Dosen HI UNAIR: Nihilnya Konsesi Pemerintahan Sipil dan Militer Jadi Pemicu Kudeta di Myanmar

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Kudeta di Myanmar pada Senin (1/2/2021) menjadi isu yang tengah banyak dibahas di ranah politik maupun ruang publik. Kudeta yang dilakukan oleh junta militer Myanmar tersebut menjatuhkan rezim sipil berkuasa Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang terpilih secara demokratis melalui pemilihan umum. Motif utamanya sendiri didasari kecurigaan militer atas adanya kecurangan pemilu. Meskipun berbagai pihak, khususnya Barat, secara tegas menyatakan pemilu Myanmar telah berjalan adil.

Melihat fenomena tersebut, Dosen Hubungan Internasional (HI) Universitas Airlangga (UNAIR) I Gede Wahyu Wicaksana, S.IP., M.Si. Ph.D. mengungkapkan bahwa kudeta militer di Myanmar menjadi bentuk nyata dari pola kegagalan transisi demokrasi yang sering terjadi di negara berkembang.

Menurutnya, negara dengan sejarah kekuatan militer yang kuat, seperti halnya Myanmar, hanya dapat meraih demokrasi apabila pemerintahan sipil bersedia membangun konsesi dengan pihak militer. Artinya, pemerintah demokrasi harus mampu mengakomodasi rezim lama dan tidak begitu saja berusaha membunuh kekuasaan militer.

“Hal itulah yang tidak dilakukan Aung San Suu Kyi. Dia sangat liberal, pemerintahan sipilnya berusaha memisahkan hubungan dengan militer. Padahal, legitimasi politik dan kuasa sang Perdana Menteri tersebut hanya sebatas di ibu kota Myanmar Naypyidaw. Di luar kawasan itu, militerlah yang berkuasa,” jelas lulusan University of Western Australia tersebut.

Asumsi ini dapat dilihat pada ketidakberdayaan Aung San Suu Kyi atas isu Rohingya di Rakhine yang dikuasai oleh otoritas militer. Meski mendapat dukungan Barat dan menjadi peraih nobel perdamaian, Aung San Suu Kyi nyatanya tidak mampu mengendalikan dinamika politik domestik di negaranya.

Wahyu pun berpendapat bahwa seharusnya pemerintah sipil Myanmar belajar dari kesuksesan Indonesia dalam transisi demokrasi pasca pemerintahan militer Orde Baru. Presiden B.J Habibie yang memimpin suksesi kepemimpinan di masa reformasi tidak serta menyingkirkan aktor-aktor sisa rezim Orde Baru.

“Bahkan di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pemerintah berusaha mengembalikan elemen-elemen non demokrasi Orde Baru ke dalam sistem demokrasi. Hal tersebut membuat relasi militer dan sipil berjalan beriringan dalam demokrasi Indonesia,” paparnya dalam diskusi Cakra Studi Global Strategies (CSGS) HI UNAIR pada Rabu (10/2/2021).

Oleh karena itu, Wahyu pun menganggap bahwa kudeta militer yang terjadi di Myanmar bukanlah hal yang mengejutkan. Terlebih lagi, kudeta militer yang dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing tersebut melancarkan aksinya pada momen yang tepat.

“Ada pandemi yang menjadi konsen besar banyak negara, lalu suksesi kepemimpinan di Amerika Serikat, belum lagi sikap ASEAN yang urung berperan aktif. Maka dari itu nihilnya alternatif akomodasi terhadap rezim lama militer sebenarnya memastikan bahwa sejak lama, kudeta militer di Myanmar hanya tinggal menghitung hari,” tandasnya.

Penulis: Intang Arifia

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).