Profil Klinis Pasien Tinea Korporis dan Kruris di URJ Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Periode Tahun 2018

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Sumber: https://www.michelegreenmd.com/

Tinea korporis dan kruris adalah infeksi dermatofita pada kulit. Penyebabnya adalah jamur, Trichophyton sp., Microsporum sp., dan Epidermophyton sp. Infeksi jamur dermatofita dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya, seperti tinea korporis (area kulit selain area berbulu, badan, tangan, atau kaki) dan tinea kruris (daerah groin dan perineum).

Infeksi dermatofitosis telah menyebar ke seluruh dunia. Prevalensi penyakit ini 20-25% dengan penyebab terbanyak adalah jamur dermatofita, sedangkan yang paling banyak di Asia adalah infeksi tinea corporis dengan prevalensi 35,40%. Tahun 2008-2010 suatu penelitian menyebutkan bahwa di Divisi Mikologi Dermatologi dan Venereologi Klinik Rawat Jalan RSUP Dr. Soetomo Surabaya, 59,5%, 56,3%, dan 52,9% diantaranya merupakan kasus dermatofitosis. Hal tersebut kemudian dikonfirmasi oleh data di RSUD Dr. Soetomo Surabaya tahun 2014-2016 antara lain sebesar 47,4%, 52,9%, dan 46%. Hal ini membuktikan bahwa hampir separuh kasus di Divisi Mikologi merupakan kasus dermatofitosis.

Penularan dermatofitosis menyebar dengan 3 cara yaitu antropofilik, zoofilik, dan geofilik. Penularan antropofilik berarti penularan dari manusia ke manusia, zoofilik berarti penularan dari hewan ke manusia, dan geofilik berarti penularan dari tanah ke manusia. Tinea corporis dan kruris bersifat kronis, dan banyak pasien mengalami kegagalan terapi yang bukan hanya karena ketidakpatuhan pasien, melainkan karena diagnosis yang tidak tepat. Akibatnya kualitas pasien pun menurun. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi profil klinis dari kedua penyakit tersebut untuk menurunkan prevalensinya dan menentukan diagnosisnya.

Metode dan Hasil

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif berdasarkan rekam medis di Klinik Rawat Jalan Dermatologi dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo. Pengumpulan data dilakukan pada Agustus – Desember 2019. Analisis profil tinea korporis dan kruris pasien rawat jalan dilakukan dengan melengkapi catatan usia pasien, jenis kelamin, pekerjaan, faktor pencetus, keluhan utama, lama sakit, riwayat keluarga, lokasi lesi, deskripsi lesi, pemeriksaan penunjang, dan terapi. Penelitian ini telah mendapatkan ijin etik dari Komite Etik Riset Kesehatan RSUP Dr. Soetomo Surabaya No. 1517 / KEPK / IX / 2019. Rekam medis pasien tinea corporis dan kruris kemudian dikelompokkan berdasarkan kriteria tersebut dan disajikan dalam bentuk diagram dan tabel.

Rekam medik yang diperoleh sebanyak 164 pasien, terdiri dari 35 pasien tinea korporis, 76 pasien tinea kruris, dan 53 pasien tinea korporis dan kruris tinea. Dari 164 pasien, sebagian besar pasien adalah perempuan, kelompok usia di bawah 46-55 tahun, pekerjaan pegawai swasta, datang untuk terapi ketika sakit kurang dari 1 bulan, tidak ada riwayat keluarga, keringat berlebih sebagai faktor pemicunya, rasa gatal sebagai keluhan utama, lokasi lesi tinea korporis pada wajah dan tubuh, tinea kruris di selangkangan, dan tinea korporis dan kruris pada tubuh dan selangkangan, lesi terbanyak adalah makula eritematosa, batas tegas, tepi aktif, sisik, penyembuhan sentral. Hasil tes kalium hidroksida (KOH) 10 -20% positif. Terapi terbanyak dengan krim mikonazol 2%, terapi sistemik griseofulvin, dan terapi kombinasi tablet griseofulvin dan krim ketokonazol 2%.

Distribusi jenis kelamin pasien menunjukkan terdiri dari 67 laki-laki dan 97 perempuan. Dari jenis kelamin, terdapat 29 pasien tinea korporis laki-laki, 46 pasien tinea kruris perempuan, dan 28 pasien tinea korporis dan kruris laki-laki. Prevalensi tertinggi terjadi pada kelompok usia 46-55 tahun. Sebagian besar pasien bekerja sebagai pegawai swasta. Pasien mengalami keringat berlebih sebanyak 10 pasien tinea korporis, 34 pasien tinea kruris, dan 27 pasien tinea korporis dan kruris.

Keluhan utama terbanyak adalah gatal, tinea korporis 31 pasien, tinea kruris 66 pasien, tinea korporis dan kruris 50 pasien. Lokasi lesi tinea korporis terletak di wajah dan tubuh pada 8 pasien. Lesi tinea kruris terletak di selangkangan pada 42 pasien. Lokasi tinea korporis dan kruris terletak di tubuh dan selangkangan pada 14 pasien.

Gambaran klinis yang paling banyak dari lesi tinea korporis adalah makula eritematosa, batas tegas, batas aktif, sisik, penyembuhan sentral pada 5 pasien. Lesi pada tinea kruris adalah makula eritematosa, batas tegas, tepi aktif, sisik, penyembuhan sentral pada 24 pasien. Lesi tinea korporis dan kruris adalah makula eritematosa, batas tegas, batas aktif, sisik, penyembuhan sentral pada 5 pasien. Lama sakit pasien tinea korporis dan kruris berobat kurang dari 1 bulan setelah sakit, yaitu 9 pasien tinea korporis, 26 pasien tinea kruris, dan 13 pasien pasien tinea korporis dan kruris.

Sebagian besar pasien tidak memiliki riwayat penyakit dalam keluarga. Pemeriksaan KOH pada tinea korporis menunjukkan 29 hasil positif, 60 hasil positif pada tinea kruris, dan 43 hasil positif pada penderita tinea korporis dan tinea kruris. Sebagian besar pasien menerima terapi sistemik dengan griseofulvin, seperti yang diamati pada 21 pasien. Terapi topikal yang paling banyak digunakan adalah krim mikonazol 2%, terapi kombinasi tablet griseofulvin dan krim ketokonazol 2%, dan terapi kombinasi tablet griseofulvin dan krim mikonazol 2%.

Kesimpulan

Dari hasil penelitian dermatofitosis di Bagian Mikologi Bagian Dermatologi dan Venereologi Poliklinik Rawat Jalan RSUP Dr. Soetomo Surabaya dilakukan gambaran kasus baru dermatofitosis di Bagian Mikologi Rawat Jalan Dermatologi dan Venereologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tahun sebelumnya cenderung menurun. Terapi yang sering digunakan pada dermatofitosis adalah griseofulvin oral / sistemik yang secara umum sesuai dengan Pedoman Praktik Klinik yang berlaku di Bagian Mikologi Dermatologi dan Venereologi Klinik Rawat Jalan RSUD Dr. Soetomo Surabaya, dengan angka kesembuhan yang cukup baik. Pengisian data menggunakan rekam medis yang cukup lengkap pada saat pengambilan anamnesis pada kategori identitas, keluhan utama, lama sakit, riwayat keluarga, faktor pencetus, lokasi lesi, laboratorium penunjang, dan terapi akan memudahkan diagnosis, perawatan pasien, dan dapat melengkapi koleksi data.

Penulis: Evy Ervianti

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://e-journal.unair.ac.id/BIKK/article/view/22764

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp