Penggunaan Mini Primer Set Str Codis dalam Proses Identifikasi Forensik

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh New Scientist

Identifikasi personal merupakan bagian dalam kedokteran forensik. Salah satu identifikasi dalam kedokteran forensik yakni dengan cara membandingkan data antemortem (AM) dan data postmortem (PM). Metode identifikasi personal dalam kedokteran forensik antara lain metode asosiatif-konvensional yakni  sidik jari (daktiloskopi), pemeriksaan property, medis, gigi-geligi, serologi dan metode eksklusif. Beberapa kasus kadang sulit dipecahkan melalui penegakan identifikasi asosiatif-konvensional sehingga kadang perlu  ditegakkan  identifikasi melalui analisis Deoxy-ribonucleic acid  (DNA). Identifikasi dengan analisis DNA dimulai sejak tahun 1996 di Amerika Serikat. Sejak saat itu analisis DNA dalam identifikasi personal memegang peranan penting dalam memecahkan berbagai kasus.

Metode identifikasi ini dapat digunakan bersama dengan metode lain atau secara sendirian dalam identifikasi,  misalnya korban masal khususnya jika tubuh korban sudah mengalami mutilasi. Hasil analisis sampel biologis ini dapat berupa ada atau tidaknya hubungan genetik dari korban dengan anggota keluarganya. Setiap potongan dari bagian tubuh harus diidentifikasi dengan metode analisis DNA.  Sejumlah kasus untuk identifikasi forensik korban yang masih sulit dianalisis adalah korban yang terbakar sangat parah maupun korban yang telah mengalami pembusukan.

Seringkali dalam proses pemeriksaan pada analisis  DNA dihadapkan pada kondisi bahan atau spesimen pemeriksaan DNA yang tidak seperti diharapkan, contohnya spesimen tidak dalam kondisi segar atau fresh untuk dilakukan DNA typing atau dikenal dengan istilah DNA degraded  (degradasi DNA). Kondisi  degradasi  DNA terutama dijumpai pada kasus dengan jenasah terbakar yang hebat atau kasus yang cukup lama sehingga jenasah sudah mengalami pembusukan yang terjadi pada jaringan lunak  misalnya otot.

Degradasi DNA Efek Paparan Suhu Ekstrim Tinggi

Kondisi spesimen mengalami degradasi DNA akibat paparan  suhu tinggi juga merupakan suatu kendala dalam analisis DNA. Degradasi DNA pada jaringan lunak juga sering terjadi pada tubuh korban yang sudah rusak  oleh karena pembusukan.  Pada kerusakan DNA  akibat paparan suhu tinggi, akan terjadi kerusakan purin-pirimidin pada DNA yang merupakan komponen utama pada struktur DNA, sehingga terjadi proses strand dissociation dan   degradasi  DNA (kerusakan DNA). Apabila terjadi degradasi DNA, maka DNA tidak dapat diamplifikasi pada ukuran amplifikasi (amplicon size) tertentu. Sebagai upaya untuk mengatasi  identifikasi dengan DNA yang mengalami kerusakan yakni dengan menggunakan amplikon yang lebih pendek dibandingkan dengan yang sering digunakan sebelumnya, dikenal dengan istilah mini STR  setMini STR ini pada sampel dalam kondisi  degradasi DNA masih dapat diamplifikasi dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) sehingga identifikasi forensik masih dapat dilakukan. Identifikasi forensik ini juga dapat dilakukan melalui pengurangan ukuran daerah hypervariable 1 (HV1) ataupun  (HV2) displacement-loop (d-loop) DNA mitokondria sebagai amplikonnya.

Paparan suhu panas merupakan salah satu faktor kerusakan DNA. Diawali dengan kerusakan anatomi tubuh manusia. Pada jasad manusia akan terkremasi sempurna pada suhu sekitar 6800C. Sedangkan jasad manusia yang terbakar hingga menjadi abu pada kisaran suhu 8000C-10000C. Pada proses kremasi suhu kisaran 8000C-12000C. 

Penggunaan mini primer merupakan alternatif sebagai pengganti primer standar dalam kondisi DNA mengalami degradasi, dimana dengan penggunaan primer standar pada kondisi tersebut, tingkat keberhasilannya rendah.  Mini primer merupakan redisain primer yakni mengurangi amplicon size dengan cara menggeser posisi primer sedekat mungkin dengan daerah perulangan. Mini primer   merupakan pilihan alternatif yang lebih  menarik untuk keperluan analisis forensik pada DNA yang terdegradasi dibandingkan dengan analisis forensik dengan menggunakan mtDNA. Keberhasilan deteksi lokus tersebut ditunjang oleh  adanya perbedaan amplicon product, kandungan GC  atau ikatan guanin-sitosin pada masing-masing lokus. Kandungan GC memiliki tingkat kestabilan yang tinggi terhadap  denaturasi dibandingkan dengan ikatan antara adenin dan timin. 

Hasil perhitungan rasio kandungan GC mempunyai nilai yang bermakna. Dari lokus-lokus yang  yang diteliti, rasio GC content dalam primer adalah sebagai berikut lokus   CSF1PO : 42.6%,  FGA :35.7%, D21S11 : 34.1%. Disamping itu, adanya deretan adenin    (consecutive adenine) merupakan target potensial untuk kerusakan DNA yang disebabkan paparan suhu panas. Adenin merupakan basa yang paling mudah teroksidasi.

Penulis : Dr.dr.Ahmad Yudianto, SpFM[K], SH, M.Kes

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di :

https://www.hindawi.com/journals/acp/

Ahmad Yudianto, Fery Setiawan, [2020], The Effectiveness of Mini Primer STR CODIS in DNA Degradation as the Effect of High-Temperature Exposure.

Volume 2020, Article ID 2417693, 6 pages

https://doi.org/10.1155/2020/2417693

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).