Ciptakan Aplikasi Teknologi Lingkungan Ubah Senyawa Berbahaya

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Salah satu mahasiswa bimbingan Ganden sedang melakukan penelitian di Laboratorium Kimia Analitik FST UNAIR. (Dok. Pribadi)

UNAIR NEWS – Permasalahan lingkungan dari tahun ke tahun selalu menjadi perhatian, terutama masalah pencemaran air. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 46 persen sungai di Indonesia dalam keadaan status tercemar berat, 32 persen tercemar sedang berat, 14 persen tercemar sedang dan 8 persen tercemar ringan.

Mayoritas pencemar yang biasa dibuang di lingkungan mengandung senyawa organik berbahaya. Ada juga terkandung senyawa anorganik khususnya logam berat. Adanya kandungan berbahaya tersebut dapat mempengaruhi kesehatan bagi makhluk hidup yang ada di sekitar lingkungan tercemar.

Dari permasalahan tersebut, Dr. rer. nat. Ganden Supriyanto Dipl. EST., M.Sc., bersama dengan tim Grup Riset Sensor dan Teknologi Lingkungan Universitas Airlangga menciptakan alat dengan menggunakan prinsip teknik degradasi yang disebut Fenton like process. Degradasi adalah teknik mengubah atau merombak satu senyawa yang berbahaya, khususnya senyawa organik menjadi senyawa yang lebih sederhana dan tidak berbahaya yaitu karbondioksida (CO2) dan air (H2O).

Dalam prosesnya, material yang digunakan adalah campuran graphene oxide dan Fe3O4 (magnetit, Red). Campuran bahan tersebut, sambungnya, saat dikenakan pencemar organik dan ditambah sedikit hidrogen peroksida yang berfungsi sebagai inisiator akan menghasilkan radikal hidroksil (.OH) yang sangat reaktif.

“Semua senyawa organik berbahaya yang dihasilkan sebagai limbah itu bisa didegradasi. Nah, keuntungan degradasi menggunakan teknik Fenton like process ini dia tidak mengenal zat kimianya ini toksik bagi bakteri atau tidak. Ini berbeda dengan pengolahan secara biologis. Degradasi secara biologis sulit dilakukan kalau limbahnya mengandung zat organik yang toksik,” tutur kosultan IPAL tersebut pada Selasa (13/4/2021).

Ganden menuturkan, bahan yang digunakan untuk graphene oxide terbuat dari limbah organik yang ada di sekitar lingkungannya. Misalnya sekam padi, jerami padi, sampah ranting dan daun kering, gergajian kayu, bonggol jagung, dan juga dari limbah palet. Asalkan bahan tersebut banyak mengandung unsur karbon.

Kan limbah-limbah itu banyak mengandung unsur karbon. Graphene oxide  itu dibuat dari unsur karbon. Jadi sekalian juga kita bisa memanfaatkan sampah organik yang selama ini biasanya tidak dimanfaatkan dan bahkan dibakar. Itu kan nggak bagus kalau dibakar karena bisa menimbulkan polusi udara. Daripada menyebabkan polusi udara lebih baik kita ubah jadi senyawa lain yang bermanfaat, misalnya graphene oxide,” jelas dosen Kimia Analitik dan Kimia Lingkungan UNAIR itu.

Penelitian yang telah dilakukan dalam skala laboratorium selama dua hingga tiga tahun ini, dalam mencapai titik atau kondisi optimum degradasinya tidak membutuhkan waktu sampai 45 menit. Hanya dalam 30 menit, lanjutnya, limbah cair yang telah didegradasi lebih dari 90 persen bisa langsung dibuang di lingkungan. Hal itu karena proses ini tidak menghasilkan endapan, sehingga air yang dihasilkan jernih dan tidak mengandung zat-zat pencemar.

Perlu diketahui bahwa degradasi senyawa organik menggunakan teknik Fenton konvensional menghasilkan endapan ferri hidroksida (Fe(OH)3). Hal ini bisa menimbulkan masalah baru.

Ganden mengungkapkan bahwa telah dilakukan uji coba berskala laboratorium bersama salah satu mitra dari Pasuruan. Diketahui, pabrik tersebut menghasilkan fenol sebagai limbah dengan konsentrasi yang sangat tinggi lebih dari 100.000 ppm (part per million, Red). Saat diuji coba didapati hasil yang sangat bagus yakni 90 persen telah didegradasi.

Selain itu, uji coba juga dilakukan pada beberapa limbah zat warna tekstil. Seperti warna merah dari rhodamin B, warna kuning dari metanil yellow, atau misalnya zat warna golongan senyawa azo. Setelah diuji coba hasil degradasi yang didapat rata-rata di atas 90 persen.

Ganden menjelaskan, secara teoritis tidak ada yang hilang dalam proses penggunaan bahan. Bahan yang telah dipakai dapat terus digunakan. Sifat reusable ini karena bahan graphene oxide dan Fe3O4 tergolong dalam senyawa yang bersifat magnetik dan proses pemisahannya dari larutan limbah sangat mudah.

Dengan adanya penelitian ini, Ganden berharap dapat memproduksi graphene oxide dan Fe3O4 dalam jumlah yang banyak. Sehingga ke depan pengolahan tidak hanya skala laboratorium tetapi bisa ke skala industri. “Bahkan ada mitra dari perusahaan pabrik gula yang berminat untuk memproduksi graphene oxide dari bagas tebu,” katanya.

“Dan nanti juga kita akan membuat sistem pengolahan limbahnya yang nantinya bisa dipasarkan dalam bentuk paket pengolahan. Jadi kita tidak hanya memproduksi graphene oxide dan Fe3O4 tapi sekalian dengan sistemnya, sistem IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah, Red),” pungkasnya.

Sebagai perguruan tinggi terbaik di Indonesia, UNAIR mendukung SDM-nya untuk mengembangkan penelitian yang dapat memberikan sumbangsih kepada masyarakat. (*)

Penulis : Asthesia Dhea Cantika

Editor : Binti Q. Masruroh

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp