis anak di kemudian hari. Pengetahuan akan penyakit dan pelatihan klinis yang tepat sangat penting sebagai bekal untuk memberikan pelayanan kesehatan yang baik di masa depan. Ini juga berlaku untuk negara berkembang pesat seperti Indonesia. Praktik klinis yang telah berkembang dan beralih dari pengobatan berbasis opini menuju pengobatan berbasis bukti saintifik. Sehingga, manajemen klinis akan dioptimalkan dengan pedoman dan protokol berdasarkan bukti ilmiah, dan ini termasuk bagian dari pengobatan berbasis bukti untuk pengelolaan hiperbilirubinemia. Dibandingkan dengan negara maju, hiperbilirubinemia neonatal yang berkembang menjadi parah lebih sering didapatkan di Negara berkembang di Indonesia. [Greco, 2016]

Guna menilai tingkat pengetahuan residen dalam tatalaksana hiperbilirubinemia di beberapa rumah sakit pendidikan, Sebanyak 250 kuesioner lengkap telah dibagikan kepada rata-rata 35 responden dari setiap rumah sakit. Studi kami menunjukkan bahwa pengetahuan residen ilmu kesehatan anak di beberapa Rumah Sakit Pendidikan di Indonesia tentang Penatalaksanaan Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir cukup bulan dan prematur ternyata masih terbatas dan penggunaan pedoman untuk manajemen hiperbilirubinemia cukup bervariasi.

Temuan lain yang menarik adalah persentase residen yang signifikan yang ternyata tidak mengukur TSB sebelum memulai Phototherapy (PT), melainkan hanya berlandaskan evaluasi klinis dengan skor Kramer untuk mendiagnosis hiperbilirubinemia. Waktu antara pengambilan darah untuk pengukuran Total Serum Bilirubin (TSB) dan pengambilan hasilnya masing-masing sekitar 1 jam untuk RS B dan 3 jam untuk RS C dan E. Masalah-masalah ini mungkin berkaitan pada keputusan residen untuk memulai fototerapi, tanpa mengindahkan nilai TSB.

Hasil penting lainnya adalah persentase responden yang signifikan yang juga meresepkan obat tambahan, seperti ursodeoxycholic asam dan fenobarbital, yang mana tidak direkomendasikan oleh American Academy of Pediatrics (AAP) dan The National Institute for Health Care and Excellence (NICE) untuk ikterus neonatal atau oleh pedoman World Health Organization (WHO). Kami berpendapat bahwa residen cenderung meniru kebiasaan meresepkan obat tambahan tersebut dari dokter spesialis anak supervisor yang tampaknya cenderung mengobati berdasarkan preferensi pribadi, tidak berlandaskan pedoman berbasis bukti. Atau kemungkinan lain adalah, dokter spesialis anak supervisor gagal dalam melatih para residen mengenai indikasi spesifik meresepkan obat tambahan.

Adapun pedoman mungkin tidak ditaati karena sejumlah alasan misalkan kurang kesadaran, kurangnya pemahaman, kurangnya kesepakatan, maupun kurangnya motivasi untuk mengubah praktik saat ini. Sebagian besar alasan ini relevan di Indonesia. Contohnya, 66% dari responden menyatakan menggunakan pedoman AAP ketika mereka memulai PT pada bayi prematur, sedangkan pedoman AAP sendiri tidak berisi nomogram untuk bayi prematur yang lahir sebelum 35 minggu usia gestasi, yang mana menjadi contoh kurangnya pemahaman.

Adapun terkait penggunaan tingkat bilirubin tetap untuk memulai PT, yang mencerminkan kurangnya motivasi untuk mengumpulkan tambahan informasi, seperti jam lahir, usia gestasi dan faktor resiko tertentu, yang seyogyanya diperlukan dalam keputusan apakah PT diindikasikan atau tidak. Maraknya penggunaan obat tambahan yang tidak disarankan mencerminkan kurangnya kepercayaan diri terhadap luaran PT.

Kurangnya pelatihan yang benar juga memengaruhi kinerja residen. Pelatihan yang tepat adalah tanggung jawab dari supervisor. Supervisor semestinya mengawasi residen untuk tetap mengikuti pedoman yang berlaku. Namun nampaknya mereka telah gagal, sedangkan pedoman sudah ada, bahkan dalam bahasa Indonesia. Bisa saja mungkin para supervisor sendiri yang tidak mematuhi pedoman yang ada. Karena residen memiliki hubungan murid-guru dengan dokter supervisor, mereka secara otomatis akan mengikuti kinerja supervisor. Dalam hal ini, para supervisor juga harus berintrospeksi dan menyadari bahwa mereka tampaknya telah gagal dalam memberikan pelatihan terkait manajemen hiperbilirubinemia.

Pelatihan yang tepat diperlukan untuk menurunkan kejadian hiperbilirubinemia berat. Ketika pengetahuan tentang dokter anak di masa mendatang tentang diagnosis, terapi, tata laksana hiperbilirubinemia sudah optimal, maka kejadian hiperbilirubinemia berat dan gejala sisa akan dapat dikurangi. Untuk alasan ini, masih perlu untuk memperingatkan teman sejawat untuk memperbaiki dan meningkatkan standar program pendidikan dan pelatihan para residen.

Supervisor harus melakukan introspeksi tentang metode dan teknik dalam mengajar dan praktek yang tepat yang berkaitan pengelolaan hiperbilirubinemia. Selain itu, dibutuhkan konsensus di antara para supervisor dalam proses belajar-mengajar di rumah sakit pendidikan guna mendapatkan keseragaman metode pelatihan residen dalam pengelolaannya atau hiperbilirubinemia. Penelitian tambahan pun masih diperlukan untuk melacak hambatan-hambatan tertentu guna meningkatkan kepatuhan residen terhadap pedoman sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas perawatan bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia.

Penulis: Mahendra Tri Arif Sampurna

Artikel lengkapnya dapat dilihat pada link berikut ini

https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2021.e06661

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp