Keanekaragaman Genetik Lamun Thalassia Hemprichii dan Enhalus Acoroides di Pesisir Jawa Timur

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh PGSP

Degradasi lamun yang terjadi di seluruh dunia dalam beberapa dekade terakhir membuat para ilmuwan dan pemerintah mengambil peran dalam menyelamatkan ekosistem ini. Transplantasi lamun merupakan tindakan langsung untuk meningkatkan kepadatan lamun atau memulihkan habitat lamun yang rusak. Sayangnya, transplantasi tidak menjamin keberhasilan restorasi pantai. Transplantasi tidak tahan terhadap tekanan lingkungan di habitat barunya. Salah satu faktor yang harus dipertimbangkan saat mencari bahan donor tanaman adalah keragaman genetik. Dalam tulisan ini, kami mengeksplorasi diversitas genetic dari populasi lamun yang tumbuh di pesisir Jawa Timur, Pantai Labuhan Lamongan dan pantai Taman Nasional Baluran Banyuwangi,  dimana spesies lamun Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides berada. Untuk mendapatkan data digunakan metode RAPD (Random Amplified Polymorphism DNA) untuk menemukan fragmen polimorfik guna menginterpretasikan variasi genetik spesies tersebut. 

Lamun merupakan tumbuhan pantai yang hidup di lingkungan laut pada suatu substrat yang sangat luas yang terdiri dari lumpur, pasir, lempung, kerikil, atau campurannya. Secara umum, lamun diketahui memiliki peran penting dalam aspek keanekaragaman hayati pesisir, fungsi ekonomi, dan penyediaan jasa lingkungan bagi ekosistem pesisir. Ekosistem yang dibentuk oleh lamun adalah sebagai penyedia habitat bagi organisme pesisir, pereduksi gelombang laut, stabilisasi sedimen, pemasukan oksigen ke dalam badan air, penyediaan sumber nitrogen, fosfor dalam rantai makanan, juga berkontribusi dalam penyediaan karbon organik dalam jumlah yang signifikan.

Sayangnya, saat ini padang lamun merupakan salah satu habitat yang banyak terganggu  pada ekosistem global. Laju penurunan padang lamun diperkirakan 7% per tahun sejak 1990, tingkat yang mengkhawatirkan dibandingkan dengan terumbu karang, bakau, dan hutan hujan tropis. Perubahan lingkungan di Indonesia berdampak pada degradasi lamun yang luas, terutama akibat gangguan aktivitas manusia seperti pembangunan gedung, aktivitas pariwisata, limpasan yang tercemar dan pertambangan. Salah satu upaya pelestarian habitat lamun adalah transplantasi dan restorasi lamun. Metode ini telah dicoba pada berbagai jenis lamun dan ditanam pada berbagai kedalaman. Berbagai proyek lingkungan dan berbagai skema perbaikan telah dilakukan sebagai upaya mitigasi hilangnya lamun. Di Indonesia, program restorasi lamun telah dikembangkan. Transplantasi lamun telah dicoba pada spesies Enhalus acoroides di Ambon dan Bintan serta Thalassia hemprichii di Jepara  dan Bintan. Untuk memperbaiki kondisi ini, maka proyek transplantasi telah berhasil dilakukan hanya untuk beberapa spesies lamun dan, di beberapa lokasi, tidak berhasil memulihkan padang lamun secara optimal. Stres yang terkait dengan transplantasi seperti syok transplantasi dan perubahan lingkungan menyebabkan hilangnya tunas pada tahap awal periode transplantasi. Oleh karena itu, transplantasi lamun harus memiliki peluang dan kemampuan adaptasi yang baik untuk menghadapi perubahan kondisi di masa mendatang.

Keanekaragaman genetik merupakan aspek penting untuk memastikan ketahanan transplantasi tanaman dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Evaluasi genetik dan identifikasi genotipe variasi populasi memiliki peran penting untuk perlindungan genetik dan program pemuliaan tanaman. Peningkatan heterozigositas pada populasi tanaman donor berkorelasi positif dengan keberhasilan transplantasi lamun spesies lainnya seperti Posidonia oceanica. Lebih lanjut, kesamaan tingkat keragaman genetik juga secara signifikan terkait dengan pertumbuhan dan laju reproduksi lamun spesies Posidonia australis dan Zostera marina.

Spesies lamun seperti Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides dideskripsikan dari pantai Indonesia. Thalassia hemprichii adalah spesies dominan untuk pembentukan padang rumput di atas sedimen yang berasosiasi dengan terumbu karang. Spesies ini dikenali dari bentuk pita dan memiliki daun melengkung, panjang hingga 40 cm sering dengan sel tanin yang menonjol terlihat merah, ungu atau coklat tua. Batangnya pendek dan tegak, mengandung 2-6 daun. Rimpangnya tebal dan ditutupi bekas daun berbentuk segitiga. Sedangkan Enhalus acoroides dianggap sebagai spesies lamun tropis yang paling luas, lamina daunnya berbentuk seperti pita dan memiliki panjang hingga 200 cm dan lebar hampir 2 cm. Jenis ini dapat dikenali dari ciri-ciri tertentu seperti tepi daun bergulung, menampakkan satu sisi daun seperti berpinggiran. Daun spesies ini berkembang langsung dari rimpang. Rimpang ditutupi bulu tebal, biasanya, berwarna gelap yang merupakan sisa daun yang persisten. Rimpang berdiameter sekitar 1,5 cm dengan banyak akar berwarna pucat. Jenis lamun ini juga ditemukan di kawasan pesisir Pantai Labuhan, Lamongan. Selain itu, tingginya aktivitas manusia pada aktivitas penangkapan ikan di Pantai Labuhan, pengumpulan kerang dan masuknya limbah domestik melalui sungai, diduga berdampak antropogenik terhadap populasi lamun populasi lamun di sana. Di sisi lain, populasi lamun di Pantai Labuhan terlihat cukup padat meski berada di luar kawasan konservasi. Fenomena unik ini diduga diduga sebagai keragaman genotipe populasi lamun yang bergantung pada umur, kematangan ekosistem padang rumput, dan struktur spasial.

Metode Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) adalah penanda molekuler yang populer untuk mendeteksi keragaman genetik tanaman pada tingkat interspesifik dan intraspesifik. Identifikasi berbagai jenis dan varietas tanaman biasanya menggunakan penanda genetik. Penanda RAPD ini juga berhasil mengungkap penurunan keragaman genetik Posidonia oceanica akibat gangguan antropogenik di kawasan laut Mediterania. Penanda tersebut dapat menunjukkan keragaman genetik dan klonal antar populasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman genetik populasi di area non konservasi lebih tinggi  dibandingkan dengan spesies yang sama yang mendiami kawasan konservasi yang tidak terusik (Taman Nasional Baluran). Data menunjukkan bahwa keragaman genetik (kekayaan alel) T. hemprichii populasi Labuhan (0,19) lebih tinggi dibandingkan dengan populasi di Baluran (0,15). Demikian pula, untuk keragaman genetik E. acoroides populasi Labuhan (0,21) lebih tinggi daripada di Baluran (0,16; uji-t p = 0,037). Analisis filogenetik wilayah MatK membuktikan bahwa sampel lamun yang diambil dari Pantai Labuhan memang T. hemprichii dan E. acoroides berdasarkan identitas dengan urutan dalam database GenBank. Meskipun tumbuh di kawasan yang kurang menguntungkan, hasil yang mencengangkan menunjukkan bahwa keragaman genetik populasi lamun di Labuhan lebih tinggi daripada di Taman Nasional Baluran yang merupakan kawasan konservasi. Oleh karena itu, populasi lamun di pantai Labuhan sangat ideal untuk dijadikan bahan donor bagi restorasi pantai. Meskipun demikian, ekosistem harus tetap dijaga untuk kelestarian ekosistem lamun secara luas.

Penulis: Prof. Hery Purnobasuki

Link jurnal terkait tulisan di atas: http://jjbs.hu.edu.jo/files/vol14/n1/Paper%20Number%2015.pdf

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp