FKH UNAIR Banyuwangi Identifikasi Penyebab Kematian Penyu Sisik

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Kondisi Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) yang mati saat dilakukan Nekropsi oleh Tim FKH UNAIR Banyuwangi. (Foto: Istimewa)

UNAIR NEWS – Banyuwangi merupakan salah satu wilayah yang sangat spesial bagi kehidupan satwa langka yang dilindungi. Kabupaten yang berada di ujung timur Pulau Jawa ini memiliki perairan dan kawasan pantai yang mempunyai peran penting untuk kelangsungan hidup penyu. Penyu merupakan reptil purba yang yang hidup di semua samudera di dunia. Sayangnya,  jumlah penyu saat ini terus menyusut.

Pemerintah Republik Indonesia menyatakan penyu sebagai satwa dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Knservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Di tingkat Internasional, penyu dilindungi oleh Convention International Trade in Endangered Species (CITES) dan International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Berbagai predator dapat mengancam kelangsungan hidup penyu. Dari predator alami  hingga aktivitas manusia. Akhir minggu lalu, satu ekor penyu dalam kondisi mati ditemukan oleh nelayan di sekitar pesisir Pantai Syariah, Pulau Santen Banyuwangi. BKSDA Banyuwangi dan Yayasan Banyuwangi Sea Turtle Foundation (BSTF) kemudian menyerahkan kepada Kedokteran Hewan (FKH) UNAIR Banyuwangi untuk dilakukan nekropsi dan identifikasi penyebab kematian penyu tersebut.

Kepada UNAIR NEWS, Aditya Yudhana, drh., M.Si selaku dosen FKH menyampaikan bahwa jenis penyu tersebut adalah penyu sisik (Eretmochelys imbricata) berumur sekitar 5-6 tahun.

“Setelah kami terima dan langsung dilakukan pemeriksaan di laboratorium anatomi FKH UNAIR Banyuwangi, hasil pemeriksaan fisik luar tidak ditemukan kelainan yang mencolok pada bagian karapas dan plastron,” jelas dokter Adit.

Selanjutnya, tambah dokter Adit, dilakukan nekropsi untuk mencari kepastian penyebab kematian penyu tersebut. Hasi pemeriksaan organ pencernaan bawah (usus sampai colon) terlihat adanya penebalan mukosa usus, adanya enteritis hemorrhagi (pendarahan) dan perubahan warna yang kehitaman.

“Saya dibantu oleh dua orang mahasiswa selanjutnya memeriksa saluran cerna atas, lambung dan oesofagus. Di lambung ditemukan beberapa sampah plastik dengan ukuran kecil dan benang pancingan. Kemudian pada oesofagus ditemukan kail pancing yang tertacap cukup dalam pada mukosa oesofagus sekitar 2 cm,” terang dokter Adit.

Selain itu, tambahnya, dugaan penyebab kematian penyu tersebut karena adanya iritas pada organ pencernaan, khususnya bagian atas. “Hasil pemeriksaan selanjutnya kami laporkan kepada BKSDA selaku pihak yang berwenang,” tandasnya.

Bahaya sampah plastik dan peralatan nelayan lainnya yang mencemari laut menjadi predator utama kematian penyu saat ini. Penyu tidak bisa membedakan antara ubur-ubur sebagai makanannya dengan kantong plastik. Jika kantong plastik tertelan, maka berisiko fatal. Aktifitas pencernaan penyu akan terganggu dan akan membuat penyu kekurangan nutrisi sehingga mati. 

“Upaya konservasi dan kolaborasi sangat dibutuhkan baik dari kalangan pemerintah, komunitas, institusi perguruan tinggi dan masyarakat menjadi sangat penting. Edukasi tentang konservasi penyu dan bahaya sampah plastik sangat perlu digencarkan untuk kelestarian penyu,” pungkasnya.

Penulis: Muhammad Suryadiningrat

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp