Aspek Psikologi Berperan Penting untuk Korban Bencana

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Prof. Dr. Nurul Hartini, M.Kes., psikolog., saat menyampaikan orasi ilmiah berjudul 'Peran Psikologi untuk Korban Bencana di Indonesia' pada Kamis (8/4/2021). (Foto: Agus Irwanto)

UNAIR NEWS – Per Januari 2021 saja, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 197 bencana alam terjadi di Indonesia. Di antaranya adalah banjir dan tanah longsor di berbagai daerah di banyak provinsi. Sebanyak 184 orang tercatat menjadi korban jiwa dalam bencana-bencana ini, sementara 9 orang lain dilaporkan hilang, 2.777 orang luka-luka, dan lebih dari 1 juta warga harus mengungsi.

Tentu saja tidak terhitung berapa kerugian materiil dan immateriil yang harus ditanggung oleh para korban. Dalam setiap bencana, beberapa korban mungkin mengalami luka, kehilangan sanak keluarga, dan juga harta benda.

Dalam orasi di acara pengukuhan guru besar Universitas Airlangga (UNAIR) pada Rabu (8/4/21), Prof. Dr. Nurul Hartini, M.Kes., psikolog.,menguraikan risetnya mengenai Pertolongan Psikologis Pertama (Psychological First AIDS):Peran Psikologi untuk Korban Bencana di Indonesia. Profesor asal Surabaya tersebut menuturkan bahwa dalam keadaan pascabencana, keselamatan jiwa dan pertolongan untuk korban menjadi hal pertama dan utama. Bantuan medis jelas sangat dibutuhkan, tetapi kesehatan mental para korban juga harus menjadi prioritas.

“Korban bencana alam rentan mengalami penurunan kesehatan mental dan dapat mengalami trauma psikologis,” jelas guru besar bidang Bidang Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental tersebut.

Kebutuhan manusia, dikutip Prof Nurul dari Abraham Maslow, menjadi lima tingkatan, mulai dari yang paling mendasar hingga yang paling luhur. Yakni kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan kasih sayang, kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri.

Dalam kesempatan tersebut Prof. Nurul menjelaskan bahwa sebagian besar individu yang mengalami bencana alam mampu melanjutkan hidupnya tanpa pengaruh negatif dari kejadian traumatis yang dialaminya. Namun, beberapa korban mungkin mengalami trauma psikologis yang berkelanjutan sehingga dibutuhkan peran dari berbagai pihak untuk dapat membantu proses pemulihan trauma pascabencana. Percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi tentu juga berperan penting dalam proses ini.

Menurut Kubler Ross, sambungnya, terdapat sebuah siklus berduka yang menjelaskan respons manusia dalam menghadapi kejadian yang tidak diinginkan dan jauh dari harapan, termasuk bencana alam. Siklus ini mencakup tahapan terkejut, menyangkal, marah, depresi, frustrasi, melepaskan diri, menawar, dialog, hingga penerimaan.

Korban bencana alam yang berlarut-larut dalam duka dan tidak dapat mencapai tahap penerimaan dalam waktu lebih dari sebulan pascabencana dapat mengalami gangguan stres pasca-trauma atau yang sering disebut dengan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder).

Dengan begitu, dibutuhkan pertolongan psikologis pertama atau biasa disingkat PFA (psychological first aid), dapat dilakukan dengan memberikan dukungan sosial, emosional, atau praktis kepada para korban bencana. Inti dari PFA adalah mendengarkan dan memberi ruang bagi korban untuk menyampaikan rasa cemas, takut, sedih, marah, atau emosi-emosi negatif lainnya.

Prof Nurul melanjutkan, secara garis besar, PFA dapat dilakukan dalam tiga langkah. Pertama, melihat dan memeriksa dengan seksama tanda-tanda perilaku trauma atau reaksi stres serius yang membutuhkan bantuan.

“Kedua, dengar dan dekati korban bencana yang perlu bantuan dan tanyakan tentang apa yang mereka butuhkan atau khawatirkan, dengarkan cerita korban dan coba bantu tenangkan,” ucap Prof Nurul.

Lalu ketiga, sambungnya, hubungkan dan bantulah korban bencana untuk mendapatkan kebutuhan dan layanan dasar, seperti makan, minum, dan informasi; dan hubungkan mereka dengan keluarga atau layanan sosial lainnya.

Dalam hasil penelitian psikologis yang dilakukan prof Nurul disebutkan bahwa mengembangkan foregiveness ketika mengalami musibah atau bencana juga menjadi hal yang penting. Selain itu, disampaikan pula bahwa dalam situasi krisis, keyakinan spiritual atau agama dan kedekatan dengan Sang Pencipta menjadi hal yang sangat penting dalam membantu individu, kelompok, dan komunitas melewati duka, melampaui rasa sakit dan penderitaan, serta memberikan makna dan harapan. Oleh karena itu, aspek ini perlu menjadi hal yang diperhatikan dalam membantu korban bencana di Indonesia.

“Bencana bisa terjadi pada siapa pun, baik individu, keluarga, kelompok, komunitas, maupun dalam skala luas. Saat bertemu korban bencana, maka lakukan PFA dengan mendengarkan dan memberi ruang bagi korban untuk menyampaikan rasa cemas, takut, sedih, marah, atau emosi-emosi negatif lainnya,” pungkas guru besar aktif ke-6 Fakultas Psikologis UNAIR tersebut. (*)

Penulis : Asthesia Dhea Cantika

Editor : Binti Q. Masruroh

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp