Financial Technology dan Risiko Gelembung Ekonomi dari Kaca Mata Pakar

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Sumber: Tirto.ID

UNAIR NEWS – Financial Technology (Fintech) banyak bermunculan di era revolusi industry 4.0 saat ini. Beberapa fintech yang terdapat di Indonesia antara lain adalah go-pay, dana, OVO, bibit, bareksa, dan lain sebagainya.

Menurut Dr. Wisudanto, SE., MM, CFP, ASPM  fintech merupakan bentuk terobosan milenial dalam bidang keuangan. Salah satunya adalah dalam crowdfunding.

Crowdfunding artinya suatu kebutuhan yang sifatnya mengumpulkan dana baik untuk membantu orang, modal usaha, atau kegiatan lain agar dengan melibatkan banyak orang agar lebih ringan,” terang Wisudanto saat dihubungi UNAIR NEWS pada Selasa (30/3/2021).

Fintech karena mengumpulkan dana masyarakat, maka perlu mendapat izin dari otoritas jasa keuangan (OJK).  Namun, seiring berkembangnya dunia digital dan semakin rumit mekanisme pemantauan transaksi melalui fintech, terdapat beberapa lembaga yang tidak mengantongi izin dari OJK.

Dalam memilih fintech, masyarakat perlu selektif. Jangan mudah tergiur dengan bujukan akan mendapat keuntungan yang cepat atau bisa mengambil kredit dengan mudah tanpa banyak persyaratan. Mengingat, tidak sedikit terdapat oknum yang memanfaatkan informasi yang bisa menyesatkan publik untuk keuntungan mereka sendiri.

Apabila perlu mendapatkan dana dengan cepat, jangan kemudian mengambil dana dari lembaga yang tidak jelas yang menawarkan kredit tanpa persyaratan. Mengingat, apabila di lembaga resmi, orang menerima kredit harus minimal memenuhi penilaian 5C (Character, Capacity, Capital, Condition, dan Collateral) agar nanti proses ke depannya lancar.

“Lembaga yang tidak melakukan penilaian sebelum memberikan kredit, pasti kredit melalui lembaga tersebut tidak lancar,” lanjutnya.

Wisudanto juga menjelaskan bahwa maraknya fintech perlu menjadi perhatian bagi para ekonom. Salah satu potensi permasalahan ekonomi yang terjadi karena adanya fintech adalah terjadinya gelembung ekonomi atau economic bubble akibat transaksi produk atau asset dengan harga yang lebih tinggi dari nilai fundamentalnya.

Dr. Wisudanto, SE., MM, CFP, ASPM. (Dok. Pribadi)

Sebagai contoh adalah karena memanfaatkan teknologi dan dunia maya terdapat kemungkinan uang yang dimasukan seseorang dalam akun fintech-nya, dicatat dua kali lipat oleh sistem atau digelembungkan oleh sistem. Jika hal tersebut terjadi, maka akan semakin banyak uang yang beredar di dunia maya, dan sebagian dari uang tersebut tidak memiliki wujud di dunia nyata dan tidak dapat dideteksi sumbernya.

Apabila hal tersebut tidak dipantau, maka akan berpotensi terjadinya hiperinflasi atau inflasi yang tidak terkendali. Menyebabkan nilai uang terus menurun karena jumlah uang yang beredar semakin banyak sementara barang dan jasa yang tersedia tidak seimbang.

“Sebaiknya perlu disikapi secara hati-hati bentuk simpanan ataupun pendanaan yang menggunakan teknologi mengingat penggunaan uang nyata saja diatur secara detail oleh Bank Indonesia maupun OJK,” terangnya. (*)

Penulis : Galuh Mega Kurnia

Editor : Binti Q. Masruroh

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp