Edukasi Thalasemia Berbasis Teman Sebaya Secara Daring Selama Masa Pandemic COVID-19

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Hello Sehat

Thalassemia adalah penyakit genetik yang disebabkan mutasi pada gen yang menyandi α- dan β-globin. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya jumlah dan fungsi hemoglobin dalam sel darah merah. Penyakit genetik ini paling sering ditemukan di daerah Mediteria, China, Asia Selatan, dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pada tahun 2017, pasien Thalassemia di Indonesia tercatat sebanyak 8.011 pasien dan disinyalir akan meningkat 3.000 orang setiap tahunnya. Di Jawa Timur sendiri, jumlah penderita Thalassemia mengalami kenaikan, terhitung dimulai tahun 2007 tecatat 159 anak, tahun 2015 sudah mencapai 470 anak dan pada tahun 2017 meningkat menjadi 520 anak. Thalassemia terbagi menjadi thalassemia minor, intermediet, dan mayor. Penderita thalassemia minor atau pembawa sifat seringkali tidak menyadari karena tidak ada gejala yang nampak. Sementara penderita intermediet biasanya baru memerlukan terapi berupa transfusi darah menjelang masa remaja atau dewasa muda. Dan thalassemia mayor adalah kondisi dimana kedua gen mengalami kelainan, sehingga gejala yang dihasilkan cukup berat. Penderita thalassemia mayor memerlukan transfuse darah sejak dini dan sepanjang hidupnya jika tidak dilakukan terapi transplantasi sumsum tulang atau terapi genetik.

Penyakit genetik ini merupakan penyakit katastropik yang menyedot dana  BPJS keempat terbesar yang mencapai 2,15 M pada tahun 2014 dan berlipat ganda menjadi 4,77 M ada tahun 2016.  Biaya ini tentunya akan terus meningkat jika mata rantai penyakit yang memerlukan perawatan sejak awal kehidupan ini tidak diputus. Mengetahui status thalassemia setiap orang sebelum menikah adalah salah satu langkah penting untuk menurunkan kejadian thalassemia mayor. Untuk itu, pemahaman akan penyakit ini, berikut cara pencegahannya perlu diberikan pada calon orang tua. Sayangnya, pandemic COVID-19 yang terjadi saat ini membatasi kegiatan manusia di semua bidang, termasuk bidang edukasi kesehatan. Namun, kindisi ini memaksa manusia untuk menjadi kreatif dan inovatif, salah satunya adalah dengan menggunakan teknologi berupa internet. Namun efektifitas dari metode ini masih dipertanyakan. Oleh karena itu, grup riset Translational Medicine and Therapeutic (TMT) FK UNAIR yang terdiri dari ahli famakologi molekuler, patologi klinik, dan psikiatri mencoba melakukan edukasi dini mengenai thalassemia pada siswa SMA di Surabaya berbasis teman sebaya. Dengan edukasi y ang dilakukan oleh teman sebaya, diharapkan dapat lebih diterima oleh siswa SMA karena Bahasa yang digunakan lebih sesuai usia dan mudah dicerna. Dengan menggunakan media sosial yang banyak diakses dan kerap digunakan , termasuk Zoom, YouTube dan Instagram, edukasi ini tetap dapat dilakukan dalam masa pandemic COVID-19 ini. 

Penelitian yang dilakukan pada 57 orang siswa SMA di Surabaya ini mendapatkan hasil bahwa pengetahuan siswa SMA mengenai thalassemia sudah baik, dan mengalami peningkatan setelah dilakukan edukasi melalui media sosial. Pengetahuan ini tidak berhubungan dengan usia, jenis kelamin, kelas, dan ekstrakulikuler yang diikuti oleh siswa. Namun setelah dilakukan wawancara lebih dalam, pengetahuan siswa tidak sebanding dengan pemahaman akan penyakit genetik ini. Siswa masih bingung akan thalassemia bukan penyakit menular, serta mereka masih belum yakin untuk melalukan skrining karena merasa bahwa tidak ada tanda-tanda anemia, yang sayangnya merupakan kondisi yang tidak disadari oleh pembawa sifat thalassemia. Perbedaan antara pengetahuan dan pemahaman ini mungkin disebabkan oleh adanya kesempatan untuk siswa mencari jawaban karena tidak diawasi secara langsung. 

Terlepas dari hasil di atas, penelitian ini menyimpulkan bahwa dengan memberdayakan teman sebaya, edukasi kesehatan, salah satunya tentang thalassemia, pesan yang disampaikan lebih dapat diterima oleh siswa SMA. Selain itu, metode edukasi secara daring sangat dimungkinkan untuk dilakukan untuk edukasi kesehatan lainnya Namun, kecepatan dan kestabilan internet merupakan hal yang penting untuk memastikan pesan yang diterima utuh dan tidak terputus. Selain itu, waktu pelaksanaan sangatlah krusial, karena siswa SMA memiliki kesibukan akademis, yang mungkin membuat siswa menjadi tidak fokus saat menerima edukasi.

Penulis: Annette d’Arqom, dr., M.Sc.

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di: 

https://www.emerald.com/insight/content/doi/10.1108/JHR-09-2020-0442/full/html

d’Arqom, A.Indiastuti, D.N. and Nasution, Z. (2021), “Online peer-group activism for thalassemia health education during the COVID-19 pandemic: a case study from East Java, Indonesia”, Journal of Health Research, Vol. ahead-of-print No. ahead-of-print. https://doi.org/10.1108/JHR-09-2020-0442

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp